PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
250/PMK.03/2008 TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
BESARNYA
BIAYA JABATAN ATAU BIAYA PENSIUN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI
PENGHASILAN BRUTO PEGAWAI TETAP ATAU PENSIUNAN
MENTERI
KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Besarnya
Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG BESARNYA BIAYA JABATAN ATAU BIAYA PENSIUN
YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO PEGAWAI TETAP ATAU
PENSIUNAN.
Pasal 1
(1) Besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan
bagi pegawai tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3)
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari
penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp.6.000.000,00 (enam juta
rupiah) setahun atau Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan.
(2) Besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan
bagi pensiunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3)
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008 ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari
penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 2.400.000,00 (dua juta
empat ratus ribu rupiah) setahun atau Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu
rupiah) sebulan.
Pasal 2
Pada saat
berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 521/KMK.04/1998 tentang Besarnya Biaya Jabatan Atau Biaya
Pensiun yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap
atau Pensiunan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 3
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 31 Desember 2008
MENTERI
KEUANGAN
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
252/PMK.03/2008 TANGGAL 31 DESEMBER 2008
TENTANG
PETUNJUK
PELAKSANAAN PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN
PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI
MENTERI
KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (8) Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang nomor 28 TAHUN 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4740);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN PAJAK ATAS
PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG
PRIBADI.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008.
2. Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek
Pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah
pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang
pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek
Pajak luar negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 26, adalah
pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang
pribadi Subjek Pajak luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
4. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah
Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, termasuk bentuk
usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan
pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal
26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
5. Badan adalah badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 3 Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
6. Penyelenggara Kegiatan adalah Wajib Pajak orang
pribadi atau Wajib Pajak badan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu yang melakukan pembayaran imbalan dengan nama dan dalam
bentuk apapun kepada orang pribadi sehubungan dengan pelaksanaan
kegiatan tersebut.
7. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam
bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Menteri
Keuangan ini, dari Pemotong PPh Pasal 21 sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan baik dalam
hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk penerima
pensiun.
8. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 26
adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak luar negeri
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam
bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Menteri
Keuangan ini, dari Pemotong PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan baik dalam
hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk penerima
pensiun.
9. Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada
pemberi kerja, baik sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak
tetap/tenaga kerja lepas berdasarkan perjanjian atau kesepakatan
kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan
suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan
memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu,
penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi
kerja, termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan
negeri atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
10. Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau
memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk
anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara
teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara
langsung, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu
jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja
penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut.
11. Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah
pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang
bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit
hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis
pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
12. Penerima Penghasilan Bukan Pegawai adalah orang
pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap (tenaga kerja
lepas) yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk
apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai
imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan
berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
13. Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat
dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang,
seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga,
atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan
dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.
14. Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli
warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang
dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya
yang menerima tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
15. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Teratur
adalah penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji atau upah, segala
macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara
periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja,
termasuk uang lembur.
16. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Tidak
Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang
bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode
lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa
produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan
nama apapun.
17. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima
atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian.
18. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima
atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan.
19. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima
atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan
jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.
20. Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima
atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan
penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.
21. Imbalan kepada bukan pegawai adalah penghasilan
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan
kepada bukan pegawai sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan
yang dilakukan, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
penghasilan sejenis lainnya.
22. Imbalan kepada peserta kegiatan adalah penghasilan
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan
kepada peserta kegiatan tertentu, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan, dan
penghasilan sejenis lainnya.
23. Masa Pajak terakhir adalah masa Desember atau masa
pajak tertentu di mana pegawai tetap berhenti bekerja.
BAB II
PEMOTONG
PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 2
(1) Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi:
a. pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan
badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang
membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan
pegawai;
b. bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk
bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi
TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah,
lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia
di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
c. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial
tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan
tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
d. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas serta badan yang membayar:
1. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang
pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga
ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas
namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
2. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi
dengan status Subjek Pajak luar negeri;
3. honorarium atau imbalan lain kepada peserta
pendidikan, pelatihan, dan magang;
e. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah,
organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan,
orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan,
yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk
apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan
suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai
kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a adalah:
a. kantor
perwakilan negara asing;
b. organisasi-organisasi
internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan;
c. pemberi
kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk
melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
(3) Dalam hal organisasi internasional tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, organisasi
internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban
melakukan pemotongan pajak.
BAB III
PENERIMA
PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21
DAN ATAU
PPh PASAL 26
Pasal 3
Penerima
Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 adalah
orang pribadi yang merupakan:
a. pegawai;
b. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat
pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli
warisnya;
c. bukan pegawai yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara
lain meliputi:
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang
terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris,
penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak,
bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film,
foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat,
pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat,
pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang,
peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi
jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi ekonomi dan
sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
7. agen
iklan;
8. pengawas
atau pengelola proyek;
9. pembawa
pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10. petugas
penjaja barang dagangan;
11. petugas
dinas luar asuransi;
12. distributor
perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya;
d. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan,
antara lain meliputi:
1. peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain
perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi
dan perlombaan lainnya;
2. peserta
rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
3. peserta
atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu;
4. peserta
pendidikan, pelatihan, dan magang;
5. peserta
kegiatan lainnya.
Pasal 4
Tidak
termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
adalah:
a. pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau
pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan
kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka,
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak
menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik;
b. pejabat perwakilan organisasi internasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan
usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia.
BAB IV
PENGHASILAN
YANG DIPOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 5
(1) Penghasilan
yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah:
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai
tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak
teratur;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima
pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan
sejenisnya;
c. penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan
kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara
sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari
tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis;
d. penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja
lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan
atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
e. imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa
honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam
bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan;
f. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa
uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau
penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis
dengan nama apapun.
(2) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula penerimaan
dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang diberikan oleh:
a. bukan
Wajib Pajak;
b. Wajib
Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
c. Wajib
Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan
khusus (deemed profit).
Pasal 6
(1) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang
diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri
merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21.
(2) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang
diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri
merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26.
Pasal 7
(1) Penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 atas
penghasilan berupa penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) didasarkan pada
harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas
pemberian kenikmatan yang diberikan.
(2) Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) diterima atau diperoleh dalam mata uang asing,
penghitungan PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai
tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada
saat pembayaran penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan
sebagai biaya.
Pasal 8
(1) Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang
dipotong PPh Pasal 21 adalah:
a. pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari
perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
b. penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan
dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
c. iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran
tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan
penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan
sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja;
d. zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak
dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk
agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang
berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah;
e. beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi
kerja, termasuk yang ditanggung oleh Pemerintah, merupakan penerimaan
dalam bentuk kenikmatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
BAB V
DASAR
PENGENAAN DAN PEMOTONGAN
PPh PASAL
21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 9
(1) Dasar
pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
a. Penghasilan
Kena Pajak, yang berlaku bagi:
1. pegawai
tetap;
2. penerima
pensiun berkala;
3. pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar
secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam
1 (satu) bulan kalender telah melebihi jumlah PTKP sebulan untuk diri
Wajib Pajak sendiri;
4. bukan
pegawai, yang meliputi:
a) distributor
multi level marketing atau direct selling;
b) petugas
dinas luar asuransi yang tidak berstatus sebagai pegawai;
c) penjaja barang dagangan yang tidak berstatus
sebagai pegawai; dan/atau
d) penerima penghasilan bukan pegawai lainnya yang
menerima penghasilan dari Pemotong PPh Pasal 21 secara
berkesinambungan dalam 1 (satu) tahun kalender.
b. Jumlah penghasilan yang melebihi bagian penghasilan
yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang berlaku
bagi pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan,
upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang
diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi jumlah PTKP
sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri.
c. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima
penghasilan selain penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b.
(2) PTKP
sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah PTKP dibagi 12 (dua
belas).
(3) Dasar
pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan
bruto.
BAB VI
PENGURANGAN
YANG DIPERBOLEHKAN
Pasal 10
(1) Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau
diperoleh Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan atau
PPh Pasal 26 adalah seluruh jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh dalam suatu periode atau
pada saat dibayarkan.
(2) Penghasilan
Kena Pajak adalah sebagai berikut:
a. bagi pegawai tetap dan penerima pensiun berkala,
sebesar penghasilan netto dikurangi PTKP;
b. bagi pegawai tidak tetap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 3, sebesar penghasilan bruto dikurangi
PTKP;
c. bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a angka 4, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP
yang dihitung secara bulanan.
(3) Besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang
dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto
dikurangi dengan:
a. biaya jabatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
b. iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh
pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau
jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun yang
dipotong PPh Pasal 21 adalah seluruh jumlah penghasilan bruto
dikurangi dengan biaya pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(5) Besarnya
PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. bagi
karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;
b. bagi
karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah
PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
(6) Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukkan
keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat
serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak
menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk
dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk
keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
(7) Besarnya
PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender.
(8) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (7), besarnya PTKP untuk pegawai yang baru datang dan
menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender ditentukan
berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang
bersangkutan.
Pasal 11
(1) Atas penghasilan bagi pegawai tidak tetap atau
tenaga kerja lepas yang tidak dibayar secara bulanan atau jumlah
kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi PTKP
sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal
penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari belum melebihi
bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
b. dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal
penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari melebihi bagian
penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan bagian
penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan tersebut merupakan jumlah
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
(2) Rata-rata penghasilan sehari sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan atau upah
borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.
(3) Dalam hal pegawai tidak tetap telah memperoleh
penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender yang melebihi
PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri, maka jumlah yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar PTKP yang
sebenarnya.
(4) PTKP yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.
(5) PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang
sebenarnya adalah sebesar PTKP dibagi 360 (tiga ratus enam puluh)
hari.
(6) Dalam hal berdasarkan ketentuan di bidang
ketenagakerjaan diatur kewajiban untuk mengikutsertakan pegawai tidak
tetap atau tenaga kerja lepas dalam program jaminan hari tua atau
tunjangan hari tua, maka iuran jaminan hari tua atau iuran tunjangan
hari tua yang dibayar sendiri oleh pegawai tidak tetap kepada badan
penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau badan penyelenggara
tunjangan hari tua, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Pasal 12
(1) Penerima penghasilan bukan pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 dapat memperoleh
pengurangan PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai Nomor
Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan
kerja dengan Pemotong Pajak serta tidak memperoleh penghasilan
lainnya.
(2) Untuk dapat memperoleh pengurangan PTKP sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), penerima penghasilan bukan pegawai harus
menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan bagi wanita
kawin harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami
serta fotokopi surat nikah dan kartu keluarga.
BAB VII
TARIF
PEMOTONGAN PAJAK DAN PENERAPANNYA
Pasal 13
(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena
Pajak dari:
a. pegawai
tetap;
b. penerima
pensiun yang dibayarkan secara bulanan;
c. pegawai
tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan.
(2) Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong
setiap masa pajak, kecuali masa pajak terakhir, tarif diterapkan atas
perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur
adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12
(dua belas);
b. dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat
tidak teratur, maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama
1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan
jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur.
(3) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap
masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. atas penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar
Pajak Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dibagi 12 (clua belas);
b. atas penghasilan yang bersifat tidak teratur adalah
sebesar selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah
penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan Pajak
Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a.
(4) Dalam hal pegawai tetap mempunyai kewajiban pajak
subjektif terhitung sejak awal tahun kelender dan mulai bekerja
setelah bulan Januari, termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada
pemberi kerja lain, banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau faktor pembagi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun
kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja.
(5) Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk masa
pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang
atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau
bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada
masa-masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan.
(6) Dalam hal pegawai tetap kewajiban pajak subjektifnya
hanya meliputi bagian tahun pajak, perhitungan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan
penghasilan kena pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah
bulan dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan.
(7) Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum
bulan Desember dan jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam
tahun kalender yang bersangkutan lebih besar dari PPh Pasal 21 yang
terutang untuk 1 (satu) tahun pajak, maka kelebihan PPh Pasal 21 yang
telah dipotong tersebut dikembalikan kepada pegawai tetap yang
bersangkutan bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal
21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berhenti bekerja.
Pasal 14
(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang
penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan diterapkan atas:
a. jumlah penghasilan bruto di atas bagian penghasilan
yang tidak dikenakan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
b. jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang
sebenarnya dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam 1 (satu)
bulan kalender telah melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak
sendiri.
(2) Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu
bulan kalender telah melebihi Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah), PPh
Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak
yang disetahunkan.
(3) Besarnya batasan jumlah penghasilan kumulatif dalam
satu bulan kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
disesuaikan sepanjang terdapat perubahan besarnya PTKP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak.
Pasal 15
(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas:
a. jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran yang
didasarkan pada penyelesaian suatu pekerjaan atau jasa yang menurut
maksudnya tidak bersifat berkesinambungan, yang diterima oleh bukan
pegawai;
b. jumlah bruto untuk setiap kali pembayaran yang
bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan;
atau
c. jumlah kumulatif penghasilan bruto sebagai imbalan
atas pekerjaan atau jasa yang menurut maksudnya bersifat
berkesinambungan, baik berdasarkan kontrak atau perjanjian tertulis
atau berdasarkan keadaan yang sebenarnya, yang diterima oleh bukan
pegawai.
(2) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif
Penghasilan Kena Pajak sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP, yang
diterima atau diperoleh bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4, yang dihitung setiap bulan.
Pasal 16
Tarif
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
diterapkan atas penghasilan bruto kumulatif berupa:
a. honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur
yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan
yang sama;
b. jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau
imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh
mantan pegawai;
c. penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun
yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan.
Pasal 17
Tata cara
pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon, uang
manfaat pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dan tunjangan hari tua atau
jaminan hari tua, yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara
tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga
kerja, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
Pasal 18
Tata cara
pemotongan dan pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang bersumber
dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan
belanja daerah yang diterima atau diperoleh pejabat negara, pegawai
negeri sipil, anggota TNI/POLRI dan pensiunannya, diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
Pasal 19
(1) Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen)
dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto yang diterima
atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar
negeri dengan memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda yang berlaku antara Republik Indonesia dengan negara
domisili Subjek Pajak luar negeri tersebut.
(2) PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak bersifat final dalam hal orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar
negeri tersebut berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri.
BAB VIII
TARIF
PEMOTONGAN PPh PASAL 21 BAGI PENERIMA PENGHASILAN
YANG TIDAK
MEMPUNYAI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK
Pasal 20
(1) Bagi Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh
Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada
tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak.
(2) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% (seratus dua puluh persen)
dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang
bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat
tidak final.
(4) Dalam hal penerima penghasilan yang telah dipotong
PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak,
PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat diperhitungkan dengan
PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
BAB IX
SAAT
TERUTANG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 21
(1) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi
Penerima Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat
terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
(2) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi
Pemotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 untuk setiap masa pajak.
(3) Saat terutang untuk setiap masa pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran
atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
BAB X
HAK DAN
KEWAJIBAN PEMOTONG PAJAK SERTA PENERIMA
PENGHASILAN
YANG DIPOTONG PAJAK
Pasal 22
(1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan
Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan
diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang belaku.
(2) Pegawai, penerima pensiun berkala, serta bukan
pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4
wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga
pada awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak
dalam negeri sebagai dasar penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya
kepada Pemotong Pajak pada saat mulai bekerja atau mulai pensiun.
(3) Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga,
pegawai, penerima pensiun berkala dan bukan pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat
pernyataan baru dan menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 paling lama sebelum mulai tahun kalender
berikutnya.
(4) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib
menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan kalender.
(5) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib
membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 untuk masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi
dasar pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang
untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja
perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(6) Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan
pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap bulan
kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap berlaku, dalam hal
jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.
(7) Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan
penyetoran pajak atas PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang
terutang, kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan
berikutnya melalui Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26.
(8) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib
membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan
memberikan bukti pemotongan tersebut kepada penerima penghasilan yang
dipotong pajak.
(9) Bentuk formulir pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 23
(1) Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit
pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan pemotongan untuk tahun
pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
(2) Dalam hal Wajib Pajak yang telah dipotong PPh Pasal
21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak,
PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang
Pribadi.
BAB XI
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 24
Ketentuan
mengenai pedoman teknis tata cara pemotongan, penyetoran dan
pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi, dan contoh perhitungan
dan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 25
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 31 Desember 2008
MENTERI
KEUANGAN
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
PERATURAN
DIRJEN PAJAK
NOMOR
PER-31/PJ/2009 TANGGAL 25 MEI 2009
TENTANG
PEDOMAN
TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN
DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
bahwa
sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 24 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak
atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan
Orang Pribadi, dan ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan
Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian Dan Mingguan Serta Pegawai Tidak
Tetap Lainnya Yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan,
perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pedoman
Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan
Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007
tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran
Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran,
Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan
Penundaan Pembayaran Pajak;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008
tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan
Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2008
tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari
Pegawai Harian Dan Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya Yang
Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN,
PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK
PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN
ORANG PRIBADI.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008.
2. Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek
Pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah
pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang
pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek
Pajak luar negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 26, adalah
pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang
pribadi Subjek Pajak luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
4. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah
Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, termasuk bentuk
usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan
pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal
26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
5. Badan adalah badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 3 Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
6. Penyelenggara Kegiatan adalah Wajib Pajak orang
pribadi atau Wajib Pajak badan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu yang melakukan pembayaran imbalan dengan nama dan dalam
bentuk apapun kepada orang pribadi sehubungan dengan pelaksanaan
kegiatan tersebut.
7. Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam
bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini, dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang
dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan
pegawai, termasuk penerima pensiun.
8. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 26
adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak luar negeri
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam
bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini, dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang
dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan
pegawai, termasuk penerima pensiun.
9. Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada
pemberi kerja, baik sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak
tetap/tenaga kerja lepas berdasarkan perjanjian atau kesepakatan
kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan
suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan
memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu,
penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi
kerja, termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan
negeri atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
10. Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau
memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk
anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara
teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara
langsung, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu
jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja
penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut.
11. Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah
pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang
bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit
hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis
pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
12. Penerima Penghasilan Bukan Pegawai adalah orang
pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap/tenaga kerja
lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun
dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas
pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan
perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
13. Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat
dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang,
seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga,
atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan
dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.
14. Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli
warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang
dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya
yang menerima tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
15. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Teratur
adalah penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji atau upah, segala
macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara
periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja,
termasuk uang lembur.
16. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Tidak
Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang
bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode
lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa
produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan
nama apapun.
17. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima
atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian.
18. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima
atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan.
19. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima
atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan
jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.
20. Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima
atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan
penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.
21. Imbalan kepada bukan pegawai adalah penghasilan
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan
kepada bukan pegawai sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
yang dilakukan, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
penghasilan sejenis lainnya.
22. Imbalan kepada bukan pegawai yang bersifat
berkesinambungan adalah imbalan kepada bukan pegawai yang dibayar
atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
23. Imbalan kepada peserta kegiatan adalah penghasilan
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan
kepada peserta kegiatan tertentu, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan, dan
penghasilan sejenis lainnya.
24. Masa Pajak terakhir adalah masa Desember atau masa
pajak tertentu di mana pegawai tetap berhenti bekerja.
BAB II
PEMOTONG
PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 2
(1) Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi:
a. pemberi
kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat
maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendahara
atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas
pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah
Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara
lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang
membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan;
c. dana
pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan
badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua
atau jaminan hari tua;
d. orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta
badan yang membayar:
1. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang
pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga
ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas
namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
2. honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi
dengan status Subjek Pajak luar negeri;
3. honorarium atau imbalan lain kepada peserta
pendidikan, pelatihan, dan magang;
e. penyelenggara
kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga
lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium,
hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib pajak orang
pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai
kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a adalah:
a. kantor
perwakilan negara asing;
b. organisasi-organisasi
internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan;
c. pemberi
kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk
melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
(3) Dalam hal organisasi internasional tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, organisasi
internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban
melakukan pemotongan pajak.
BAB III
PENERIMA
PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21
DAN/ATAU
PPh PASAL 26
Pasal 3
Penerima
Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah
orang pribadi yang merupakan:
a. pegawai;
b. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat
pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli
warisnya;
c. bukan pegawai yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara
lain meliputi:
1. tenaga
ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain
musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan
seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat,
pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang,
peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi
jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan
sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
7. agen
iklan;
8. pengawas
atau pengelola proyek;
9. pembawa
pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10. petugas
penjaja barang dagangan;
11. petugas
dinas luar asuransi;
12. distributor
perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya;
d. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan,
antara lain meliputi:
1. peserta
perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga,
seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan
lainnya;
2. peserta
rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
3. peserta
atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu;
4. peserta
pendidikan, pelatihan, dan magang;
5. peserta
kegiatan lainnya.
Pasal 4
Tidak
termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
adalah:
a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau
pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan
kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka,
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak
menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik;
b. Pejabat perwakilan organisasi internasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan
usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia.
BAB IV
PENGHASILAN
YANG DIPOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 5
(1) Penghasilan
yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah:
a. penghasilan
yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan
yang bersifat teratur maupun tidak teratur;
b. penghasilan
yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa
uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c. penghasilan
sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan
dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon,
uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan
pembayaran lain sejenis;
d. penghasilan
pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara
bulanan;
e. imbalan
kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan;
f. imbalan
kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan
nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
(2) Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula penerimaan
dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang diberikan oleh:
a. bukan
Wajib Pajak;
b. Wajib
Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
c. Wajib
Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan
khusus (deemed profit).
Pasal 6
(1) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang
diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri
merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21.
(2) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang
diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri
merupakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26.
Pasal 7
(1) Penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 atas
penghasilan berupa penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) didasarkan pada
harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas
pemberian kenikmatan yang diberikan.
(2) Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) diterima atau diperoleh dalam mata uang asing,
penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai
tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada
saat pembayaran penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan
sebagai biaya.
Pasal 8
(1) Tidak
termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
adalah:
a. pembayaran
manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
b. penerimaan
dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun diberikan
oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
c. iuran
pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran
jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau
badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh
pemberi kerja;
d. zakat
yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan,
atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e. beasiswa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
(2) Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi
kerja, termasuk yang ditanggung oleh Pemerintah, merupakan penerimaan
dalam bentuk kenikmatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
BAB V
DASAR
PENGENAAN DAN PEMOTONGAN
PPh PASAL
21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 9
(1) Dasar
pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
a. Penghasilan
Kena Pajak, yang berlaku bagi:
1. pegawai
tetap;
2. penerima
pensiun berkala;
3. pegawai tidak tetap yang penghasilannya di bayar
secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam
1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 1.320.000,00 (satu juta
tiga ratus dua puluh ribu rupiah);
4. bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf c selain tenaga ahli, yang menerima imbalan yang bersifat
berkesinambungan.
b. Jumlah
penghasilan yang melebihi Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu)
sehari, yang berlaku bagi pegawai tidak tetap yang menerima upah
harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang
penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender
belum melebihi Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu
rupiah);
c. 50%
(lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi
tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf c angka 1;
d. Jumlah
penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain
penerima penghasilan sebagaimana di maksud pada huruf a, b dan huruf
c.
(2) Dasar
pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan
bruto.
Pasal 10
(1) Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau
diperoleh Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 adalah seluruh jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh dalam suatu periode atau
pada saat dibayarkan.
(2) Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut:
a. bagi
pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan neto
dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP);
b. bagi
pegawai tidak tetap, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP;
c. bagi
bukan pegawai, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP yang dihitung
secara bulanan.
(3) Besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang
dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto
dikurangi dengan:
a. biaya
jabatan, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto,
setinggi-tingginya Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan
atau Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun;
b. iuran
yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau
badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang
dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan.
(4) Besarnya penghasilan netto bagi penerima pensiun
berkala yang dipotong PPh Pasal 21 adalah seluruh jumlah penghasilan
bruto dikurangi dengan biaya pensiun, sebesar 5% (lima persen) dari
penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 200.000,00 (dua ratus ribu
rupiah) sebulan atau Rp 2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu
rupiah) setahun.
(5) Dalam hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf c selain tenaga ahli memberikan jasa kepada Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26:
a. mempekerjakan
orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan bruto
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar jumlah pembayaran
setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang
dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak
dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan
tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar
jumlah yang dibayarkan;
b. melakukan
penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan
bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya atas pemberian jasanya
saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan
antara pemberian jasa dengan material atau barang maka besarnya
penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau
barang.
(6) Dalam hal jumlah penghasilan bruto sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibayarkan kepada dokter yang melakukan
praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah
penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien
melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau
bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
Pasal 11
(1) besarnya
PTKP per tahun adalah sebagai berikut:
a. Rp
15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah)
untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp
1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan
untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp
1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan
untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam
garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) PTKP per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (2) huruf c adalah PTKP per tahun sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibagi 12 (dua belas), sebesar:
a. Rp
1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) untuk diri
Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp
110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak
yang kawin;
c. Rp
110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling
banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(3) Besarnya
PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. bagi
karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;
b. bagi
karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah
PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
(4) Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukkan
keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat
serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak
menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk
dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk
keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
(5) Besarnya
PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender.
(6) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), besarnya PTKP untuk pegawai yang baru datang dan
menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender ditentukan
berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang
bersangkutan.
Pasal 12
(1) Atas penghasilan bagi pegawai tidak tetap atau
tenaga kerja lepas yang tidak di bayar secara bulanan atau jumlah
kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp
1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah), berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. tidak
dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau
rata-rata penghasilan sehari belum melebihi Rp 150.000,00 (seratus
lima puluh ribu rupiah);
b. dilakukan
pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata
penghasilan sehari melebihi Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu
rupiah), dan jumlah sebesar Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu
rupiah) tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto.
(2) Rata-rata penghasilan sehari sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan atau upah
borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.
(3) Dalam hal pegawai tidak tetap telah memperoleh
penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender melebihi Rp
1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah), maka
jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar
PTKP yang sebenarnya.
(4) PTKP yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.
(5) PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang
sebenarnya adalah sebesar PTKP per tahun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari.
(6) Dalam hal berdasarkan ketentuan di bidang
ketenagakerjaan diatur kewajiban untuk mengikutsertakan pegawai tidak
tetap atau tenaga kerja lepas dalam program jaminan hari tua atau
tunjangan hari tua, maka iuran jaminan hari tua atau iuran tunjangan
hari tua yang dibayar sendiri oleh pegawai tidak tetap kepada badan
penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau badan penyelenggara
tunjangan hari tua, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Pasal 13
(1) Penerima penghasilan bukan pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 dapat memperoleh
pengurangan berupa PTKP sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai
Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya memperoleh penghasilan dari
hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.
(2) Untuk dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penerima penghasilan bukan
pegawai harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan
bagi wanita kawin harus menyerahkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib
Pajak suami serta fotokopi surat nikah dan kartu keluarga.
BAB VI
TARIF
PEMOTONGAN PAJAK DAN PENERAPANNYA
Pasal 14
(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena
Pajak dari:
a. pegawai
tetap;
b. penerima
pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan;
c. pegawai
tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan.
(2) Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong
setiap masa pajak, kecuali masa pajak terakhir, tarif diterapkan atas
perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. perkiraan
atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan
teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12 (dua belas);
b. dalam
hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur, maka
perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun
adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah penghasilan
yang bersifat tidak teratur.
(3) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap
masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. atas
penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar Pajak Penghasilan
terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a dibagi 12 (dua belas);
b. atas
penghasilan yang bersifat tidak teratur adalah sebesar selisih antara
Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dengan Pajak Penghasilan yang terutang
atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a.
(4) Dalam hal pegawai tetap mempunyai kewajiban pajak
subjektif terhitung sejak awal tahun kalender dan mulai bekerja
setelah bulan Januari, termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada
pemberi kerja lain, banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau faktor pembagi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun
kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja.
(5) Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk masa
pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang
atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau
bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada
masa-masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan.
(6) Dalam hal pegawai tetap kewajiban pajak subjektifnya
hanya meliputi bagian tahun pajak maka perhitungan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan
penghasilan kena pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah
bulan dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan.
(7) Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum
bulan Desember dan jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam
tahun kalender yang bersangkutan lebih besar dari PPh pasal 21 yang
terutang untuk 1 (satu) tahun pajak maka kelebihan PPh Pasal 21 yang
telah dipotong tersebut dikembalikan kepada pegawai tetap yang
bersangkutan bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal
21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berhenti bekerja.
(8) Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar
penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan ke bawah
hingga ribuan penuh.
Pasal 15
(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang
penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan diterapkan atas:
a. jumlah
penghasilan bruto sehari yang melebihi Rp150.000,00 (seratus lima
puluh ribu rupiah); atau
b. jumlah
penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya dalam hal jumlah
penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah).
(2) Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu
bulan kalender telah melebihi Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah), PPh
Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak
yang disetahunkan.
Pasal 16
(1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif
dari:
a. Penghasilan
Kena Pajak sebesar jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP, yang
diterima atau diperoleh bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), yang dihitung setiap bulan;
b. 50%
(lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau
diperoleh tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf c angka 1;
c. jumlah
penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada bukan
pegawai yang bersifat berkesinambungan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
d. jumlah
penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak
teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau
dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada
perusahaan yang sama;
e. jumlah
penghasilan bruto berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus
atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau
diperoleh mantan pegawai; atau
f. jumlah
penghasilan bruto berupa penarikan dana pengsiun oleh peserta program
pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
(2) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas:
a. jumlah
penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada bukan
pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan;
b. jumlah
penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan
tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan.
Pasal 17
Pengenaan
PPh Pasal 21 bagi pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota
Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, serta para pensiunannya atas penghasilan yang menjadi
beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah, diatur berdasarkan ketentuan yang ditetapkan
khusus mengenai hal dimaksud.
Pasal 18
Pengenaan
PPh Pasal 21 bagi pegawai atas uang pesangon, uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan secara
sekaligus, diatur berdasarkan ketentuan yang ditetapkan khusus
mengenai hal dimaksud.
Pasal 19
(1) Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen)
dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto yang diterima
atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar
negeri dengan memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda yang berlaku antara Republik Indonesia dengan negara
domisili Subjek Pajak luar negeri tersebut.
(2) PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak bersifat final dalam hal orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar
negeri tersebut berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri.
BAB VII
TARIF
PEMOTONGAN PPh PASAL 21 BAGI PENERIMA PENGHASILAN
YANG TIDAK
MEMPUNYAI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK
Pasal 20
(1) Bagi Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh
Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada
tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak.
(2) Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% (seratus dua puluh persen)
dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang
bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat
tidak final.
(4) Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun
berkala sebagai penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21
dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam
tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh
Pasal 21 untuk masa pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong
atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih
tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang
untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak.
BAB VIII
SAAT
TERUTANG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 21
(1) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi
Penerima Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat
terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
(2) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap masa pajak.
(3) Saat terutang untuk setiap masa pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran
atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
BAB IX
HAK DAN
KEWAJIBAN PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26
SERTA
PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK
Pasal 22
(1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan
Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan
diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(2) Pegawai, Penerima pensiun berkala, serta bukan
pegawai sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4
wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga
pada awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak
dalam negeri sebagai dasar penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya
kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 pada saat mulai
bekerja atau mulai pensiun.
(3) Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga bagi
pegawai, penerima pensiun berkala dan bukan pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat
pernyataan baru dan menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 paling lama sebelum mulai tahun kalender
berikutnya.
(4) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib
menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan kalender.
(5) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib
membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 untuk masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi
dasar pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang
untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja
perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(6) Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan
pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap bulan
kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap berlaku, dalam hal
jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.
(7) Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan
penyetoran pajak atas PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang
terutang oleh Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, kelebihan
penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya melalui Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26.
Pasal 23
(1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus
memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh pegawai tetap atau penerima pensiun berkala
paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.
(2) Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum
bulan Desember, bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang
bersangkutan berhenti bekerja.
(3) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus
memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas pemotongan PPh Pasal 21
selain pegawai tetap dan penerima pensiun berkala sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), serta bukti pemotongan PPh Pasal 26 setiap
kali melakukan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26.
(4) Dalam hal dalam 1 (satu) bulan kalender, kepada satu
penerima penghasilan dilakukan lebih dari 1 (satu) kali pembayaran
penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibuat sekali untuk 1 (satu)
bulan kalender.
(5) Bentuk formulir pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tersendiri.
Pasal 24
(1) PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong
oleh Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap Masa
Pajak wajib disetor ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan, paling lama 10 (sepuluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
(2) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib
melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal
26 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
terdaftar, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
(3) Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran PPh Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan batas
waktu pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) bertepatan dengan hari libur termasuk hari
Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Pasal 25
(1) Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit
pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan pemotongan untuk tahun
pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
(2) Jumlah pemotongan PPh Pasal 21 atas selisih
penerapan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi bagi
pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebelum memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak yang telah diperhitungkan dengan PPh Pasal 21
terutang untuk bulan-bulan selanjutnya pada tahun kalender berikutnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) tidak termasuk kredit
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal Wajib Pajak yang telah dipotong PPh Pasal
21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
maka PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang
Pribadi untuk tahun pajak yang bersangkutan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang
menyatakan jumlah lebih bayar maka penyampaiannya harus dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak berakhirnya tahun
pajak yang bersangkutan.
(5) Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan yang menyatakan jumlah lebih bayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya
tahun pajak yang bersangkutan dan Wajib Pajak telah ditegur secara
tertulis, tidak dianggap sebagai Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.
Pasal 26
Petunjuk
Umum dan contoh penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh
Pasal 26 adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
BAB X
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 27
Dengan
berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan
Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-15/PJ/2006, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 28
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2009.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 25 Mei 2009
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
DARMIN
NASUTION
LAMPIRAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009 TENTANG
PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN
DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI
PETUNJUK
UMUM DAN CONTOH PENGHITUNGAN
PEMOTONGAN
PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
BAGIAN
PERTAMA : PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL
26
I PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PEGAWAI
TETAP DAN PENERIMA PENSIUN BERKALA
Penghitungan
PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala
dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Penghitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar
pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap masa pajak, yang
dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21, selain masa pajak Desember
atau masa pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja;
2. Penghitungan kembali sebagai dasar pengisian Form
1721 A1 atau 1721 A2 dan pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk
masa pajak Desember atau masa pajak di mana pegawai tetap berhenti
bekerja.
Penghitungan
kembali ini dilakukan pada:
a. bulan
dimana pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun;
b. bulan Desember bagi pegawai tetap yang bekerja
sampai akhir tahun kalender dan bagi penerima pensiun yang menerima
uang pensiun sampai akhir tahun kalender.
I.1. Penghitungan
Masa atau Bulanan Selain Masa Pajak Desember atau Masa Pajak di mana
pegawai tetap berhenti bekerja:
a. Penghitungan
PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur
b. Penghitungan
PPh Pasal 21 atas Penghasilan Tidak Teratur
I.1.a. Penghitungan
PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur
I.1.a.1. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan
Teratur bagi Pegawai Tetap:
1.a. Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan
pegawai tetap, terlebih dahulu dihitung seluruh penghasilan bruto
yang diterima atau diperoleh selama sebulan, yang meliputi seluruh
gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur lainnya, termasuk
uang lembur (overtime) dan pembayaran sejenisnya.
b. Untuk perusahaan yang masuk program Jamsostek, premi
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), premi Jaminan Kematian (JK) dan premi
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) yang dibayar oleh pemberi kerja
merupakan penghasilan bagi pegawai. Ketentuan yang sama diberlakukan
juga bagi premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang
dibayarkan oleh pemberi kerja untuk pegawai kepada perusahaan
asuransi lainnya. Dalam menghitung PPh Pasal 21, premi tersebut
digabungkan dengan penghasilan bruto yang dibayarkan oleh pemberi
kerja kepada pegawai.
c. Selanjutnya dihitung jumlah penghasilan neto sebulan
yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto sebulan
dengan biaya jabatan, serta iuran pensiun, iuran Jaminan Hari Tua,
dan/atau iuran Tunjangan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh pegawai
yang bersangkutan melalui pemberi kerja kepada Dana Pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau kepada Badan
Penyelenggara Program Jamsostek.
2.a. Selanjutnya dihitung penghasilan neto setahun,
yaitu jumlah penghasilan neto sebulan dikalikan 12.
b. Dalam hal seorang pegawai tetap dengan kewajiban
pajak subjektifnya sebagai Wajib Pajak dalam negeri sudah ada sejak
awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah bulan Januari, maka
penghasilan neto setahun dihitung dengan mengalikan penghasilan neto
sebulan dengan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan mulai
bekerja sampai dengan bulan Desember.
c. Selanjutnya dihitung Penghasilan Kena Pajak sebagai
dasar penerapan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh, yaitu sebesar
Penghasilan neto setahun pada huruf a atau b di atas, dikurangi
dengan PTKP.
d. Setelah diperoleh PPh terutang dengan menerapkan
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh terhadap Penghasilan Kena
Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c, selanjutnya dihitung PPh
Pasal 21 sebulan, yang harus dipotong dan/atau disetor ke kas negara,
yaitu sebesar:
1) jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dibagi dengan 12; atau
2) jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan
sebagaimana dimaksud pada huruf b dibagi banyaknya bulan yang menjadi
faktor pengali sebagaimana dimaksud pada huruf b.
3.a. Apabila pajak yang terutang oleh pemberi kerja
tidak didasarkan atas masa gaji sebulan, maka untuk penghitungan PPh
Pasal 21, jumlah penghasilan tersebut terlebih dahulu dijadikan
penghasilan bulanan dengan mempergunakan faktor perkalian sebagai
berikut:
1) Gaji
untuk masa seminggu dikalikan dengan 4;
2) Gaji
untuk masa sehari dikalikan dengan 26.
b. Selanjutnya dilakukan penghitungan PPh Pasal 21
sebulan dengan cara seperti dalam angka 2 di atas.
c. PPh Pasal 21 atas penghasilan seminggu dihitung
berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dalam huruf b dibagi 4, sedangkan
PPh Pasal 21 atas penghasilan sehari dihitung berdasarkan PPh Pasal
21 sebulan dalam huruf b dibagi 26.
4. Jika kepada pegawai di samping dibayar gaji bulanan
juga dibayar kenaikan gaji yang berlaku surut (rapel), misalnya untuk
5 (lima) bulan, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas rapel tersebut
adalah sebagai berikut:
a. rapel dibagi dengan banyaknya bulan perolehan rapel
tersebut (dalam hal ini 5 bulan);
b. hasil pembagian rapel tersebut ditambahkan pada gaji
setiap bulan sebelum adanya kenaikan gaji, yang sudah dikenakan
pemotongan PPh Pasal 21;
c. PPh Pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan setelah ada
kenaikan, dihitung kembali atas dasar gaji baru setelah ada kenaikan;
d. PPh Pasal 21 terutang atas tambahan gaji untuk
bulan-bulan dimaksud adalah selisih antara jumlah pajak yang dihitung
berdasarkan huruf c dikurangi jumlah pajak yang telah dipotong
sebagaimana disebut pada huruf b.
5. Apabila kepada pegawai di samping dibayar gaji yang
didasarkan masa gaji kurang dari satu bulan juga dibayar gaji lain
mengenai masa yang lebih lama dari satu bulan (rapel) seperti
tersebut dalam angka 4, maka cara penghitungan PPh Pasal 21-nya
adalah sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam angka 4 dengan
memperhatikan ketentuan dalam angka 3.
I.1.a.2. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan
Teratur bagi Penerima Pensiun Berkala:
1. Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan
yang diterima atau diperoleh penerima pensiun pada tahun pertama
pensiun adalah sebagai berikut:
a. terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan
yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan biaya
pensiun, kemudian dikalikan banyaknya bulan sejak pegawai yang
bersangkutan menerima pensiun sampai dengan bulan Desember;
b. penghasilan neto pensiun sebagaimana tersebut pada
huruf a ditambah dengan penghasilan neto dalam tahun yang
bersangkutan yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja sebelum
pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam
bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;
c. untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, jumlah
penghasilan pada huruf b tersebut dikurangi dengan PTKP, dan
selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 atas Penghasilan Kena Pajak
tersebut;
d. PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang
bersangkutan dihitung dengan cara mengurangi PPh Pasal 21 dalam huruf
c dengan PPh Pasal 21 yang terutang dari pemberi kerja sebelum
pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam
bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;
e. PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah sebesar
PPh Pasal 21 seperti tersebut dalam huruf d dibagi dengan banyaknya
bulan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
2. Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan
untuk tahun kedua dan selanjutnya adalah sebagai berikut:
a. terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan
yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan biaya
pensiun;
b. selanjutnya PPh Pasal 21 dihitung dengan cara
penghitungan untuk pegawai tetap pada butir I.1.a.1. angka 2 huruf a,
c, dan d.
1.1.b. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Tidak
Teratur bagi Pegawai Tetap
1. Apabila kepada pegawai tetap diberikan jasa produksi,
tantiem, gratifikasi, bonus, premi, tunjangan hari raya, dan
penghasilan lain semacam itu yang sifatnya tidak tetap dan biasanya
dibayarkan sekali setahun, maka PPh Pasal 21 dihitung dan dipotong
dengan cara sebagai berikut:
a. dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang
disetahunkan ditambah dengan penghasilan tidak teratur berupa
tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
b. dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang
disetahunkan tanpa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
c. selisih antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan
huruf a dan huruf b adalah PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak
teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
2. Dalam hal pegawai tetap yang kewajiban pajak
subjektifnya sudah ada sejak awal tahun, namun baru mulai bekerja
setelah bulan Januari, maka PPh Pasal 21 atas penghasilan yang tidak
teratur tersebut dihitung dengan cara sebagaimana pada butir 1 dengan
memperhatikan ketentuan mengenai Penghitungan PPh Pasal 21 Bulanan
atas Penghasilan Teratur pada butir I.1.a.1. angka 2 huruf b, c dan d
di atas.
I.2. Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Pada Bulan
Desember atau Masa Pajak Tertentu untuk Pegawai Tetap yang Berhenti
Bekerja Sebelum Bulan Desember.
1. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang pada bulan
Desember atau bulan tertentu untuk pegawai tetap yang berhenti
bekerja sebelum bulan Desember adalah sebagai berikut:
a. Hitung PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari pemotong pajak dalam tahun kalender
yang bersangkutan, baik penghasilan yang teratur maupun yang tidak
teratur.
b. PPh Pasal 21 terutang yang harus dipotong untuk bulan
Desember atau bulan tertentu untuk pegawai tetap yang berhenti
bekerja sebelum bulan Desember adalah sebesar selisih antara PPh
Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan tidak teratur
yang diterima dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang
bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dengan PPh Pasal 21
yang telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan sampai
dengan bulan sebelumnya.
c. Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong
sampai dengan bulan sebelumnya tersebut lebih besar daripada PPh
Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan tidak teratur
yang diterima dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang
bersangkutan, misalnya dalam hal pegawai berhenti bekerja pada
pertengahan tahun, atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 tersebut
dikembalikan kepada pegawai tetap yang berhenti bekerja bersamaan
dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21. Atas kelebihan
pemotongan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap yang bersangkutan,
pemotong pajak dapat memperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang
atas penghasilan pegawai tetap lainnya dalam masa pajak yang sama,
sehingga jumlah PPh Pasal 21 yang harus disetor oleh pemotong pajak
untuk masa pajak tersebut telah mempertimbangkan jumlah kelebihan
pemotongan PPh Pasal 21 yang telah diberikan oleh pemotong pajak
kepada pegawai tetap yang berhenti bekerja.
2. Perhitungan PPh Pasal 21 terutang atas seluruh
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pemotong pajak dalam
tahun kalender yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam angka 1
huruf a adalah sebagai berikut:
a. Untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya
sudah ada sejak awal tahun, namun mulai bekerja setelah bulan Januari
atau berhenti bekerja sebelum bulan Desember, PPh Pasal 21 terutang
dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau
diperoleh, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur, selama
pegawai tetap yang bersangkutan bekerja pada pemotong pajak.
b. Sedangkan untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak
subjektifnya baru dimulai setelah bulan Januari atau berakhir sebelum
bulan Desember, PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan jumlah
seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik yang bersifat
teratur maupun tidak teratur, yang disetahunkan.
II. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK
PEGAWAI TIDAK TETAP ATAU TENAGA KERJA LEPAS.
II.1. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas,
Pemagang dan Calon Pegawai yang Menerima Upah Harian, Upah Mingguan,
Upah Satuan, Upah Borongan, Uang Saku Harian atau Mingguan:
1. Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata
upah/uang saku yang diterima atau diperoleh dalam sehari:
a. upah/uang saku mingguan dibagi banyaknya hari bekerja
dalam seminggu;
b. upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan
yang dihasilkan dalam sehari;
c. upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang
digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan borongan.
2. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata
upah/uang saku harian belum melebihi Rp150.000,00, dan jumlah
kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang
bersangkutan belum melebihi Rp 1.320.000,00, maka tidak ada PPh Pasal
21 yang harus dipotong.
3. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata
upah/uang saku harian telah melebihi Rp150.000,00, dan sepanjang
jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender
yang bersangkutan belum melebihi Rp1.320.000,00, maka PPh Pasal 21
yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau
rata-rata upah/uang saku harian setelah dikurangi Rp150.000,00,
dikalikan 5%.
4. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau
diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan telah melebihi
Rp1.320.000,00 dan kurang dari Rp6.000.000,00, maka PPh Pasal 21 yang
harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata
upah/uang saku harian setelah dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5%.
5. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau
diperoleh dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp6.000.000,00,
maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1)
huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto dalam satu bulan yang
disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus
dipotong adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut
dibagi 12.
II.2. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas,
Pemagang dan Calon Pegawai yang Menerima Upah yang Dibayarkan Secara
Bulanan:
PPh
Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
UU PPh atas jumlah upah bruto yang disetahunkan setelah dikurangi
PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar PPh Pasal
21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12.
III. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 BAGI
ANGGOTA DEWAN PENGAWAS ATAU DEWAN KOMISARIS YANG TIDAK MERANGKAP
SEBAGAI PEGAWAI TETAP, MANTAN PEGAWAI YANG MENERIMA JASA PRODUKSI,
TANTIEM, GRATIFIKASI, BONUS ATAU IMBALAN LAIN YANG BERSIFAT TIDAK
TERATUR, DAN PESERTA PROGRAM PENSIUN YANG MASIH BERSTATUS SEBAGAI
PEGAWAI YANG MENARIK DANA PENSIUN
III.1. Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Anggota Dewan
Pengawas atau Dewan Komisaris Yang Tidak Merangkap Sebagai Pegawai
Tetap
PPh
Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
UU PPh atas kumulatif jumlah penghasilan bruto yang diterima atau
diperoleh selama 1 (satu) tahun kalender.
III.2. Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Mantan Pegawai
Yang Menerima Penghasilan Berupa Jasa Produksi, Tantiem, Gratifikasi,
Bonus atau Imbalan Lain yang Bersifat Tidak Teratur.
PPh
Pasal 21 dihitung dengan cara menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1)
huruf a UU PPh atas kumulatif jumlah penghasilan bruto yang diterima
atau diperoleh selama 1 (satu) tahun kalender.
III.3. Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Peserta Program
Pensiun Yang Masih Berstatus Sebagai Pegawai yang Menarik Dana
Pensiun.
PPh
Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
UU PPh dari kumulatif jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan selama
1 (satu) tahun kalender.
IV. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 BAGI ORANG
PRIBADI YANG BERSTATUS SEBAGAI BUKAN PEGAWAI
IV.1. Pemotongan
PPh Pasal 21 Bagi Tenaga Ahli yang Melakukan Pekerjaan Bebas
PPh
Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada tenaga ahli yang
melakukan pekerjaan bebas dihitung dengan cara menerapkan tarif Pasal
17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif 50% (lima puluh
persen) dari jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan atau terutang
dalam 1 (satu) tahun kalender.
Dalam
hal tenaga ahli tersebut adalah dokter yang melakukan praktik di
rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto
adalah sebesar jasa dokter yang dibayarkan pasien melalui rumah sakit
dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh
rumah sakit dan/atau klinik.
IV.2. Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Dalam
Negeri Bukan Pegawai, Selain Tenaga Ahli, atas Imbalan yang Bersifat
Berkesinambungan
IV.2.1. Bagi yang Telah Memiliki NPWP dan Hanya Menerima
Penghasilan Dari Pemotong Pajak yang Bersangkutan
PPh
Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
UU PPh atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak. Besarnya
penghasilan kena pajak adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi
PTKP per bulan.
IV.2.2. Bagi yang Tidak Memiliki NPWP atau Menerima
Penghasilan Dari Selain Pemotong Pajak yang Bersangkutan
PPh
Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
UU PPh atas jumlah kumulatif penghasilan bruto dalam tahun kalender
yang bersangkutan.
IV.3. Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Dalam
Negeri Bukan Pegawai, Selain Tenaga Ahli, atas Imbalan yang Tidak
Bersifat Berkesinambungan.
PPh
Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
UU PPh atas jumlah penghasilan bruto.
V. PETUNJUK
UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 BAGI PESERTA KEGIATAN
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah penghasilan bruto untuk setiap
kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima
oleh peserta kegiatan.
VI. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 26 BAGI ORANG
PRIBADI YANG BERSTATUS SEBAGAI SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI.
1. Dasar
pengenaan PPh Pasal 26 adalah dari jumlah penghasilan bruto.
2. Dikenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% dengan
memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda (P3B), dalam hal orang pribadi yang menerima
penghasilan adalah subjek pajak dalam negeri dari negara yang telah
mempunyai P3B dengan Indonesia.
BAGIAN
KEDUA : CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
I. PENGHITUNGAN
PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP PENGHASILAN PEGAWAI TETAP
I.1 DENGAN
GAJI BULANAN
I.1.1 Ahmad Zakaria pada tahun 2009 bekerja pada
perusahaan PT Zamrud Abadi dengan memperoleh gaji sebulan Rp
2.500.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000,00. Ahmad
menikah tetapi belum mempunyai anak. Penghitungan PPh Pasal 21 adalah
sebagai berikut:
Gaji
sebulan Rp 2.500.000,00
Pengurangan:
1. Biaya
Jabatan:
5%
x Rp 2.500.000,00 Rp 125.000,00
2. Iuran
pensiun Rp 100.000,00
------------------
Rp
225.000,00
---------------------
Penghasilan
neto sebulan Rp 2.275.000,00
Penghasilan
neto setahun adalah
12
xRp 2.275.000,00 Rp 27.300.000,00
PTKP
setahun
- untuk
W Psendiri Rp 15.840.000,00
- tambahan
WP kawin Rp 1.320.000,00
----------------------
Rp
17.160.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak setahun Rp 10.140.000,00
PPh
Pasal 21 terutang
5%
x Rp 10.140.000,00 = Rp 507.000,00
PPh
Pasal 21 sebulan
Rp
507.000,00 : 12 = Rp 42.250,00
Catatan:
a. Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari
penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa
memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
b. Contoh di atas berlaku apabila pegawai yang
bersangkutan sudah memiliki NPWP. Dalam hal pegawai yang bersangkutan
belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong
adalah sebesar:
120% x
Rp 42.250,00 = Rp 50.700,00.
c. Untuk contoh-contoh selanjutnya diasumsikan penerima
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sudah memiliki NPWP, kecuali
disebut lain dalam contoh tersebut.
I.1.2 Bambang Yuliawan pegawai pada perusahaan PT Yasa
Buana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp 2.000.000,00.
PT Yasa Buana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan
Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan
jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Yasa Buana
menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari
gaji sedangkan Bambang Yuliawan membayar iuran Jaminan Hari Tua
sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Yasa Buana
juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya.
PT
Yasa Buana membayar iuran pensiun untuk Bambang Yuliawan ke dana
pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri keuangan,
setiap bulan sebesar Rp 100.000,00, sedangkan Bambang Yuliawan
membayar iuran pensiun sebesar Rp 50.000,00.
Penghitungan
PPh Pasal 21
Gaji
sebulan Rp 2.000.000,00
Premi
Jaminan Kecelakaan Kerja Rp 10.000,00
Premi
Jaminan Kematian Rp 6.000,00
---------------------
Penghasilan
bruto Rp 2.016.000,00
Pengurangan
1. Biaya
jabatan
5% x
Rp 2.016.000,00 Rp 100.800,00
2. Iuran
Pensiun Rp 50.000,00
3. Iuran
Jaminan Hari Tua Rp 40.000,00
-------------------
Rp
190.800,00
---------------------
Penghasilan
neto sebulan Rp 1.825.200,00
Penghasilan
neto setahun
12 x Rp
1.825.200,00 Rp 21.902.400,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
- tambahan
WP kawin Rp 1.320.000,00
----------------------
Rp
17.160.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak setahun Rp 4.742.400,00
Pembulatan Rp
4.742.000,00
PPh
Pasal 21 terutang
5% x Rp
4.742.000,00 = Rp 237.100,00
PPh
Pasal 21 sebulan
Rp
237.100,00 : 12 = Rp 19.758,00
I.1.3 Endang Vidyawati adalah seorang karyawati dengan
status menikah tanpa anak, bekerja pada PT Ventura Entiti dengan gaji
sebulan sebesar Rp 2.500.000,00. Endang Vidyawati membayar iuran
pensiun ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan sebesar Rp 50.000,00 sebulan. Berdasarkan surat keterangan
dari Pemda tempat Endang Vidyawati berdomisili yang diserahkan kepada
pemberi kerja, diketahui bahwa suaminya tidak mempunyai penghasilan
apapun.
Penghitungan
PPh Pasal 21:
Gaji
sebulan Rp 2.500.000,00
Pengurangan:
1. Biaya
Jabatan
5% x
Rp 2.500.000,00 = Rp 125.000,00
2. iuran
pensiun Rp 50.000,00
=========
Rp
175.000,00
----------------------
Penghasilan
neto sebulan Rp 2.325.000,00
Penghasilan
neto setahun
12 x Rp
2.325.000,00 = Rp 27.900.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
- tambahan
karena menikah Rp 1.320.000,00
----------------------
Rp
17.160.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak setahun Rp 10.740.000,00
PPh
Pasal 21 setahun
5% x Rp
10.740.000,00 = Rp 537.000,00
PPh
Pasal 21 sebulan
Rp
537.000,00 : 12 = Rp 44.750,00
I.1.4 Firma Utami karyawati dengan status menikah tetapi
belum mempunyai anak bekerja pada PT Unggul Farmindo. Firma Utami
menerima gaji Rp 3.000.000,00 sebulan. PT Unggul Farmindo mengikuti
program pensiun dan jamsostek. Perusahaan membayar iuran pensiun
kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan, sebesar Rp 40.000,00 sebulan.
Firma
Utami juga membayar iuran pensiun sebesar Rp 30.000,00 sebulan,
disamping itu perusahaan membayarkan iuran Jaminan Hari Tua
karyawannya setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji, sedangkan Firma
Utami membayar iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 2,00% dari
gaji. Berdasarkan surat keterangan Pemda tempat Firma Utami bertempat
tinggal diketahui bahwa suami Firma Utami tidak mempunyai penghasilan
apapun. Premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dibayar
oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing sebesar 1,00% dan
0,30% dari gaji.
Penghitungan
PPh Pasal 21:
Gaji
sebulan Rp 3.000.000,00
Premi
Jaminan Kecelakaan Kerja Rp 30.000,00
Premi
Jaminan Kematian Rp 9.000,00
---------------------
Penghasilan
bruto sebulan Rp 3.039.000,00
Pengurangan:
1. Biaya
jabatan
5% x
Rp 3.039.000,00 = Rp 151.950,00
2. Iuran
Pensiun Rp 30.000,00
3. Iuran
Jaminan Hari Tua Rp 60.000,00
-------------------
Rp
241.950,00
---------------------
Penghasilan
neto sebulan Rp 2.797.050,00
Penghasilan
neto setahun
12 x Rp
2.797.050,00 = Rp 33.564.600,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
- tambahan
karena menikah Rp 1.320.000,00
----------------------
Rp
17.160.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak adalah Rp 16.404.600,00
Pembulatan Rp
16.404.000,00
PPh
Pasal 21 setahun
5% x Rp
16.404.000,00 = Rp 820.200,00
PPh
Pasal 21 sebulan
Rp
820.200,00 : 12 = Rp 68.350,00
Catatan:
Apabila suami Firma Utami bekerja, besarnya PTKP
Firma Utami adalah PTKP untuk diri sendiri sebesar Rp 15.840.000,00.
I.2 DENGAN
GAJI MINGGUAN DAN GAJI HARIAN
Contoh-contoh
perhitungan berikut ini hanya berlaku bagi pegawai tetap (bukan
pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas) yang gajinya dibayar
secara mingguan atau harian.
I.2.1 Gaguk Trimanto, menikah dengan satu anak, bekerja
sebagai pegawai tetap pada Perusahaan PT Teguh Gemilang menerima gaji
yang dibayar mingguan sebesar Rp 600.000,00
Penghitungan
PPh Pasal 21:
Gaji
sebulan adalah
4 x Rp
600.000,00 Rp 2.400.000,00
Pengurangan:
Biaya
Jabatan
5% x Rp
2.400.000,00 Rp 120.000,00
-----------------------
Penghasilan
neto sebulan Rp 2.280.000,00
Penghasilan
neto setahun
12 x Rp
2.280.000,00 Rp 27.360.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
- tambahan
karena menikah Rp 1.320.000,00
- tambahan
untuk 1 anak Rp 1.320.000,00
----------------------
Rp
18.480.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak setahun Rp 8.880.000,00
PPh
Pasal 21
5% x Rp
8.880.000,00 = Rp 444.000,00
PPh
Pasal 21 sebulan
Rp
444.000,00 : 12 = Rp 37.000,00
PPh
Pasal 21 atas gaji/upah mingguan
Rp
37.000,00 : 4 = Rp 9.250,00
I.2.2 Harun Santoso pegawai pada perusahaan PT Segara
Hurip dengan memperoleh gaji mingguan sebesar Rp 500.000,00. Harun
kawin dan mempunyai seorang anak. PT Segara Hurip masuk program
Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian
dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing setiap bulan
sebesar 1,00% dan 0,30% dari gaji. PT Segara Hurip membayar iuran
Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji dan Harun
membayar iuran pensiun Rp 10.000,00 dan Jaminan Hari Tua sebesar
2,00% dari gaji.
Penghasilan
sebulan (4 x Rp 500.000,00) Rp 2.000.000,00
Premi
Jaminan Kecelakaan Kerja Rp 20.000,00
Premi
Jaminan Kematian Rp 6.000,00
---------------------
Penghasilan
bruto Rp 2.026.000,00
Pengurangan:
1. Biaya
jabatan
5%
x Rp 2.026.000,00 Rp 101.300,00
2. Iuran
pensiun Rp 10.000,00
3. Iuran
Jaminan Hari Tua Rp 40.000,00
------------------
Rp
151.300,00
---------------------
Penghasilan
neto sebulan adalah Rp 1.874.700,00
Penghasilan
neto setahun
12 x Rp
1.874.700,00 Rp 22.496.400,00
PTKP
- untuk
wajib pajak Rp 15.840.000,00
- tambahan
karena menikah Rp 1.320.000,00
- tambahan
seorang anak Rp 1.320.000,00
----------------------
Rp
18.480.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak setahun Rp 4.016.400,00
Pembulatan Rp
4.016.000,00
PPh
Pasal 21 setahun
5% x Rp
4.016.000,00 = Rp 200.800,00
PPh
Pasal 21 sebulan
Rp
200.800,00 : 12 = Rp 16.733,00
PPh
Pasal 21 mingguan
Rp
16.733,00 : 4 = Rp 4.183,00
I.2.3 Imam Rahardi pegawai tetap pada perusahaan PT Rejo
Indonusa dengan memperoleh gaji yang dibayar harian sebesar Rp
80.000,00. Imam kawin dan mempunyai seorang anak. PT Rejo Indonusa
masuk program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi
Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah
masing-masing setiap bulan sebesar 1,00% dan 0,30% dari gaji. PT Rejo
Indonusa membayar iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70%
dari gaji dan Imam membayar iuran pensiun Rp 15.000,00 dan Jaminan
Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji.
Penghasilan
sebulan = 26 x Rp 80.000,00 = Rp 2.080.000,00
Premi
Jaminan Kecelakaan Kerja Rp 20.800,00
Premi
Jaminan Kematian Rp 6.240,00
--------------------
Penghasilan
bruto Rp 2.107.040,00
Pengurangan:
1. Biaya
jabatan
5%
x Rp 2.107.040,00 Rp 105.352,00
2. Iuran
pensiun Rp 15.000,00
3. Iuran
Jaminan Hari Tua Rp 41.600,00
------------------
Rp
161.952,00
----------------------
Penghasilan
neto sebulan Rp 1.945.088,00
Penghasilan
neto setahun
12 x Rp
1.945.088,00 Rp 23.341.056,00
PTKP:
- untuk
wajib pajak Rp 15.840.000,00
- tambahan
karena menikah Rp 1.320.000,00
- tambahan
seorang anak Rp 1.320.000,00
----------------------
Rp
18.480.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak setahun Rp 4.861.056,00
Pembulatan Rp
4.861.000,00
PPh
Pasal 21 setahun
5% x Rp
4.861.000,00 = Rp 243.050,00
PPh
Pasal 21 sebulan
Rp
243.050,00 : 12 = Rp 20.254,00
PPh
Pasal 21 sehari
Rp
20.254,00 : 26 = Rp 779,00
I.3 PENGHITUNGAN
PPh PASAL 21 ATAS PEMBAYARAN UANG RAPEL
I.3.1 Ahmad Zakaria sebagaimana tersebut dalam contoh
nomor I.1.1. di atas pada bulan Juni 2009 menerima kenaikan gaji,
menjadi Rp 3.500.000,00 sebulan dan berlaku surut sejak 1 Januari
2009. Dengan adanya kenaikan gaji yang berlaku surut tersebut maka
Ahmad menerima rapel sejumlah Rp 5.000.000,00 (kekurangan gaji untuk
masa Januari s.d. Mei 2009). Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas uang
rapel tersebut, terlebih dahulu dihitung kembali PPh Pasal 21 untuk
masa Januari s.d. Mei 2009 atas dasar penghasilan setelah ada
kenaikan gaji. Dengan demikian penghitungan PPh Pasal 21 terutangnya
adalah sebagai berikut:
Gaji Rp
3.500.000,00
Pengurangan:
1. Biaya
jabatan:
5% x
Rp 3.500.000,00 = Rp 175.000,00
2. Iuran
Pensiun Rp 100.000,00
------------------
Rp
275.000,00
----------------------
Penghasilan
neto sebulan Rp 3.225.000,00
Penghasilan
neto setahun:
12 x Rp
3.225.000,00 Rp 38.700.000,00
PTKP
- untuk
wajib pajak Rp 15.840.000,00
- tambahan
karena menikah Rp 1.320.000,00
----------------------
Rp
17.160.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 21.540.000,00
PPh
Pasal 21 setahun
5% x Rp
21.540.000,00 = Rp 1.077.000,00
PPh
Pasal 21 sebulan
Rp
1.077.000,00 : 12 = Rp 89.750,00
PPh
Pasal 21 Januari s.d Mei 2009 seharusnya adalah:
5 x Rp
89.750,00 = Rp 448.750,00
PPh
Pasal 21 yang sudah dipotong Januari s.d. Mei 2009
5 x Rp
42.250,00 (dari perhitungan contoh I.1.1) = Rp 211.250,00
---------------------
PPh
Pasal 21 untuk uang rapel Rp 237.500,00
I.4 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP
PENGHASILAN BERUPA : JASA PRODUKSI, TANTIEM, GRATIFIKASI, TUNJANGAN
HARI RAYA ATAU TAHUN BARU, BONUS, PREMI, DAN PENGHASILAN SEJENIS
LAINNYA YANG SIFATNYA TIDAK TETAP DAN PADA UMUMNYA DIBERIKAN SEKALI
DALAM SETAHUN
I.4.1 Joko Qurnain (tidak kawin) bekerja pada PT Qolbu
Jaya dengan memperoleh gaji sebesar Rp 2.000.000,00 sebulan. Dalam
tahun yang bersangkutan Joko menerima bonus sebesar Rp 5.000.000,00.
Setiap bulannya Joko membayar iuran pensiun ke dana Pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp60.000,00
Cara
menghitung PPh Pasal 21 atas bonus adalah:
I.4.1.a PPh
Pasal 21 atas Gaji dan Bonus (penghasilan setahun):
Gaji
setahun (12 x Rp2.000.000,00) Rp 24.000.000,00
Bonus Rp
5.000.000,00
----------------------
Penghasilan
bruto setahun Rp 29.000.000,00
Pengurangan:
1. Biaya
Jabatan
5% x
Rp 29.000.000,00 = Rp 1.450.000,00
2. Iuran
pensiun setahun
12 x
Rp 60.000,00 = Rp 720.000,00
---------------------
Rp
2.170.000,00
----------------------
Penghasilan
neto setahun Rp 26.830.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 10.990.000,00
PPh
Pasal 21 terutang
5% x
Rp 10.990.000,00 = Rp 549.500,00
I.4.1.b PPh
Pasal 21 atas Gaji setahun
Gaji
setahun (12 x Rp2.000.000,00) = Rp 24.000.000,00
Pengurangan:
1. Biaya
Jabatan
5% x
Rp 24.000.000,00 = Rp 1.200.000,00
2. Iuran
pensiun setahun
12 x
Rp 60.000,00 = Rp 720.000,00
---------------------
Rp
1.920.000,00
----------------------
Penghasilan
neto setahun Rp 22.080.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 6.240.000,00
PPh
Pasal 21 terutang
5% x
Rp 6.240.000,00 = Rp 312.000,00
I.4.1.c PPh
Pasal 21 atas Bonus
PPh
Pasal 21 atas Bonus adalah:
Rp
549.500,00 - Rp 312.000,00 = Rp 237.500,00
I.4.2 Karyawati Ken Prameswari (tidak kawin) bekerja
pada PT Prabu Kedaton dengan memperoleh gaji sebesar Rp 2.750.000,00
sebulan. Perusahaan ikut dalam program jamsostek. Premi Jaminan
Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dan iuran Jaminan Hari
Tua dibayar oleh pemberi kerja setiap bulan masing-masing sebesar
1,00%, 0,30% dan 3,70% dari gaji. Prameswari membayar iuran Pensiun
Rp 50.000,00 dan iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji untuk
setiap bulan. Dalam tahun berjalan dia juga menerima bonus sebesar Rp
4.000.000,00.
Cara
menghitung PPh Pasal 21 atas bonus adalah sebagai berikut:
I.4.2.a PPh
Pasal 21 atas Gaji dan Bonus (penghasilan setahun)
Gaji
setahun (12 x Rp 2.750.000,00) Rp 33.000.000,00
Bonus Rp
4.000.000,00
Premi
Jaminan Kecelakaan Kerja
12 x
Rp 27.500,00 Rp 330.000,00
Premi
Jaminan Kematian
12 x
Rp 8.250,00 Rp 99.000,00
-----------------------
Penghasilan
bruto setahun Rp 37.429.000,00
Pengurangan:
1. Biaya
Jabatan
5% x
Rp 37.429.000,00 = Rp 1.871.450,00
2. Iuran
pensiun setahun
12 x
Rp 50.000,00 = Rp 600.000,00
3. Iuran
Jaminan Hari Tua
12 x
Rp 55.000,00 = Rp 660.000,00
---------------------
Rp
3.131.450,00
----------------------
Penghasilan
neto setahun Rp 34.297.550,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 18.457.550,00
Dibulatkan Rp
18.457.000,00
PPh
Pasal 21 terutang
5% x
Rp 18.457.000,00 = Rp 922.850,00
I.4.2.b PPh
Pasal 21 atas Gaji setahun
Gaji
setahun (12 x Rp 2.750.000,00) = Rp 33.000.000,00
Premi
Jaminan Kecelakaan Kerja
12 x
Rp 27.500,00 = Rp 330.000,00
Premi
Jaminan Kematian
12 x
Rp 8.250,00 = Rp 99.000,00
----------------------
Jumlah Rp
33.429.000,00
Pengurangan:
1. Biaya
Jabatan
5% x
Rp 33.429.000,00 = Rp 1.671.450,00
2. Iuran
pensiun setahun
12 x
Rp 50.000,00 = Rp 600.000,00
3. Iuran
Jaminan Hari Tua
12 x
Rp 55.000,00 = Rp 660.000,00
---------------------
Jumlah Rp
2.931.450,00
----------------------
Penghasilan
neto setahun = Rp 30.497.550,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 14.657.550,00
Pembulatan Rp
14.657.000,00
PPh
Pasal 21 terutang
5% x
Rp 14.657.000,00 = Rp 732.850,00
I.4.2.c PPh
Pasal 21 atas Bonus
PPh
Pasal 21 atas Bonus adalah:
Rp
922.850,00 - Rp 732.850,00 = Rp 190.000,00
I.5 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS
PENGHASILAN PEGAWAI YANG DIPINDAHTUGASKAN DALAM TAHUN BERJALAN
Pada
saat pegawai dipindahtugaskan, pegawai yang bersangkutan tidak
berhenti bekerja dari perusahaan tempat dia bekerja. Pegawai yang
bersangkutan masih tetap bekerja pada perusahaan yang sama dan hanya
berubah lokasinya saja. Dengan demikian dalam penghitungan PPh Pasal
21 tetap menggunakan dasar penghitungan selama setahun.
Contoh
penghitungan:
Agus Saparudin yang berstatus belum menikah adalah
pegawai pada PT Nusantara Mandiri di Jakarta. Sejak 1 Juni 2009
dipindahtugaskan ke kantor cabang di Bandung dan pada 1 Oktober 2009
dipindahtugaskan lagi ke kantor cabang di Garut. Gaji Agus Saparudin
sebesar Rp 3.500.000,00 dan pembayaran iuran pensiun yang dibayar
sendiri sebulan sejumlah Rp 100.000,00.
Penghitungan
PPh Pasal 21:
I.5.1 Kantor
Pusat di Jakarta
Gaji
sebulan Rp 3.500.000,00
Pengurangan
1. Biaya
Jabatan:
5% x
Rp 3.500.000,00 = Rp 175.000,00
2. Iuran
pensiun = Rp 100.000,00
------------------
Rp
175.000,00
---------------------
Penghasilan
neto sebulan adalah Rp 3.325.000,00
Penghasilan
neto setahun:
12 x Rp
3.325.000,00 Rp 38.700.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 22.860.000,00
PPh
Pasal 21 terutang setahun
5% x Rp
22.860.000,00 = Rp 1.143.000,00
PPh
Pasal 21 terutang sebulan
Rp
1.143.000,00 : 12 = Rp 95.250,00
PPh Pasal 21 terutang dan harus dipotong untuk masa
Januari s.d. Mei 2009 adalah:
5/12 x
Rp 1.143.000,00 = Rp 476.250,00
PPh
Pasal 21 yang sudah dipotong masa Januari s.d. Mei 2009 adalah:
5 x Rp
95.250,00 = Rp 476.250,00
----------------------
PPh
Pasal 21 kurang (lebih) dipotong N I H I L
Pengisian
Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Form 1721 A1) di Kantor Jakarta
Gaji
(Januari s.d. Mei 2009)
5 x Rp
3.500.000,00 Rp 17.500.000,00
Pengurangan
1. Biaya
Jabatan
5% x
Rp 17.500.000,00 = Rp 875.000,00
2. Iuran
pensiun
5 x Rp
100.000,00 = Rp 500.000,00
------------------
Rp
1.375.000,00
----------------------
Penghasilan
neto 5 bulan adalah Rp 16.125.000,00
Penghasilan
neto disetahunkan:
12/5 x
Rp 16.125.000,00 Rp 38.700.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak disetahunkan Rp 22.860.000,00
PPh
Pasal 21 disetahunkan
5% x Rp
22.860.000,00 = Rp 1.143.000,00
PPh
Pasal 21 terutang
5/12 x
Rp 1.143.000,00 = Rp 476.250,00
PPh
Pasal 21 yang telah dipotong dan dilunasi
(Januari
s.d. Mei 2009) adalah:
5 x Rp
95.250,00 = Rp 476.250,00
----------------------
PPh
Pasal 21 kurang (lebih) dipotong N I H I L
I.5.2 Kantor
Cabang Bandung
a. Penghasilan
neto di Bandung
Gaji
Juni s.d. September 2009:
4 x Rp
3.500.000,00 = Rp 14.000.000,00
Pengurangan
1. Biaya
Jabatan:
5% x
Rp 14.000.000,00 = Rp 700.000,00
2. Iuran
pensiun
4 x
Rp 100.000,00 = Rp 400.000,00
----------------------------
Rp
1.100.000,00
----------------------
Penghasilan
neto di Bandung Rp 12.900.000,00
b. Penghasilan
neto di Jakarta Rp 16.125.000,00
----------------------
Jumlah
penghasilan neto 9 bulan Rp 29.025.000,00
Penghasilan
neto disetahunkan:
12/9 x
Rp 29.025.000,00 = Rp 38.700.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak disetahunkan Rp 22.860.000,00
PPh
Pasal 21 disetahunkan:
5%
x Rp 22.860.000,00 = Rp 1.143.000,00
PPh
Pasal 21 terutang sebulan
Rp
1.143.000,00 : 12 = Rp 95.250,00
PPh
Pasal 21 terutang dan harus dipotong untuk
masa
Januari s.d. September 2009 adalah:
9/12
x Rp 1.143.000,00 = Rp 857.250,00
PPh
Pasal 21 terutang di Jakarta
sesuai
dengan Form. 1721 - A1 Rp 476.250,00
PPh
Pasal 21 yang sudah dipotong di Bandung
masa
Juni s.d. September 2009 adalah:
4
x Rp 95.250,00 = Rp 381.000,00
----------------------
PPh
Pasal 21 kurang (lebih) dipotong N I H I L
Pengisian Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir
1721 - A1) di Kantor Bandung
Penghasilan
neto di Bandung
Gaji
Juni s.d. September 2009:
4 x Rp
3.500.000,00 = Rp 14.000.000,00
Pengurangan:
1. Biaya
Jabatan:
5% x
Rp 14.000.000,00 = Rp 700.000,00
2. Iuran
pensiun
4 x Rp
100.000,00 = Rp 400.000,00
------------------
Rp
1.100.000,00
----------------------
Penghasilan
neto di Bandung Rp 12.900.000,00
Penghasilan
neto di Jakarta Rp 16.125.000,00
----------------------
Jumlah
penghasilan neto 9 bulan Rp 29.025.000,00
Penghasilan
neto disetahunkan:
12/9 x
Rp 29.025.000,00 = Rp 38.700.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak disetahunkan Rp 22.860.000,00
PPh
Pasal 21 disetahunkan
5%
x Rp 22.860.000,00 = Rp 1.143.000,00
PPh Pasal 21 terutang
9/12 x Rp
1.143.000,00 Rp 857.250,00
PPh Pasal 21 telah
dipotong dan dilunasi:
Di Jakarta sesuai
dengan Form. 1721 - A1 Rp 476.250,00
Di Bandung (4 x Rp
95.250,00) Rp 381.000,00
----------------------
PPh
Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL
I.5.3 Kantor
Cabang Garut
a. Penghasilan
neto di Garut
Gaji
Oktober s.d. Desember 2009:
3 x Rp
3.500.000,00 = Rp 10.500.000,00
Pengurangan
1. Biaya
Jabatan
5% x
Rp 10.500.000,00 = Rp 525.000,00
2. Iuran
pensiun
3 x
Rp 100.000,00 = Rp 300.000,00
------------------
Rp
825.000,00
----------------------
Penghasilan
neto di Garut Rp 9.675.000,00
b. Penghasilan
neto di Jakarta Rp 16.125.000,00
c. Penghasilan
neto di Bandung Rp 12.900.000,00
----------------------
Jumlah
penghasilan neto setahun Rp 38.700.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 22.860.000,00
PPh
Pasal 21 terutang setahun
5% x
Rp 22.860.000,00 = Rp 1.143.000,00
PPh
Pasal 21 terutang di Jakarta dan Bandung
sesuai
dengan Form. 1721 - A1 Rp 857.250,00
----------------------
PPh
Pasal 21 terutang di Garut Rp 285.750,00
PPh
Pasal 21 sebulan yang harus dipotong di Garut
Rp
285.750,00 : 3 = Rp 95.250,00
Pengisian Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir
1721 - A1) di Kantor Garut
Penghasilan
neto di Garut
Gaji
Oktober s.d. Desember 2009:
3 x Rp
3.500.000,00 = Rp 10.500.000,00
Pengurangan
1. Biaya
Jabatan:
5% x
Rp 10.500.000,00 = Rp 525.000,00
2. Iuran
pensiun
3 x Rp
100.000,00 = Rp 300.000,00
------------------
Rp
825.000,00
----------------------
Penghasilan
neto di Garut Rp 9.675.000,00
Penghasilan
neto di Jakarta Rp 16.125.000,00
Penghasilan
neto di Bandung Rp 12.900.000,00
----------------------
Jumlah
penghasilan neto setahun Rp 38.700.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 22.860.000,00
PPh
Pasal 21 terutang
5% x Rp
22.860.000,00 = Rp 1.143.000,00
PPh
Pasal 21 terutang di Jakarta dan Bandung
sesuai
dengan Form. 1721 - A1 Rp 857.250,00
----------------------
PPh
Pasal 21 terutang di Garut Rp 285.750,00
PPh
Pasal 21 telah dipotong (3 x Rp 95.250,00) Rp 285.750,00
-----------------------
PPh
Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL
I.6 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS
PENGHASILAN PEGAWAI YANG BERHENTI BEKERJA ATAU MULAI BEKERJA DALAM
TAHUN BERJALAN
I.6.1 Pegawai
Baru Mulai Bekerja Pada Tahun Berjalan
I.6.1.1 Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan
pegawai yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam
negeri sudah ada sejak awal tahun kalender tetapi baru bekerja pada
pertengahan tahun.
Budiyanta
bekerja pada PT Xiang Malam sebagai pegawai tetap sejak 1 September
2009. Budiyanta menikah tetapi belum punya anak. Gaji sebulan adalah
sebesar Rp 6.000.000,00 dan iuran pensiun yang dibayar tiap bulan
sebesar Rp 150.000,00.
Penghitungan
PPh Pasal 21 tahun 2009 adalah sebagai berikut:
Gaji
sebulan Rp 6.000.000,00
Pengurangan:
1. Biaya
Jabatan
5% x
Rp 6.000.000,00 = Rp 300.000,00
2. Iuran
Pensiun Rp 150.000,00
------------------
Rp
450.000,00
----------------------
Penghasilan
neto sebulan Rp 5.550.000,00
Penghasilan
neto setahun
4 x Rp
5.550.000,00 = Rp 22.200.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
- tambahan
WP kawin Rp 1.320.000,00
----------------------
Rp
17.160.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak setahun Rp 5.040.000,00
PPh
Pasal 21 terutang
5% x
Rp 5.040.000,00 = Rp 252.000,00
PPh
Pasal 21 sebulan
Rp
252.000,00 : 4 = Rp 63.000,00
I.6.1.2 Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan
pegawai yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam
negeri dimulai setelah permulaan tahun pajak, dan mulai bekerja pada
tahun berjalan
David
Raisita (K/3) mulai bekerja 1 September 2009. Ia bekerja di Indonesia
s.d. Agustus 2012. Selama Tahun 2009 menerima gaji per bulan Rp
20.000.000,00
Penghitungan
PPh Pasal 21 tahun 2009 adalah sebagai berikut:
Gaji
sebulan Rp 20.000.000,00
Pengurangan:
Biaya
Jabatan
5% x
Rp 20.000.000,00 = Rp 1.000.000,00
Maksimum
diperkenankan Rp 500.000,00
-----------------------
Penghasilan
neto sebulan Rp 19.500.000,00
Penghasilan
neto selama 4 bulan Rp 78.000.000,00
Penghasilan
neto disetahunkan:
12/4 x
Rp 78.000.000,00 Rp 234.000.000,00
PTKP
(K/3)
- untukWP
sendiri Rp 15.840.000,00
- tambahan
WP kawin Rp 1.320.000,00
- tambahan
3 orang anak
(3 x
Rp 1.320.000,00) Rp 3.960.000,00
----------------------
Rp
21.120.000,00
-----------------------
Penghasilan
Kena Pajak disetahunkan Rp 212.880.000,00
PPh
Pasal 21 disetahunkan:
- 5% x
Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
- 15%
x Rp 162.880.000,00 Rp 24.432.000,00
-----------------------
Rp
26.932.000,00
PPh
Pasal 21 terutang untuk tahun 2009
4/12 x
Rp 26.932.000,00 = Rp 8.977.333,00
PPh
Pasal 21 terutang sebulan:
1/4 x
Rp 8.977.333,00 = Rp 2.244.333,00
I.6.2 Pegawai
Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan
I.6.2.1 Pegawai Yang Masih Memiliki Kewajiban Pajak
Subjektif Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan
Arip
Marwanto yang berstatus belum menikah adalah pegawai pada PT Mahakam
Utama di Yogyakarta - DIY. Sejak 1 Oktober 2009, yang bersangkutan
berhenti bekerja di PT Mahakam Utama. Gaji Arip Marwanto setiap bulan
sebesar Rp 3.500.000,00 dan yang bersangkutan membayar iuran pensiun
kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah mendapat persetujuan
Menteri Keuangan sejumlah Rp 100.000,00 setiap bulan.
Penghitungan
PPh Pasal 21 yang dipotong setiap bulan:
Gaji
sebulan Rp 3.500.000,00
Pengurangan
1. Biaya
Jabatan:
5% x
Rp 3.500.000,00 = Rp 175.000,00
2. Iuran
pensiun = Rp 100.000,00
------------------
Rp
275.000,00
----------------------
Penghasilan
neto Rp 3.225.000,00
Penghasilan
neto setahun
12 x
Rp 3.225.000,00 Rp 38.700.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 22.860.000,00
PPh
Pasal 21 terutang
5% x
Rp 22.860.000,00 = Rp 1.143.000,00
PPh
Pasal 21 yang harus dipotong sebulan:
Rp
1.143.000,00 : 12 = Rp 95.250,00
Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang selama
bekerja pada PT Mahakam Utama dalam tahun kalender 2009 (s.d. bulan
September 2009) dilakukan pada saat berhenti bekerja:
Gaji
(Januari s.d. September 2009)
9 x Rp
3.500.000,00 Rp 31.500.000,00
Pengurangan
1. Biaya
Jabatan:
5% x
Rp 31.500.000,00 = Rp 1.575.000,00
2. Iuran
pensiun
9 x
Rp 100.000,00 = Rp 900.000,00
---------------------
Rp
2.475.000,00
----------------------
Penghasilan
neto 9 bulan adalah Rp 29.025.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 13.185.000,00
PPh
Pasal 21 terutang
5% x
Rp 13.185.000,00 = Rp 659.250,00
PPh
Pasal 21 terutang untuk masa
Januari
s.d. September 2009 adalah = Rp 659.250,00
PPh
Pasal 21 yang sudah dipotong sampai
dengan
Bulan Agustus 2009:
8 x Rp
95.250,00 = Rp 762.000,00
-----------------------
PPh
Pasal 21 lebih dipotong Rp 102.750,00
Catatan:
Kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 sebesar Rp
102.750,00 dikembalikan oleh PT Mahakam Utama kepada yang
bersangkutan pada saat pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21.
I.6.2.2 Pegawai Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan dan
Sekaligus Kehilangan Kewajiban Pajak Subjektif
Lewis
Oshea (K/3) mulai bekerja Mei 2004 dan berhenti bekerja sejak 1 Juni
2009 dan meninggalkan Indonesia ke negara asalnya (kehilangan
kewajiban pajak subjektif). Selama tahun 2009 menerima gaji perbulan
sebesar Rp 15.000.000,00 dan pada bulan April 2009 menerima bonus
sebesar Rp 20.0000.000,00
A. Penghitungan
PPh Pasal 21 atas gaji adalah:
Gaji
sebulan Rp 15.000.000,00
Pengurangan:
Biaya
Jabatan
5% x
Rp 15.000.000 = Rp 750.000,00
Maksimum
diperkenankan Rp 500.000,00
-----------------------
Penghasilan
Neto atas gaji sebulan Rp 14.500.000,00
Penghasilan
Neto disetahunkan:
12 x
Rp 14.500.000,00 Rp 174.000.000,00
PTKP
(K/3)
- untuk
Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- tambahan
WP kawin Rp 1.320.000,00
- tambahan
3 orang anak
(3 x
Rp 1.320.000,00) Rp 3.960.000,00
----------------------
Rp
21.120.000,00
-----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 152.880.000,00
PPh
Pasal 21 atas gaji setahun:
5% x
Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
15% x
Rp102.880.000,00 Rp 15.432.000,00
----------------------
Rp
17.932.000,00
PPh
Pasal 21 atas gaji sebulan
Rp
17.932.000,00 : 12 = Rp 1.494.333,00
B. Penghitungan
PPh Pasal 21 atas gaji dan bonus:
Gaji
disetahunkan
(12 x
Rp 15.000.000,00) Rp 180.000.000,00
Bonus Rp
20.000.000,00
-----------------------
Rp
200.000.000,00
Pengurangan:
Biaya
Jabatan:
5% x
Rp 200.000.000,00 = Rp 10.000.000,00
Maksimum
diperkenankan
12 x
Rp 500.000,00 Rp 6.000.000,00
-----------------------
Penghasilan Neto atas gaji
setahun dan bonus Rp194.000.000,00
PTKP
(K/3)
- untuk
Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- tambahan
WP kawin Rp 1.320.000,00
- tambahan
3 orang anak
(3 x
Rp 1.320.000,00) Rp 3.960.000,00
----------------------
Rp
21.120.000,00
-----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 172.880.000,00
PPh
Pasal 21 atas gaji setahun dan bonus:
5% x
Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
15% x
Rp 122.880.000,00 Rp 18.432.000,00
----------------------
Rp
20.932.000,00
C. Penghitungan
PPh Pasal 21 atas Bonus:
Rp
20.932.000,00 - Rp 17.932.000,00 = Rp 3.000.000,00
D. Penghitungan kembali PPh Pasal 21 terutang pada saat
pegawai yang bersangkutan berhenti dan meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya, yang dicantumkan dalam Form 1721 A1:
Gaji
selama 5 bulan
(5 x
Rp 15.000.000,00) Rp 75.000.000,00
Bonus Rp
20.000.000,00
----------------------
Jumlah
seluruh penghasilan
selama
5 bulan Rp 95.000.000,00
Pengurangan:
Biaya
Jabatan:
5% x
Rp 95.000.000,00 = Rp 4.750.000,00
Maksimum
diperkenankan
5 x
Rp. 500.000,00 = Rp 2.500.000,00
---------------------
Penghasilan
Neto selama 5 bulan Rp 92.500.000,00
Jumlah
seluruh penghasilan neto disetahunkan
12/5
x Rp 92.500.000,00 Rp 222.000.000,00
PTKP
(K/3)
- untuk
Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
- tambahan
WP kawin Rp 1.320.000,00
- tambahan
3 orang anak
(3 x
Rp 1.320.000,00) Rp 3.960.000,00
----------------------
Rp
21.120.000,00
-----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 200.880.000,00
PPh
Pasal 21 atas gaji setahun dan bonus:
5% x
Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
15% x
Rp150.880.000,00 Rp 22.632.000,00
----------------------
Rp
25.132.000,00
PPh
Pasal 21 terutang atas penghasilan 5 bulan:
5/12
x Rp 25.132.000,00 = Rp 10.471.667,00
PPh
Pasal 21 telah dipotong sampai dengan
bulan
April 2009 atas gaji dan bonus:
(4 x
Rp 1.494.333,00) +
Rp
3.000.000,00 = Rp 8.977.333,00
----------------------
PPh
Pasal 21 terutang dan harus dipotong
untuk
bulan Mei 2009 = Rp 1.494.333,00
Catatan:
Cara penghitungan di atas berlaku juga bagi pegawai
yang kehilangan kewajiban subjektifnya pada tahun berjalan karena
meninggal dunia.
I.7 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS
PENGHASILAN YANG SEBAGIAN ATAU SELURUHNYA DIPEROLEH DALAM MATA UANG
ASING
Neill
Mc Leary adalah seorang karyawan memperoleh gaji pada bulan Januari
2009 dalam mata uang asing sebesar US$ 2,000 sebulan. Kurs yang
berlaku untuk bulan Januari 2009 berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan adalah Rp 11.250,00 per US$ 1.00. Neill Mc Leary berstatus
menikah dengan 1 anak.
Penghitungan
PPh Pasal 21 adalah:
Gaji
sebulan adalah:
US$
2,000 x Rp 11.250,00 Rp 22.500.000,00
Pengurangan:
Biaya
Jabatan
5% x Rp
22.500.000,00 = Rp 1.125.000,00
Maksimum
diperkenankan Rp 500.000,00
-----------------------
Penghasilan
neto sebulan Rp 22.000.000,00
Penghasilan
neto setahun
12 x Rp
22.000.000,00 Rp 264.000.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
- tambahan
karena menikah Rp 1.320.000,00
- tambahan
untuk 1 orang anak Rp 1.320.000,00
----------------------
Rp
18.480.000,00
-----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 245.520.000,00
PPh
Pasal 21 terutang setahun
5% x Rp
50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp
195.520.000,00 = Rp 29.328.000,00
----------------------
Rp
31.828.000,00
PPh
Pasal 21 sebulan:
Rp
31.828.000,00 : 12 = Rp 2.652.333,00
I.8 PPh
PASAL 21 SELURUH ATAU SEBAGIAN DITANGGUNG OLEH PEMBERI KERJA
Dalam
hal PPh Pasal 21 atas gaji pegawai ditanggung oleh pemberi kerja,
pajak yang ditanggung pemberi kerja tersebut termasuk dalam
pengertian kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf b dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan.
Arip
Mulyana adalah seorang pegawai dari PT Lautan Otomata dengan status
menikah dan mempunyai 3 orang anak. Dia menerima gaji Rp 4.000.000,00
sebulan dan PPh ditanggung oleh pemberi kerja. Tiap bulan ia membayar
iuran pensiun ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan sebesar Rp 150.000,00
Gaji
sebulan Rp 4.000.000,00
Pengurangan:
1. Biaya
Jabatan
5% x Rp
4.000.000,00 = Rp 200.000,00
2. Iuran
pensiun = Rp 150.000,00
------------------
Rp
350.000,00
----------------------
Penghasilan
neto sebulan Rp 3.650.000,00
Penghasilan
neto setahun
12 x Rp
3.650.000,00 Rp 43.800.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
- tambahan
karena menikah Rp 1.320.000,00
- tambahan
untuk 3 orang anak Rp 3.960.000,00
----------------------
Rp
21.120.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 22.680.000,00
PPh
Pasal 21 setahun adalah
5% x Rp
22.680.000,00 = Rp 1.134.000,00
PPh
Pasal 21 sebulan:
Rp
1.134.000,00 : 12 = Rp 94.500,00
PPh Pasal 21 sebesar Rp 94.500,00 ini ditanggung dan
dibayar oleh pemberi kerja. Jumlah sebesar Rp 94.500,00 tidak dapat
dikurangkan dari Penghasilan Bruto pemberi kerja dan bukan merupakan
penghasilan yang dikenakan pajak kepada Arip Mulyana.
Namun
apabila pemberi kerja adalah bukan Wajib Pajak selain pemerintah atau
Wajib Pajak yang pengenaan pajaknya berdasarkan PPh final atau
berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit), maka
kenikmatan berupa pajak yang ditanggung pemberi kerja ditambahkan ke
dalam penghasilan dari pegawai yang bersangkutan, dan penghitungan
pajaknya dilakukan sesuai contoh Nomor I.9.
I.9 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP
PEGAWAI TETAP YANG MENERIMA TUNJANGAN PAJAK
Dalam
hal kepada pegawai diberikan tunjangan pajak, maka tunjangan pajak
tersebut merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan dan
ditambahkan pada penghasilan yang diterimanya.
Contoh
penghitungan:
Peri Irawan (status kawin dengan 3 orang anak) bekerja
pada PT Kartika Kawashima Pionirindo dengan memperoleh gaji sebesar
Rp 2.500.000,00 sebulan. Kepada Peri Irawan diberikan tunjangan pajak
sebesar Rp 25.000,00. Iuran pensiun yang dibayar oleh Peri Irawan
adalah sebesar Rp 25.000,00 sebulan.
Penghitungan
PPh Pasal 21 adalah:
Gaji
sebulan Rp 2.500.000,00
Tunjangan
pajak Rp 25.000,00
---------------------
Penghasilan
bruto sebulan Rp 2.525.000,00
Pengurangan:
1. Biaya
Jabatan
5% x Rp
2.525.000,00 = Rp 126.250,00
2. Iuran
pensiun = Rp 25.000,00
----------------------------
Rp
151.250,00
-----------------------
Penghasilan
neto sebulan Rp 2.373.750,00
Penghasilan
neto setahun
12 x Rp
2.373.750,00 Rp 28.485.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
- tambahan
karena menikah Rp 1.320.000,00
- tambahan
untuk 3 orang anak Rp 3.960.000,00
----------------------
Rp
21.120.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 7.365.000,00
PPh
Pasal 21 setahun adalah 5% x Rp 7.365.000,00 = Rp 368.250,00
PPh
Pasal 21 sebulan adalah Rp 368.250,00 : 12 = Rp 30.688,00
Selisih pajak terutang dengan tunjangan pajak adalah
Rp 30.688,00 - Rp 25.000,00 = Rp 5.688,00 dapat ditanggung oleh
pegawai tersebut yaitu dengan dipotongkan dari penghasilan bulan yang
bersangkutan atau ditanggung oleh pemberi kerja/pemotong pajak.
Apabila selisih sebesar Rp 5.688,00 tersebut ditanggung
oleh pemberi kerja/pemotong pajak maka jumlah tersebut bukan
merupakan biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung Penghasilan
Kena Pajak pemberi kerja/pemotong pajak.
I.10 PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENERIMAAN DALAM
BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN LAINNYA YANG DIBERIKAN OLEH WAJIB PAJAK
YANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILANNYA BERSIFAT FINAL ATAU BERDASARKAN
NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS (DEEMED PROFIT)
Qalbun
Junaidi adalah warga negara RI yang bekerja pada suatu perwakilan
dagang asing yang pengenaan pajaknya menggunakan norma penghitungan
khusus (deemed profit), memperoleh gaji sebesar Rp 1.500.000,00
sebulan beserta beras 30 kg dan gula 10 kg. Qalbun Junaidi berstatus
menikah dengan 1 orang anak. Nilai uang dari beras dan gula dihitung
berdasarkan harga pasar yaitu:
Harga
beras : Rp 10.000,00 per kg.
Harga
gula : Rp 8.000,00 per kg.
Penghitungan
PPh Pasal 21
Gaji
sebulan Rp 1.500.000,00
Beras
: 30 x Rp 10.000,00 Rp 300.000,00
Gula
: 10 x Rp 8.000,00 Rp 80.000,00
-----------------------
Penghasilan
bruto sebulan Rp 1.880.000,00
Pengurangan:
Biaya
Jabatan
5%
x Rp 1.880.000,00 Rp 94.000,00
----------------------
Penghasilan
neto sebulan Rp 1.786.000,00
Penghasilan
neto setahun
12 x Rp
1.786.000,00 Rp 21.432.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
- tambahan
karena menikah Rp 1.320.000,00
- tambahan
untuk 1 orang anak Rp 1.320.000,00
----------------------
Rp
18.480.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 2.952.000,00
PPh
Pasal 21 setahun adalah
5%
x Rp 2.952.000,00 = Rp 147.600,00
PPh
Pasal 21 sebulan:
Rp
147.600,00 : 12 = Rp 12.300,00
I.11 Perhitungan PPh Pasal 21 Bagi Pegawai Tetap yang
Baru Memiliki NPWP pada Tahun Berjalan
Wahyu
Santosa, status belum menikah dan tidak memiliki tanggungan keluarga,
bekerja pada PT Fajar Sejahtera dengan memperoleh gaji dan tunjangan
setiap bulan sebesar Rp5.500.000,00, dan yang bersangkutan membayar
iuran pensiun kepada perusahaan Dana Pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan setiap bulan sebesar Rp200.000,00.
Wahyu Santosa baru memiliki NPWP pada bulan Juni 2009 dan menyerahkan
fotokopi kartu NPWP kepada PT Fajar Sejahtera untuk digunakan sebagai
dasar pemotongan PPh Pasal 21 bulan Juni.
Perhitungan
PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan untuk bulan Januari-Mei
2009 adalah sebagai berikut:
Gaji dan
tunjangan sebulan Rp 5.500.000,00
Pengurangan:
1. Biaya
Jabatan
5% x Rp
5.500.000,00 = Rp 275.000,00
2. Iuran
pensiun: = Rp 200.000,00
------------------
Rp
475.000,00
----------------------
Penghasilan
Neto atas gaji dan tunjangan sebulan Rp 5.025.000,00
Penghasilan
Neto setahun:
12 x Rp
5.025.000,00 Rp 60.300.000,00
PTKP
(TK/0)
- untuk
Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 44.460.000,00
PPh
Pasal 21 atas penghasilan setahun:
5% x Rp
44.460.000,00 Rp 2.223.000,00
PPh
Pasal 21 atas gaji sebulan
Rp
2.223.000,00 : 12 = Rp 185.250,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong karena yang
bersangkutan belum memiliki NPWP : 120% x Rp 185.250,00 = Rp
222.300,00
Jumlah
PPh Pasal 21 yang dipotong
dari
Januari-Mei 2009 = 5 x Rp 222.300,00 = Rp 1.111.500,00
Jumlah
PPh Pasal 21 terutang apabila
yang
bersangkutan memiliki NPWP =
5 x Rp
185.250,00 = Rp 926.250,00
---------------------
Selisih
(20% x 5 x Rp 185.250,00) = Rp 185.250,00
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang dan yang harus
dipotong untuk bulan Juni 2009, setelah yang bersangkutan memiliki
NPWP dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP kepada pemberi kerja, dengan
catatan gaji dan tunjangan untuk bulan Juni 2009 tidak berubah,
adalah sebagai berikut:
PPh
Pasal 21 terutang sebulan (sama dengan
perhitungan
sebelumnya) Rp 185.250,00
Diperhitungkan
dengan pemotongan atas tambahan
20%
sebelum memiliki NPWP (Januari-Mei 2009)
20% x 5
x Rp 185.250,00 (Rp 185.250,00)
--------------------
PPh
Pasal 21 yang harus dipotong bulan Juni 2009 N i h i l
Apabila Wahyu Santosa baru memiliki NPWP pada akhir
November 2009 dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP sebelum pemotongan
PPh Pasal 21 untuk bulan Desember 2009, dengan asumsi penghasilan
setiap bulan besarnya sama dan tidak ada penghasilan lain selain
penghasilan tetap dan teratur setiap bulan tersebut, maka perhitungan
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Desember 2009 adalah
sebagai berikut:
PPh
Pasal 21 terutang sebulan (sama dengan
Perhitungan
sebelumnya) Rp 185.250,00
Diperhitungkan
dengan pemotongan atas tambahan
20%
sebelum memiliki NPWP (Januari-November 2009)
20% x 11
x Rp 185.250,00 (Rp 407.550,00)
--------------------
PPh Pasal
21 yang harus dipotong bulan Desember 2009 (Rp 222.300,00)
Karena jumlah yang diperhitungkan lebih besar daripada
jumlah PPh Pasal 21 terutang untuk bulan Desember 2009, maka jumlah
PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk bulan tersebut adalah Nihil.
Jumlah sebesar Rp 222.300,00 dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21
untuk bulan-bulan selanjutnya dalam tahun kalender berikutnya. Karena
jumlah tersebut sudah diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang
untuk bulan-bulan berikutnya, jumlah tersebut tidak termasuk dalam
kredit pajak yang dapat diperhitungkan oleh pegawai tetap dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi
yang bersangkutan.
Perhitungan PPh Pasal 21 terutang untuk tahun 2009,
dimana Wahyu Santosa sudah memiliki NPWP pada akhir bulan November
2009 sebelum pemotongan PPh Pasal 21 bulan Desember 2009 adalah
sebagai berikut:
Gaji dan
tunjangan setahun:
Rp
5.500.000,00 x 12 Rp 66.000.000,00
Pengurangan:
Biaya
Jabatan
5% x Rp
66.000.000,00 = Rp 3.300.000,00
Iuran
pensiun:
Rp
200.000,00 x 12 = Rp 2.400.000,00
---------------------
Rp
5.700.000,00
----------------------
Penghasilan
Neto setahun Rp 60.300.000,00
PTKP
(TK/0)
- untuk
Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 44.460.000,00
PPh Pasal
21 atas penghasilan setahun:
5% x Rp
44.460.000,00 Rp 2.223.000,00
PPh Pasal
21 yang telah dipotong:
Bulan
Januari - November 2009
11 x Rp
222.300 = Rp 2.445.300,00
Bulan
Desember 2009 = Rp 0,00
------------------------------
Rp
2.445.300,00
-----------------------
PPh Pasal
21 lebih dipotong untuk diperhitungkan
pada
bulan selanjutnya dalam tahun kalender berikutnya (Rp 222.300,00)
Karena jumlah sebesar Rp 222.300,00 sudah
diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang bulan berikutnya oleh
Pemotong PPh Pasal 21, maka jumlah yang dapat dikreditkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi
pegawai yang bersangkutan sebesar Rp 2.223.000,00
I.12 Penghitungan
PPh Pasal 21 Yang Harus Dipotong Pada Masa Pajak Terakhir, yaitu:
a. Bulan Desember untuk Pegawai Tetap yang Bekerja
sampai dengan akhir tahun kalender;
b. Bulan Terakhir Memperoleh Gaji atau Penghasilan Tetap
dan Teratur Karena yang Bersangkutan Berhenti Bekerja.
I.12.1 Penghitungan
PPh Pasal 21 yang Harus Dipotong pada Bulan Desember.
a. Dalam Hal Penghasilan Tetap dan Teratur Setiap Bulan
Sama/Tidak Berubah, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada
bulan Desember besarnya sama dengan yang dipotong pada bulan-bulan
sebelumnya.
b. Dalam Hal Besarnya Penghasilan Tetap dan Teratur
Setiap Bulan Mengalami Perubahan.
Jaka
Lelana, status belum menikah dan tidak memiliki tanggungan keluarga,
bekerja pada PT Lazuardi Internusa dengan memperoleh gaji dan
tunjangan setiap bulan sebesar Rp 5.500.000,00, dan yang bersangkutan
membayar iuran pensiun kepada perusahaan Dana Pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan setiap bulan
sebesar Rp 200.000,00. Mulai bulan Juli 2009, Jaka Lelana memperoleh
kenaikan penghasilan tetap setiap bulan menjadi sebesar Rp
7.000.000,00.
Perhitungan
PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan untuk bulan
Januari-Juni 2009 adalah sebagai berikut:
Gaji
dan tunjangan sebulan Rp 5.500.000,00
Pengurangan:
Biaya
Jabatan
5% x Rp
5.500.000,00 = Rp 275.000,00
Iuran
pensiun: = Rp 200.000,00
------------------
Rp
475.000,00
----------------------
Penghasilan
Neto atas gaji dan tunjangan sebulan Rp 5.025.000,00
Penghasilan
Neto setahun:
12 x Rp
5.025.000,00 Rp 60.300.000,00
PTKP
(TK/0)
- untuk
Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 44.460.000,00
PPh
Pasal 21 atas gaji setahun:
5% x Rp
44.460.000,00 Rp 2.223.000,00
PPh
Pasal 21 atas gaji sebulan
Rp
2.223.000,00 : 12 = Rp 185.250,00
Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap
bulan untuk bulan Juli-November 2009 adalah sebagai berikut:
Gaji
dan tunjangan sebulan Rp 7.000.000,00
Pengurangan:
Biaya
Jabatan
5% x Rp
7.000.000,00 = Rp 350.000,00
Iuran
pensiun: = Rp 200.000,00
------------------
Rp
550.000,00
----------------------
Penghasilan
Neto atas gaji dan tunjangan sebulan Rp 6.450.000,00
Penghasilan
Neto setahun:
12 x Rp
6.450.000,00 Rp 77.400.000,00
PTKP
(TK/0)
- untuk
Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 61.560.000,00
PPh
Pasal 21 atas penghasilan setahun:
5% x Rp
50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
15% x
Rp 11.560.000,00 Rp 1.734.000,00
-----------------------
Rp
4.234.000,00
PPh
Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan:
Rp
4.234.000,00 : 12 = Rp 352.833,00
Perhitungan
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Desember 2009:
Penghasilan
selama setahun:
(6 x Rp
5.500.000,00) + (6 x Rp 7.000.000,00) = Rp 75.000.000,00
Pengurangan:
Biaya
Jabatan:
5% x Rp
75.000.000,00 = Rp 3.750.000,00
Iuran
Pensiun:
12 x Rp
200.000,00 = Rp 2.400.000,00
--------------------
Rp
6.150.000,00
----------------------
Penghasilan
Neto Rp 68.850.000,00
PTKP
(TK/0)
- untuk
Wajib Pajak Rp 15.840.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 53.010.000,00
PPh
Pasal 21 terutang:
5% x Rp
50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
15% x
Rp 3.010.000,00 Rp 451.500,00
---------------------
Rp
2.951.500,00
PPh
Pasal 21 yang telah dipotong s.d.
November
2009:
(6 x Rp
185.250,00) + (5 x Rp 352.833,00) Rp 2.875.365,00
--------------------
PPh
Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan
Desember
2009 Rp 76.135,00
I.12.2 Penghitungan PPh Pasal 21 yang Harus Dipotong
pada Bulan Terakhir Pegawai Tetap Memperoleh Penghasilan Tetap dan
Teratur Karena Yang Bersangkutan Berhenti Bekerja sebelum Bulan
Desember.
Contoh
: Lihat Contoh I.6.2. Pegawai Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan
II. PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS UANG PENSIUN YANG
DIBAYARKAN SECARA BERKALA (BULANAN)
II.1 Penghitungan PPh Pasal 21 Pada Tahun Pertama
Dibayarkannya Uang Pensiun Secara Bulanan
II.1.1 Penghitungan
PPh Pasal 21 di Tempat Pemberi Kerja Sebelum Pensiun.
Apabila
waktu pensiun sudah dapat diketahui dengan pasti pada awal tahun,
misalnya berdasarkan ketentuan yang berlaku di tempat pemberi kerja
yang dikaitkan dengan usia pegawai yang bersangkutan, maka
perhitungan PPh Pasal 21 terutang sebulan dihitung berdasarkan
penghasilan kena pajak yang akan diperoleh dalam periode dimana
pegawai yang bersangkutan akan bekerja dalam tahun berjalan sebelum
memasuki masa pensiun.
Namun,
apabila waktu pensiun belum dapat diketahui dengan pasti pada waktu
menghitung PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan, maka
penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada perkiraan penghasilan neto
setahun seperti pada Contoh I.6.2.1. Penghitungan Pemotongan PPh
Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai yang Masih Memiliki Kewajiban Pajak
Subjektif Berhenti Bekerja pada Tahun Berjalan.
Contoh:
Raden Suryaman, berstatus kawin dengan 2 (dua) orang
anak yang masih menjadi tanggungan, bekerja sebagai pegawai tetap
pada PT Indo Rejo Abadi dengan gaji sebulan sebesar Rp 5.000.000,00.
Raden Suryaman setiap bulan membayar iuran pensiun sebesar Rp
250.000,00 ke Dana Pensiun Swadhana Utama yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan ketentuan yang berlaku di
PT Indo Rejo Abadi terhitung mulai 1 Juli 2009, Raden Suryaman akan
memasuki masa pensiun.
Penghitungan
PPh Pasal 21 sebulan:
Gaji
sebulan Rp 5.000.000,00
Pengurangan
1. Biaya
jabatan:
5% x
Rp 5.000.000,00 = Rp 250.000,00
2. Iuran
pensiun Rp 250.000,00
------------------
Rp
500.000,00
----------------------
Penghasilan
Neto sebulan Rp 4.500.000,00
Penghasilan
Neto 6 bulan (masa bekerja Januari s.d. Juni 2009)
Rp
4.500.000,00 x 6 Rp 27.000.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
- tambahan
karena menikah Rp 1.320.000,00
- tambahan
untuk 2 orang anak Rp 2.640.000,00
----------------------
Rp
19.800.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 7.200.000,00
PPh
Pasal 21 terutang : 5% x Rp 7.200.000,00 Rp 360.000,00
PPh
Pasal 21 terutang sebulan : Rp 360.000,00 : 6 Rp 60.000,00
Pada saat Raden Suryaman berhenti bekerja dan
memasuki masa pensiun, maka pemberi kerja memberikan bukti pemotongan
PPh Pasal 21 (Form 1721 A1) dengan data sebagai berikut:
Gaji
selama 6 bulan : 6 x Rp 5.000.000,00 Rp 30.000.000,00
Pengurangan
1. Biaya
jabatan:
5% x
Rp 30.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
2. Iuran
pensiun:
6 x Rp
250.000,00 = Rp 1.500.000,00
----------------------
Rp
3.000.000,00
----------------------
Penghasilan
Neto selama 6 bulan Rp 27.000.000,00
PTKP:
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
- tambahan
karena menikah Rp 1.320.000,00
- tambahan
untuk 2 orang anak Rp 2.640.000,00
----------------------
Rp
19.800.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 7.200.000,00
PPh
Pasal 21 terutang (5% x Rp 7.200.000,00) Rp 360.000,00
PPh
Pasal 21 telah dipotong (6 x Rp 60.000,00) Rp 360.000,00
----------------------
PPh
Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL
Apabila pemotongan PPh Pasal 21 setiap bulan
didasarkan pada penghasilan yang disetahunkan, karena pada saat
perhitungan belum diketahui secara pasti saat pensiun atau berhenti
bekerja, maka pada saat penghitungan PPh Pasal 21 terutang untuk masa
terakhir (saat pensiun atau berhenti bekerja), akan terjadi kelebihan
pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai yang bersangkutan,
yang harus dikembalikan oleh pemotong pajak kepada pegawai yang
bersangkutan.
II.1.2 Penghitungan PPh Pasal 21 oleh Dana Pensiun yang
Membayarkan Uang Pensiun Bulanan.
Untuk
kemudahan dan kesederhanaan bagi pegawai yang pensiun dalam hal yang
bersangkutan tidak mempunyai penghasilan selain dari pekerjaan dari
satu pemberi kerja dan uang pensiun, Dana Pensiun menghitung
pemotongan PPh Pasal 21 atas uang pensiun pada tahun pertama pegawai
menerima uang pensiun dengan berdasarkan pada gunggungan penghasilan
neto dari pemberi kerja sampai dengan pensiun dan perkiraan uang
pensiun yang akan diterima dalam tahun kalender yang bersangkutan.
Agar Dana Pensiun dapat melakukan pemotongan PPh Pasal 21 seperti
itu, maka penerima pensiun harus segera menyerahkan bukti pemotongan
PPh Pasal 21 (Formulir 1721 A-1/1721 A-2) dari pemberi kerja
sebelumnya.
Melanjutkan
Contoh Sebelumnya:
Selanjutnya, mulai bulan Juli 2009 Raden Suryaman
memperoleh uang pensiun dari Dana Pensiun Swadhana Utama sebesar Rp
3.000.000,00 sebulan. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang atas uang
pensiun adalah sebagai berikut:
Pensiun
sebulan adalah Rp 3.000.000,00
Pengurangan:
Biaya
pensiun 5% x Rp 3.000.000,00 = Rp 150.000,00
----------------------
Penghasilan
neto sebulan Rp 2.850.000,00
Penghasilan
neto Juli s.d. Desember 2009
6 x Rp
2.850.000,00 Rp 17.100.000,00
Penghasilan
neto dari PT Indo Rejo Abadi
sesuai
dgn bukti pemotongan PPh Pasal 21 adalah Rp 27.000.000,00
----------------------
Jumlah
penghasilan neto tahun 2009 Rp 44.100.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
- tambahan
karena menikah Rp 1.320.000,00
- tambahan
untuk 2 orang anak Rp 2.640.000,00
---------------------
Rp
19.800.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 24.300.000,00
PPh
Pasal 21 terutang adalah:
5% x Rp
24.300.000,00 = Rp 1.215.000,00
PPh
Pasal 21 terutang di PT Indo Rejo Abadi
sesuai
dengan bukti pemotongan PPh Pasal 21
(Form
1721 A1) Rp 360.000,00
-----------------------
PPh
Pasal 21 terutang pada Dana Pensiun
Swadhana
Utama, selama 6 bulan adalah Rp 855.000,00
PPh
Pasal 21 atas uang pensiun yang harus dipotong tiap bulan adalah:
Rp
855.000,00 : 6 = Rp 142.500,00
Penghitungan kembali PPh Pasal 21 oleh Dana Pensiun
Swadhana Utama untuk dicantumkan dalam Form 1721 A1:
Pensiun
selama 6 bulan : 6 x Rp 3.000.000,00 Rp 18.000.000,00
Pengurangan:
Biaya
pensiun:
5% x Rp
18.000.000,00 = Rp 900.000,00
----------------------
Penghasilan
neto 6 bulan Rp 17.100.000,00
Penghasilan
neto dari PT Indo Rejo Abadi
sesuai
dengan bukti pemotongan PPh Pasal 21
adalah Rp
27.000.000,00
----------------------
Jumlah
penghasilan neto tahun 2009 Rp 44.100.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
- tambahan
karena menikah Rp 1.320.000,00
- tambahan
untuk 2 orang anak Rp 2.640.000,00
----------------------
Rp
19.800.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 24.300.000,00
PPh
Pasal 21 terutang adalah:
5% x Rp
24.300.000,00 = Rp 1.215.000,00
PPh
Pasal 21 terutang di PT Indo Rejo Abadi
sesuai
dengan bukti pemotongan PPh Pasal 21
(Form
1721 A1) Rp 360.000,00
-----------------------
PPh
Pasal 21 terutang pada Dana Pensiun
Swadhana
Utama, selama 6 bulan adalah Rp 855.000,00
PPh
Pasal 21 telah dipotong : 6 x Rp 142.500,00 Rp 855.000,00
-----------------------
PPh
Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL
II.2 Penghitungan PPh Pasal 21 Atas Pembayaran Uang
Pensiun Secara Bulanan Pada Tahun Kedua dan Seterusnya.
Dengan
menggunakan contoh sebelumnya, penghitungan PPh Pasal 21 atas uang
pensiun bulanan mulai Januari 2010 (tahun kedua yang bersangkutan
pensiun) adalah sebagai berikut:
Pensiun
sebulan adalah Rp 3.000.000,00
Pengurangan:
Biaya
pensiun
5% x Rp
3.000.000,00 = Rp 150.000,00
-----------------------
Penghasilan
neto sebulan Rp 2.850.000,00
Penghasilan
neto disetahunkan
12 x Rp
2.850.000,00 Rp 34.200.000,00
PTKP:
- untuk
WP sendiri Rp 15.840.000,00
- tambahan
karena menikah Rp 1.320.000,00
- tambahan
untuk 2 orang anak Rp 2.640.000,00
----------------------
Rp
19.800.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 14.400.000,00
PPh
Pasal 21 setahun:
5% x Rp
14.400.000,00 = Rp 720.000,00
PPh
Pasal 21 sebulan
Rp
720.000,00 : 12 = Rp 60.000,00
III. PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP
PENGHASILAN PEGAWAI HARIAN, TENAGA HARIAN LEPAS, PENERIMA UPAH
SATUAN, DAN PENERIMA UPAH BORONGAN
III.1 DENGAN
UPAH HARIAN
III.1.1 Sentot dengan status belum menikah pada bulan
Januari 2009 bekerja sebagai buruh harian pada PT Harapan Sentosa. la
bekerja selama 10 hari dan menerima upah harian sebesar Rp
150.000,00.
Penghitungan
PPh Pasal 21 terutang:
Upah
sehari Rp 150.000,00
Dikurangi
batas upah harian tidak dilakukan
pemotongan
PPh Rp 150.000,00
------------------
Penghasilan
Kena Pajak Sehari Rp 0,00
PPh
Pasal 21 dipotong atas Upah sehari: Rp 0,00
Sampai dengan hari ke-8, karena jumlah kumulatif upah
yang diterima belum melebihi Rp 1.320.000,00, maka tidak ada PPh
Pasal 21 yang dipotong.
Pada
hari ke-9 jumlah kumulatif upah yang diterima melebihi Rp
1.320.000,00, maka PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan upah
setelah dikurangi PTKP yang sebenarnya.
Upah
s.d hari ke-9 (Rp 150.000,00 x 9) Rp 1.350.000,00
PTKP
sebenarnya:
9 x (Rp
15.840.000,00 / 360) Rp 396.000,00
---------------------
Penghasilan
Kena Pajak s.d hari ke-9 Rp 954.000,00
PPh
Pasal 21 terutang s.d hari ke-9
5% x Rp
954.000,00 Rp 47.700,00
PPh
Pasal 21 yang telah dipotong s.d hari ke-8 Rp 0,00
---------------------
PPh
Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-9 Rp 47.700,00
Sehingga
pada hari ke-9, upah bersih yang diterima Sentot sebesar:
Rp
150.000,00 - Rp 47.700,00 = Rp 102.300,00
Misalkan Sentot bekerja selama 10 hari, maka
penghitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-10 adalah
sebagai berikut:
Pada
hari kerja ke-10, jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong adalah:
Upah
sehari Rp 150.000,00
PTKP
sehari
- untuk
WP sendiri (Rp 15.840.000,00 : 360) Rp 44.000,00
-------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 106.000,00
PPh
Pasal 21 terutang
5% x Rp
106.000,00 Rp 5.300,00
Sehingga
pada hari ke-10, Sentot menerima upah bersih sebesar:
Rp
150.000,00 - Rp 5.300,00 = Rp 144.700,00
III.1.2 Teguh Gunanto (belum menikah) pada bulan Maret
2009 bekerja pada perusahaan PT Gerbang Transindo, menerima upah
sebesar Rp 200.000,00 per hari.
Penghitungan
PPh Pasal 21 Upah sehari Rp 200.000,00
Upah
sehari di atas Rp 150.000,00 adalah:
Rp
200.000,00 - Rp 150.000,00 = Rp 50.000,00
PPh
Pasal 21 = 5% x Rp 50.000,00 = Rp 2.500,00 (harian)
Pada hari ke-7 dalam bulan kalender yang
bersangkutan, Teguh Gunanto telah menerima penghasilan sebesar Rp
1.400.000,00, sehingga telah melebihi Rp 1.320.000,00. Dengan
demikian PPh Pasal 21 atas penghasilan Teguh Gunanto pada bulan Maret
2009 dihitung sebagai berikut:
Upah 7
hari kerja Rp 1.400.000,00
PTKP:
7 x (Rp
15.840.000,00/360) Rp 308.000,00
---------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 1.092.000,00
PPh
Pasal 21 = 5% x Rp 1.092.000,00 Rp 54.600,00
PPh
Pasal 21 yang telah dipotong s.d. hari ke-6:
6 x Rp
2.500,00 Rp 15.000,00
---------------------
PPh
Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-7 Rp 39.600,00
Jumlah sebesar Rp 39.600,00 ini dipotongkan dari upah
harian sebesar Rp 200.000,00 sehingga upah yang diterima Teguh
Gunanto pada hari kerja ke-7 adalah:
Rp
200.000,00 - Rp 39.600,00 = Rp 160.400,00
Pada hari kerja ke-8 dan seterusnya dalam bulan
kalender yang bersangkutan, jumlah PPh Pasal 21 per hari yang
dipotong adalah:
Upah
sehari Rp 200.000,00
PTKP
- untuk
WP sendiri
Rp
15.840.000,00 : 360 Rp 44.000,00
-------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 156.000,00
PPh
Pasal 21 terutang adalah 5% x Rp 156.000,00 = Rp 7.800,00
III.2 DENGAN
UPAH SATUAN
Urip
Firmanto (belum menikah) adalah seorang karyawan yang bekerja sebagai
perakit TV pada suatu perusahaan elektronika. Upah yang dibayar
berdasarkan atas jumlah unit/satuan yang diselesaikan yaitu Rp
50.000,00 per buah TV dan dibayarkan tiap minggu. Dalam waktu 1
minggu (6 hari kerja) dihasilkan sebanyak 24 buah TV dengan upah Rp
1.200.000,00.
Penghitungan
PPh Pasal 21:
Upah
sehari adalah
Rp
1.200.000,00 : 6 Rp 200.000,00
Upah
diatas Rp 150.000,00 sehari
Rp
200.000,00 - Rp 150.000,00 Rp 50.000,00
Upah
seminggu terutang pajak
6 x Rp
50.000,00 Rp 300.000,00
PPh
Pasal 21
5% x Rp
300.000,00 = Rp 15.000,00 (Mingguan)
III.3 DENGAN
UPAH BORONGAN
Contoh
Penghitungan:
Viko mengerjakan dekorasi sebuah rumah dengan upah
borongan sebesar Rp 350.000,00, pekerjaan diselesaikan dalam 2 hari.
Upah
borongan sehari : Rp 350.000,00 : 2 = Rp 175.000,00
Upah
sehari diatas Rp 150.000,00
Rp
175.000,00 - Rp 150.000,00 Rp 25.000,00
Upah
borongan terutang pajak:
2 x Rp
25.000,00 Rp 50.000,00
PPh
Pasal 21 = 5% x Rp 50.000,00 Rp 2.500,00
III.4 UPAH HARIAN/SATUAN/BORONGAN/HONORARIUM YANG
DITERIMA TENAGA HARIAN LEPAS TAPI DIBAYARKAN SECARA BULANAN
Wardi
bekerja pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang
dibayarkan bulanan. Dalam bulan Januari 2009 Wardi hanya bekerja 20
hari kerja dan upah sehari adalah Rp 120.000,00. Wardi menikah tetapi
belum memiliki anak.
Penghitungan
PPh Pasal 21
Upah
Januari 2009 = 20 x Rp 120.000,00 = Rp 2.400.000,00
Penghasilan
neto setahun = 12 x Rp 2.400.000,00 = Rp 28.800.000,00
PTKP
(K/-) adalah sebesar
untuk WP
sendiri Rp 15.840.000,00
tambahan
karena menikah Rp 1.320.000,00
Rp
17.160.000,00
----------------------
Penghasilan
Kena Pajak Rp 11.640.000,00
PPh
Pasal 21 setahun adalah sebesar:
5% x Rp
11.640.000,00 = Rp 582.000,00
PPh
Pasal 21 sebulan adalah sebesar:
Rp
582.000,00 : 12 = Rp 48.500,00
IV. PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS JASA
PRODUKSI, TANTIEM, GRATIFIKASl YANG DITERIMA MANTAN PEGAWAI,
HONORARIUM KOMISARIS YANG BUKAN SEBAGAI PEGAWAI TETAP DAN PENARIKAN
DANA PENSIUN OLEH PESERTA PROGRAM PENSIUN YANG MASIH BERSTATUS
SEBAGAI PEGAWAI
IV.1 Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas pembayaran
penghasilan kepada mantan pegawai.
Victoria
Endah bekerja pada PT Fajar Wisesa. Pada tanggal 1 Januari 2009 telah
berhenti bekerja pada PT Fajar Wisesa karena pensiun. Pada bulan
Maret 2009 Victoria Endah menerima jasa produksi tahun 2008 dari PT
Fajar Wisesa sebesar Rp 55.000.000,00.
PPh
Pasal 21 yang terutang adalah:
5% x Rp
50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp
5.000.000,00 = Rp 750.000,00
---------------------
PPh
Pasal 21 yang harus dipotong Rp 3.250.000,00
Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan,
dibayarkan penghasilan kepada mantan pegawai lebih dari 1 (satu)
kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan yang berikutnya
dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
atas jumlah penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan
memperhitungkan penghasilan yang telah diterima sebelumnya.
IV.2 Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas honorarium
komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap
Pandaya
adalah seorang komisaris di PT Wahana Sejahtera, yang bukan sebagai
pegawai tetap. Dalam tahun 2009, yaitu bulan Desember 2009 menerima
honorarium sebesar Rp 60.000.000,00.
PPh
Pasal 21 yang terutang adalah:
5% x Rp
50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp
10.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
---------------------
PPh
Pasal 21 yang harus dipotong Rp 4.000.000,00
Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan,
dibayarkan penghasilan kepada yang bersangkutan lebih dari 1 (satu)
kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan yang berikutnya
dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
atas jumlah penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan
memperhitungkan penghasilan yang telah diterima sebelumnya.
IV.3 Contoh penghitungan PPh Pasal 21 penarikan dana
pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai
pegawai
Zakarias
Safaat adalah pegawai PT Sampurna Sejati menerima gaji Rp
2.000.000,00 sebulan. PT Sampurna Sejati mengikuti program pensiun
untuk para pegawainya. PT Sampurna Sejati membayar iuran dana pensiun
untuk Zakarias Safaat sebesar Rp 100.000,00 sebulan ke Dana Pensiun
Manfaat Sejahtera, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan. Zakarias Safaat membayar iuran serupa ke dana pensiun yang
sama sebesar Rp 50.000,00 sebulan.
Bulan
April 2009 Zakarias Safaat memerlukan biaya untuk perbaikan rumahnya
maka ia mengambil iuran dana pensiun yang telah dibayar sendiri
sebesar Rp 20.000.000,00. Kemudian pada bulan Juni 2009 ia menarik
lagi dana sebesar Rp 15.000.000,00. Kemudian bulan Oktober 2009 untuk
keperluan lainnya ia menarik lagi dana sebesar Rp 25.000.000,00.
PPh
Pasal 21 yang terutang adalah:
a. atas penarikan dana sebesar Rp 20.000.000,00 pada
bulan April 2009 terutang PPh Pasal 21 sebesar 5% x Rp 20.000.000,00
= Rp 1.000.000,00
b. atas penarikan dana sebesar Rp 15.000.000,00 pada
bulan Juni 2009 terutang PPh Pasal 21 sebesar 5% x Rp 15.000.000,00 =
Rp 750.000,00
c. atas penarikan dana sebesar Rp 25.000.000,00 pada
bulan Oktober 2009 terutang PPh Pasal 21 sebesar:
5% x Rp
15.000.000,00 = Rp 750.000,00
15% x
Rp 10.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
---------------------
Rp
2.250.000,00
V. PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG
DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI.
V.1 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS
PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH TENAGA AHLI YANG MELAKUKAN PEKERJAAN
BEBAS
V.1.1 Contoh
perhitungan dokter yang praktik di rumah sakit dan/atau klinik
dr.
Abdul Gopar merupakan dokter spesialis jantung yang melakukan praktik
di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dengan perjanjian bahwa atas
setiap jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien akan dipotong 20% oleh
pihak rumah sakit sebagai bagian penghasilan rumah sakit dan sisanya
sebesar 80% dari jasa dokter tersebut akan dibayarkan kepada dr.
Abdul Gopar pada setiap akhir bulan. Dalam semester pertama tahun
2009, jasa dokter yang dibayarkan pasien atas tindakan dr. Abdul
Gopar adalah sebagai berikut:
-
Bulan
Jumlah Jasa
Dokter yang dibayar Pasien (Rupiah)
Januari
30.000.000,00
-
Februari
30.000.000,00Maret
25.000.000,00April
40.000.000,00Mei
30.000.000,00Juni
25.000.000,00Jumlah
180.000.000,00
Penghitungan
PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan Juni 2009:
Bulan
Jasa Dokter
yang dibayar Pasien (Rupiah)
Dasar
Pemotongan PPh Pasal 21 (Rupiah)
Dasar
Pemotongan PPh Pasal 21 Kumulatif (Rupiah)
Tarif Pasal
17 ayat (1) huruf a UU PPh
PPh Pasal
21 terutang (Rupiah)
(1)
(2)
(3) = 50% x
(2)
(4)
(5)
(6) = (3) x
(5)
Januari
30.000.000,00
15.000.000,00
15.000.000,00
5%
750.000,00
-
Februari
30.000.000,00
15.000.000,00
30.000.000,00
5%
750.000,00
-
Maret
25.000.000,00
12.500.000,00
42.500.000,00
5%
625.000,00
-
April
15.000.000,00
25.000.000,00
7.500.000,00
12.500.000,00
50.000.000,00
62.500.000,00
5%
15%
375.000,00
1.875.000,00
Mei
30.000.000,00
15.000.000,00
77.500.000,00
15%
2.250.000,00
-
Juni
25.000.000,00
12.500.000,00
90.000.000,00
15%
1.875.000,00
-
Jumlah
180.000.000,00
90.000.000,00
8.500.000,00
Apabila
dr. Abdul Gopar belum memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 terutang
adalah sebesar 120% dari PPh Pasal 21 terutang sebagaimana contoh di
atas.
V.1.2 Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan
yang Diterima Oleh Tenaga Ahli selain dokter yang praktik di rumah
sakit:
Ir.
Garda Suganda, MArch adalah seorang arsitek, pada bulan Maret 2009
menerima fee sebesar Rp 100.000.000,00 dari PT Selaras Propertindo
sebagai imbalan pemberian jasa yang dilakukannya. Pada bulan Juli
2009 menerima pelunasan sisa fee sebesar Rp 50.000.000,00.
Penghitungan
PPh Pasal 21:
Bulan
Penghasilan
Bruto (Rupiah)
Dasar
Pemotongan PPh Pasal 21 (Rupiah)
Dasar
Pemotongan PPh Pasal 21 Kumulatif (Rupiah)
Tarif Pasal
17 ayat (1) huruf a UU PPh
PPh Pasal
21 terutang (Rupiah)
(1)
(2)
(3) = 50% x
(2)
(4)
(5)
(6) = (3) x
(5)
Maret
100.000.000,00
50.000.000,00
50.000.000,00
5%
2.500.000,00
-
Juli
50.000.000,00
25.000.000,00
75.000.000,00
15%
3.750.000,00
-
Jumlah
150.000.000,00
75.000.000,00
6.250.000,00
V.2 PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG
DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI LAINNYA YANG MENERIMA PENGHASILAN YANG
BERSIFAT BERKESINAMBUNGAN.
Uswatun
Hasanah adalah seorang ibu rumah tangga yang mempunyai 2 orang anak
bekerja sebagai distributor multi level marketing pada PT Golden
Chain. Suami Uswatun Hasanah telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan
mempunyai NPWP, dan yang bersangkutan bekerja pada PT. Pelangi Antar
Nusa. Uswatun Hasanah telah menyampaikan fotokopi kartu NPWP suami,
fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu keluarga kepada pemotong
pajak. Uswatun Hasanah hanya memperoleh penghasilan dari kegiatannya
sebagai distributor multi level marketing, dan telah menyampaikan
surat pernyataan yang menerangkan hal tersebut kepada PT Golden
Chain. Dalam semester pertama tahun 2009, penghasilan yang diterima
oleh Uswatun Hasanah sebagai distributor MLM dari perusahaan tersebut
adalah sebagai berikut:
Januari
2009 Rp 20.000.000,00
Februari
2009 Rp 17.000.000,00
Maret
2009 Rp 23.000.000,00
April
2009 Rp 15.000.000,00
Mei
2009 Rp 25.000.000,00
Juni
2009 Rp 10.000.000,00
------------------------
Jumlah Rp
110.000.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari s.d.
Juni 2009 adalah sebagai berikut:
-
BulanPenghasilan Bruto (Rupiah)PTKP sebulan (Rupiah)PKP sebulan (Rupiah)PKP Kumulatif (Rupiah)Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPhPPh Pasal 21 terutang (Rupiah)(1)(2)(3)(4)(5)(6)(7)=(4) x (6)Jan20.000.000,001.320.000,0018.680.000,0018.680.000,005%934.000,00Feb17.000.000,001.320.000,0015.680.000,0034.360.000,005%784.000,00Maret23.000.000,001.320.000,0015.640.000,006.040.000,0050.000.000,0056.040.000,005%15%782.000,00906.000,00April15.000.000,001.320.000,0013.680.000,0069.720.000,0015%2.052.000,00Mei25.000.000,001.320.000,0023.680.000,0093.400.000,0015%3.552.000,00Juni10.000.000,001.320.000,008.680.000,00102.080.000,0015%1.302.000,00Jmlh110.000.000,007.920.000,00102.080.000,00102.080.000,00
10.312.000,00
Apabila
Uswatun Hasanah tidak dapat menunjukkan fotokopi kartu NPWP suami,
fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu keluarga dan Uswatun Hasanah
sendiri tidak memiliki NPWP, maka perhitungan PPh Pasal 21 dilakukan
sebagaimana contoh di atas namun tidak memperoleh pengurangan PTKP
setiap bulan, dan jumlah PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar
120% berdasarkan perhitungan tersebut, yaitu sebagai berikut:
-
BulanPenghasilan Bruto (Rupiah)Penghasilan Bruto Kumulatif (Rupiah)Tarif Pasal 17ayat (1) huruf a UU PPhTidak Memiliki NPWPPPh Pasal 21 terutang (Rupiah)(1)(2)(3)(4)(5)(6) = (2) x (4) x (5)Januari20.000.000,0020.000.000,005%120%1.200.000,00Februari17.000.000,0037.000.000,005%120%1.020.000,00Maret13.000.000,0010.000.000,0050.000.000,0060.000.000,005%15%120%120%780.000,001.800.000,00April15.000.000,0075.000.000,0015%120%2.700.000,00Mei25.000.000,00100.000.000,0015%120%4.500.000,00Juni10.000.000,00110.000.000,0015%120%1.800.000,00Jumlah110.000.000,00110.000.000,00
13.800.000,00
Dalam
hal suami Uswatun Hasanah atau Uswatun Hasanah sendiri telah memiliki
NPWP, namun Uswatun Hasanah mempunyai penghasilan lain di luar
kegiatannya sebagai distributor multi level marketing, maka
perhitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagaimana contoh di atas,
namun tidak dikenakan tarif 20% lebih tinggi karena yang bersangkutan
atau suaminya telah memiliki NPWP.
V.3 PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG
DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI LAINNYA YANG MENERIMA PENGHASILAN YANG
TIDAK BERSIFAT BERKESINAMBUNGAN.
Dwi
Amiarsih, M.B.A adalah seorang penceramah yang memberikan ceramah
pada suatu lokakarya sehari yang diselenggarakan oleh suatu yayasan,
honorarium yang dibayarkan adalah sebesar Rp 2.500.000,00
PPh
Pasal 21 yang terutang : 5% x Rp 2.500.000,00 = Rp 125.000,00
V.4 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS
PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI, SELAIN TENAGA AHLI,
SEHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN JASA YANG DALAM PEMBERIAN JASANYA
MEMPEKERJAKAN ORANG LAIN SEBAGAI PEGAWAINYA DAN/ATAU MELAKUKAN
PENYERAHAN MATERIAL/BAHAN
Sulistiya
Nugraha menerima pekerjaan dekorasi gedung dari PT Wahana Jaya dengan
imbalan Rp 10.000.000,00. Sulistiya Nugraha mempergunakan tenaga 5
orang pekerja dengan membayarkan upah harian masing-masing sebesar Rp
180.000,00. Upah harian yang dibayarkan untuk 5 orang selama
melakukan pekerjaan sebesar Rp 4.500.000,00. Selain itu, Sulistiya
Nugraha membeli material/bahan yang dipakai untuk dekorasi gedung
sebesar Rp 1.000.000,00.
Penghitungan
PPh Pasal 21 terutang adalah sebagai berikut:
I. Imbalan yang diterima Sulistiya Nugraha dari PT
Wahana Jaya merupakan imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan
oleh orang pribadi bukan sebagai pegawai PT Wahana Jaya, yang harus
dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 dengan menerapkan tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a atas jumlah imbalan bruto. Dalam hal berdasarkan
perjanjian serta dokumen yang diberikan oleh Sulistiya Nugraha, dapat
diketahui bagian imbalan bruto yang merupakan upah yang harus
dibayarkan kepada pekerja harian yang dipekerjakan oleh Sulistiya
Nugraha dan biaya untuk membeli material/bahan, maka jumlah imbalan
bruto sebagai dasar perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh
PT Wahana Jaya atas imbalan yang diberikan kepada Sulistiya Nugraha
adalah sebesar imbalan bruto dikurangi bagian upah tenaga kerja
harian yang dipekerjakan Sulistiya Nugraha dan biaya material/bahan,
sebagaimana dalam contoh adalah sebesar:
Rp
10.000.000,00 - Rp 4.500.000,00 - Rp 1.000.000,00 = Rp 4.500.000,00.
PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT Wahana Jaya atas
penghasilan yang diterima Sulistiya Nugraha = 5% x Rp 4.500.000,00 =
Rp 225.000,00. Dalam hal PT Wahana Jaya tidak memperoleh informasi
berdasarkan perjanjian yang dilakukan atau dokumen yang diberikan
oleh Sulistiya Nugraha mengenai upah yang harus dikeluarkan Sulistiya
Nugraha atau pembelian material/bahan, maka dasar pemotongan PPh
Pasal 21 adalah jumlah sebesar Rp 10.000.000,00.
II. Untuk pembayaran upah harian kepada masing-masing
pekerja wajib dipotong PPh Pasal 21 oleh Sulistiya Nugraha sama
seperti dalam contoh III.1 di atas.
VI. PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS
PENGHASILAN YANG DITERIMA PESERTA KEGIATAN.
Contoh
Penghitungan PPh Pasal 21
Taufik Aprianto adalah seorang pemain bulutangkis
professional yang bertempat tinggal di Indonesia. Ia menjuarai
turnamen Indonesia Terbuka dan memperoleh hadiah sebesar Rp
200.000.000,00.
PPh Pasal
21 yang terutang atas hadiah turnamen Indonesia Terbuka tersebut
adalah:
5% x Rp
50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp
150.000.000,00 = Rp 22.500.000,00
----------------------
Rp
25.000.000,00
VII. PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 26 ATAS
PENGHASILAN PEGAWAI DENGAN STATUS WAJIB PAJAK LUAR NEGERI YANG
MEMPEROLEH GAJI SEBAGIAN ATAU SELURUHNYA DALAM MATA UANG ASING
a. Dalam hal pegawai dengan status Wajib Pajak luar
negeri memperoleh gaji sebagian atau seluruhnya dalam mata uang asing
sebelum PPh dihitung terlebih dahulu harus dikonversi dalam mata uang
rupiah.
b. PPh Pasal 26 yang terutang dihitung berdasarkan
jumlah penghasilan bruto, dan tidak boleh diperhitungkan
pengurangan-pengurangan seperti biaya jabatan dan PTKP.
Contoh:
William Bentley adalah pegawai asing yang berada di
Indonesia kurang dari 183 hari. Dia berstatus menikah dan mempunyai 2
orang anak. la memperoleh gaji pada bulan Maret 2009 sebesar US$
2,500 sebulan. Kurs Menteri Keuangan pada saat pemotongan adalah Rp
11.500,00 untuk US$ 1.00
Penghitungan
PPh Pasal 26:
Penghasilan
bruto berupa gaji sebulan adalah:
US$ 2,500
x Rp 11.500,00 = Rp 28.750.000,00
PPh Pasal
26 terutang adalah:
20% x Rp
28.750.000,00 = Rp 5.750.000,00
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
DARMIN
NASUTION
NIP.
130605098
PERATURAN
DIRJEN PAJAK
NOMOR
PER-32/PJ/2009 TANGGAL 25 MEI 2009
TENTANG
BENTUK
FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU
PASAL 26 DAN BUKTI PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
DAN/ATAU PASAL 26
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa dengan ditetapkannya UNDANG-UNDANG nomor 16
TAHUN 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan menjadi Undang-Undang dan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan, perlu menyempurnakan formulir-formulir
yang dibutuhkan dalam pelaksanaan administrasi Pajak Penghasilan;
b. bahwa sebagian formulir yang diatur dalam Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-108/PJ.1/1996 tentang Bentuk
Formulir Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor 42/PJ/2008 tidak dapat menampung ketentuan terbaru dan
informasi yang diperlukan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan Bukti
Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26.
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007
tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan, serta Tata Cara
Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan, dan Penyampaian Surat
Pemberitahuan;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008
tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan
sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2008
tentang Penetapan Bagian Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan dari
Pegawai Harian dan Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang
tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan;
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009
tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas
Penghasilan Pekerja pada Kategori Usaha Tertentu sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.03/2009;
8. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-108/PJ.1/1996 tentang Bentuk Formulir Pemotongan/Pemungutan Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-42/PJ/2008;
9. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-01/PJ/2006 tentang Bentuk Surat Setoran Pajak sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-102/PJ/2006;
10. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-22/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Pemberian Pajak Penghasilan Pasal
21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Pekerja pada Pemberi Kerja
yang Berusaha pada Kategori Usaha Tertentu sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2009.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN
MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 DAN BUKTI
PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26.
Pasal 1
Bentuk
Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau
Pasal 26 adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 2
Bukti
Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 3
Petunjuk
Pengisian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pasal 26 adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 4
Pada saat
penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pasal 26 Masa Pajak Juli 2009, Wajib Pajak wajib melaporkan
Daftar Pegawai/Penerima Pensiun Berkala (1721-T) sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 5
Pada saat
berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-108/PJ.1/1996 tentang Bentuk Formulir
Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-42/PJ/2008 dinyatakan tetap berlaku, kecuali Bentuk Formulir
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26
dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau
Pasal 26 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini.
Pasal 6
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2009.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 25 Mei 2009
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
DARMIN
NASUTION
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
229/PMK.07/2010 TANGGAL 20 DESEMBER 2010
TENTANG
ALOKASI
SEMENTARA DANA BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PASAL 29
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
TAHUN ANGGARAN 2011
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Pajak
Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Anggaran 2011;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5167);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);
5. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.07/2010
tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke
Daerah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL PAJAK
PENGHASILAN PASAL 25 DAN PASAL 29 WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM
NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN ANGGARAN 2011.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Dana Bagi Hasil, yang selanjutnya disingkat DBH,
adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka
persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.
2. Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak
Orang Pribadi Dalam Negeri, yang selanjutnya disebut PPh WPOPDN,
adalah Pajak Penghasilan terutang oleh Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29
Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan yang berlaku kecuali pajak
atas penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8)
Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan yang berlaku.
3. Pajak Penghasilan Pasal 21, yang selanjutnya disebut
PPh Pasal 21, adalah Pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak Orang Pribadi berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang
mengenai Pajak Penghasilan yang berlaku.
Pasal 2
(1) Penerimaan Negara dari PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
dibagikan kepada daerah sebesar 20% (dua puluh persen).
(2) DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a. 8%
(delapan persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b. 12%
(dua belas persen) untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang
bersangkutan.
(3) DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a. 8,4%
(delapan empat persepuluh persen) untuk kabupaten/kota tempat wajib
pajak terdaftar; dan
b. 3,6%
(tiga enam persepuluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota dalam
provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang sama besar.
Pasal 3
(1) Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
masing-masing daerah untuk Tahun Anggaran 2011 merupakan perkiraan.
(2) Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
masing-masing daerah untuk Tahun Anggaran 2011 didasarkan atas
rencana penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2011.
(3) Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
masing-masing daerah Tahun Anggaran 2011 adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan
ini.
Pasal 4
Alokasi
sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2011 sebesar
Rp13.131.019.999.471,00 (tiga belas triliun seratus tiga puluh satu
miliar sembilan belas juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan
ribu empat ratus tujuh puluh satu rupiah) dengan rincian sebagai
berikut:
a. DBH PPh WPOPDN sebesar Rp715.119.999.732,00 (tujuh
ratus lima belas miliar seratus sembilan belas juta sembilan ratus
sembilan puluh sembilan ribu tujuh ratus tiga puluh dua rupiah);
b. DBH PPh Pasal 21 sebesar Rp12.415.899.999.739,00 (dua
belas triliun empat ratus lima belas miliar delapan ratus sembilan
puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu tujuh
ratus tiga puluh sembilan rupiah).
Pasal 5
(1) Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
Tahun Anggaran 2011 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 digunakan
sebagai dasar penyaluran DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun
Anggaran 2011.
(2) Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 6
Alokasi
definitif DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2011 diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
Pasal 7
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 20 Desember 2010
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan
di Jakarta
Pada
tanggal 20 Desember 2010
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 633
SURAT
DIRJEN PERBENDAHARAAN
NOMOR
S-6519/PB/2011 TANGGAL 7 JULI 2011
TENTANG
PEMOTONGAN
PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 UANG KEHORMATAN ATAU TUNJANGAN BAGI
HAKIM AD HOC
Sehubungan
dengan pemotongan dan pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 terhadap
uang kehormatan atau tunjangan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Niaga dan
HAM, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Perikanan, dan
Pengadilan Hubungan Industrial, dengan ini disampaikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Hakim
Ad Hoc diangkat berdasarkan Undang-Undang sebagai berikut :
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi
Undang-Undang dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
d. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi.
2. Dalam undang-undang tersebut butir 1, Hakim Ad Hoc
mempunyai hak-hak keuangan berupa uang kehormatan atau tunjangan.
Besaran uang kehormatan atau tunjangan Hakim Ad Hoc dimaksud terakhir
masing-masing diatur dalam:
a. Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2010 tentang
Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun 2002 Tentang Uang
Kehormatan Bagi Hakim Ad Hoc.
b. Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2010 tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2005 Tentang Uang
Kehormatan Bagi Hakim Pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
c. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2010 tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Uang
Kehormatan Dan Hak-Hak Lainnya Bagi Hakim Ad Hoc Pada Pengadilan
Perikanan di Pengadilan Negeri.
d. Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2006 Tentang
Tunjangan dan Hak-Hak Lainnya Bagi Hakim Ad Hoc Pada Pengadilan
Hubungan Industrial.
3. Dalam Peraturan-Peraturan Presiden tersebut butir 2,
yaitu dalam Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2010 jo Keputusan
Presiden Nomor 64 Tahun 2002 Pasal 2 ayat (2), Peraturan Presiden
Nomor 86 Tahun 2010 Pasal 3A, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2010
jo Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2008 Pasal 4 dan Peraturan
Presiden Nomor 20 Tahun 2011 jo Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun
2006 Pasal 4 menyatakan bahwa besaran uang kehormatan atau tunjangan
sudah termasuk pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
4. Berkenaan dengan hal tersebut di atas dan terkait
dengan proses pembayaran uang kehormatan atau tunjangan Hakim Ad Hoc
pada KPPN, pembayaran uang kehormatan atau tunjangan Hakim Ad Hoc
dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21 sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan tidak ditanggung oleh Pemerintah.
5. Pembayaran yang telah dilakukan untuk uang kehormatan
atau tunjangan Hakim Ad Hoc yang belum diperhitungkan Pajak
Penghasilan Pasal 21 agar diperhitungkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
6. Para Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
diminta untuk menyampaikan maksud surat ini kepada satuan kerja
terkait.
7. Para Kepala Kantor- Wilayah Dirjen Perbendaharaan
diminta untuk mengawasi pelaksanaan surat ini.
Demikian
untuk dipedomani dan dilaksanakan.
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
AGUS
SUPRIJANTO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar