PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
104/PMK.03/2009 TANGGAL 10 JUNI 2009
TENTANG
BIAYA
PROMOSI DAN PENJUALAN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf (a) angka
7 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Biaya Promosi dan Penjualan yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG BIAYA PROMOSI DAN PENJUALAN YANG DAPAT
DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Biaya Promosi adalah biaya yang dikeluarkan oleh
Wajib Pajak dalam rangka memperkenalkan, mempromosikan, dan/atau
menganjurkan pemakaian suatu produk baik langsung maupun tidak
langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan.
2. Biaya Penjualan adalah biaya yang dikeluarkan oleh
Wajib Pajak untuk menyalurkan barang dan/atau jasa sampai kepada
pembeli dan/atau pelanggan (customer) baik langsung maupun tidak
langsung, termasuk biaya pengepakan, biaya pergudangan, biaya
pengamanan, dan biaya asuransi, dan biaya lainnya yang diperlukan
sampai barang diterima oleh pembeli dan/atau pelanggan (customer).
3. Distributor Utama adalah perantara baik perorangan
atau badan usaha yang bertindak atas namanya sendiri, yang ditunjuk
langsung oleh pabrikan atau produsen, untuk melakukan penyimpanan,
pendistribusian, pemasaran, serta penjualan barang yang diperoleh
langsung dari pabrikan atau produsen, dalam partai besar kepada
retailer atau konsumen akhir.
Pasal 2
Biaya
Promosi dan/atau Biaya Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus memenuhi kriteria
berikut:
a. untuk
mempertahankan dan atau meningkatkan penjualan;
b. dikeluarkan
secara wajar;
c. menurut
adat kebiasaan pedagang yang baik;
d. dapat
berupa barang, uang, jasa, dan fasilitas; dan
e. diterima
oleh pihak lain.
Pasal 3
(1) Untuk
industri rokok, Biaya Promosi hanya dapat dibiayakan oleh:
a. produsen;
b. Distributor
Utama; atau
c. importir
tunggal.
(2) Besarnya
Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut:
a. untuk industri rokok yang mempunyai peredaran usaha
sampai dengan Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah),
besarnya Biaya Promosi tidak melebihi 3% (tiga persen) dari peredaran
usaha dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
b. untuk industri rokok yang mempunyai peredaran usaha
di atas Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) sampai dengan
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah), besarnya Biaya Promosi
tidak melebihi 2% (dua persen) dari peredaran usaha dan paling banyak
Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah);
c. untuk industri rokok yang mempunyai peredaran usaha
di atas Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah), besarnya Biaya
Promosi tidak melebihi 1% (satu persen) dari peredaran usaha dan
paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(3) Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
hanya dapat dibiayakan sebanyak 1 (satu) kali oleh:
a. produsen;
b. Distributor
Utama; atau
c. importir
tunggal.
(4) Dalam hal Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) telah dikeluarkan baik oleh produsen maupun Distributor
Utama, pihak yang berhak untuk membebankan Biaya Promosi adalah
produsen.
(5) Dalam hal rokok tidak diproduksi di Indonesia, pihak
yang berhak untuk membebankan Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah importir tunggal.
Pasal 4
(1) Untuk
industri farmasi, Biaya Promosi hanya dapat dibiayakan oleh:
a. produsen;
b. Distributor
Utama; atau
c. importir
tunggal.
(2) Besarnya Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah tidak
melebihi 2% (dua persen) dari peredaran usaha dan paling banyak
Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
(3) Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
hanya dapat dibiayakan sebanyak 1 (satu) kali oleh:
a. produsen;
b. Distributor
Utama; atau
c. importir
tunggal.
(4) Dalam hal Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) telah dikeluarkan baik oleh produsen maupun Distributor
Utama, pihak yang berhak untuk membebankan Biaya Promosi adalah
produsen.
(5) Dalam hal produk farmasi tidak diproduksi di
Indonesia, pihak yang berhak untuk membebankan Biaya Promosi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah importir tunggal.
Pasal 5
Dalam hal
promosi diberikan dalam bentuk sampel produk, besarnya biaya yang
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar nilai harga
pokok.
Pasal 6
(1) Industri rokok dan industri farmasi wajib membuat
daftar nominatif atas pengeluaran Biaya Promosi dan/atau Biaya
Penjualan yang dikeluarkan kepada pihak lain.
(2) Daftar nominatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit harus memuat data penerima berupa nama, alamat, Nomor
Pokok Wajib Pajak, dan besarnya biaya yang dikeluarkan.
(3) Dalam hal ketentuan untuk membuat daftar nominatif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi, Biaya Promosi
dan/atau Biaya Penjualan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto.
Pasal 7
Tata cara
pembebanan dan pelaporan Biaya Promosi dan/atau Biaya Penjualan
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 8
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan pcnempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 10 Juni 2009
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
Diundangkan
di Jakarta
Pada
tanggal 10 Juni 2009
MENTERI
HUKUM DAN
HAK ASASI
MANUSIA,
ttd
ANDI
MATTALATTA
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 132
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
105/PMK.03/2009 TANGGAL 10 JUNI 2009
TENTANG
PIUTANG
YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI
PENGHASILAN BRUTO
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf h
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Piutang yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat
Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH
YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi
pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai
hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
2. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah
piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar sesuai dengan
bidang usahanya, yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah
dilakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh
Wajib Pajak.
3. Penerbitan
umum atau khusus adalah penerbitan yang meliputi:
a. Penerbitan umum adalah pemuatan pengumuman pada
penerbitan koran/majalah atau media massa cetak yang lazim lainnya
yang berskala nasional; atau
b. Penerbitan khusus adalah pemuatan pengumuman pada
penerbitan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA)/Persatuan
Bank-Bank Swasta Nasional (PERBANAS) dan/atau penerbitan/pengumuman
khusus Bank Indonesia.
Pasal 2
(1) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang
timbul di bidang usaha bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang dan
jasa lainnya dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung
penghasilan kena pajak.
(2) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk piutang yang
berasal dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang memiliki
hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.
Pasal 3
(1) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dibebankan sebagai pengurang
penghasilan bruto, sepanjang memenuhi persyaratan:
a. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut
telah dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur yang bersangkutan
pada tahun yang bersangkutan;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut kepada Direktorat Jenderal
Pajak; dan
c. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut
telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau terdapat
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum
atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c tidak berlaku untuk piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya.
(3) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada
debitur kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah piutang
debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa
kredit yang diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan
dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian:
a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu
kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada
Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah menjadi
peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS;
b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja
yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer baik sebagai
pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit,
untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna
membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan
hortikultura;
c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS),
yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk
pemilikan rumah sangat sederhana (RSS);
d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan
kepada nasabah usaha kecil;
e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang
diberikan untuk keperluan modal usaha kecil lainnya selain KUK;
dan/atau
f. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan
perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan
koperasi.
(4) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada
debitur kecil lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 4
(1) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
yang diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud
Pasal 3 ayat (1) huruf b harus mencantumkan identitas debitur berupa
nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah Piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih.
(2) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3
ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara melampirkan:
a. fotokopi bukti penyerahan perkara penagihannya ke
Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang
negara; atau
b. fotokopi perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang usaha yang telah dilegalisir oleh notaris;
atau
c. fotokopi bukti publikasi dalam penerbitan umum atau
penerbitan khusus; atau
d. surat yang berisi pengakuan dari debitur bahwa
utangnya telah dihapuskan yang disetujui oleh kreditur tentang
penghapusan piutang untuk jumlah utang tertentu, yang disetujui oleh
kreditur.
(3) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
dan bukti/dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan
(SPT) Tahunan.
Pasal 5
Piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau
debitur kecil lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus
dilampiri daftar nominatif yang berisi identitas debitur berupa nama,
Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah Piutang yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih.
Pasal 6
Pada saat
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 130/KMK.04/1998 tentang Penghapusan Piutang Tak
Tertagih yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 7
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 10 Juni 2009
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
Diundangkan
di Jakarta
Pada
tanggal 10 Juni 2009
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
ANDI
MATTALATTA
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 133
PERATURAN
PEMERINTAH
NOMOR 93
TAHUN 2010 TANGGAL 30 DESEMBER 2010
TENTANG
SUMBANGAN
PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN, SUMBANGAN PEMBINAAN
OLAHRAGA, DAN BIAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG DAPAT
DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j, huruf
k, huruf l, dan huruf m Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat
atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Sumbangan
Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan
Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan
Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN
1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
PEMERINTAH TENTANG SUMBANGAN PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL,
SUMBANGAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS
PENDIDIKAN, SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA, DAN BIAYA PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.
Pasal 1
Sumbangan
dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari
penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak
bagi wajib pajak terdiri atas:
a. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana
nasional, yang merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang
disampaikan secara langsung melalui badan penanggulangan bencana atau
disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang
telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk
pengumpulan dana penanggulangan bencana;
b. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan,
yang merupakan sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang
dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui
lembaga penelitian dan pengembangan;
c. Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan
sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang disampaikan melalui
lembaga pendidikan;
d. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang
merupakan sumbangan untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan
suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi yang
disampaikan melalui lembaga pembinaan olah raga; dan
e. Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan
biaya yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana
untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.
Pasal 2
Sumbangan
dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto dengan syarat:
a. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal
berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak
sebelumnya;
b. pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan
rugi pada Tahun Pajak sumbangan diberikan;
c. didukung oleh bukti yang sah; dan
d. lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan
sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang
Pajak Penghasilan.
Pasal 3
Besarnya
nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen)
dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya.
Pasal 4
Sumbangan
dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pihak pemberi apabila
sumbangan dan/atau biaya diberikan kepada pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Pajak
Penghasilan.
Pasal 5
(1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf
a, huruf b, huruf c, dan huruf d dapat diberikan dalam bentuk uang
dan/atau barang.
(2) Biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf e diberikan hanya dalam bentuk sarana
dan/atau prasarana.
Pasal 6
(1) Nilai sumbangan dalam bentuk barang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditentukan berdasarkan:
a. nilai perolehan, apabila barang yang disumbangkan
belum disusutkan;
b. nilai buku fiskal, apabila barang yang disumbangkan
sudah disusutkan; atau
c. harga pokok penjualan, apabila barang yang
disumbangkan merupakan barang produksi sendiri.
(2) Nilai biaya pembangunan infrastruktur sosial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) ditentukan berdasarkan
jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun sarana dan/atau
prasarana.
Pasal 7
Sumbangan
dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib dicatat
sesuai dengan peruntukannya oleh pemberi sumbangan.
Pasal 8
(1) Badan penanggulangan bencana dan lembaga atau pihak
yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a
harus menyampaikan laporan penerimaan dan penyaluran sumbangan kepada
Direktur Jenderal Pajak untuk setiap triwulan.
(2) Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e wajib menyampaikan laporan penerimaan sumbangan kepada
Direktur Jenderal Pajak paling lambat pada akhir Tahun Pajak
diterimanya sumbangan dan/atau biaya.
(3) Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya yang
mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak melaporkan sumbangan dan/atau biaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai lampiran laporan keuangan
pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak
diterimanya sumbangan.
Pasal 9
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pencatatan dan pelaporan sumbangan
dan/atau biaya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 10
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2010.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 30 Desember 2010
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 30 Desember 2010
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 160
PRESIDEN
REPUBLIK
INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 93
TAHUN 2010
TENTANG
SUMBANGAN
PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN
PENELITIAN
DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN,
SUMBANGAN
PEMBINAAN OLAHRAGA, DAN BIAYA PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR
SOSIAL YANG DAPAT DIKURANGKAN
DARI
PENGHASILAN BRUTO
I. UMUM
Dalam rangka membantu program pemerintah serta memberi
kesempatan kepada Wajib Pajak untuk turut berperan serta dalam
penanggulangan bencana nasional, pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di Indonesia, pengembangan pendidikan di Indonesia,
pembinaan olahraga di Indonesia dan turut serta membantu pemerintah
dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur sosial di Indonesia, maka
pengeluaran untuk sumbangan penanggulangan bencana nasional,
sumbangan penelitian dan pengembangan, sumbangan fasilitas
pendidikan, sumbangan pembinaan olahraga, dan pembiayaan pembangunan
infrastruktur sosial di Indonesia yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j, huruf
k, huruf l, dan huruf m Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat
atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto. Sebagaimana diamanatkan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan maka
ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal
1
Pengeluaran
untuk sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto dalam satu tahun oleh Wajib Pajak dibatasi sampai
jumlah maksimum tertentu.
Yang
dimaksud dengan “sumbangan” adalah pemberian bantuan yang
dilaksanakan Wajib Pajak, yang meliputi sumbangan dalam rangka
penanggulangan bencana nasional, sumbangan dalam rangka penelitian
dan pengembangan, sumbangan fasilitas pendidikan, dan sumbangan dalam
rangka pembinaan olahraga.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bencana nasional” adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis, yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
Yang dimaksud dengan “badan penanggulangan bencana”
adalah badan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk menampung,
menyalurkan, dan/atau mengelola sumbangan yang berkaitan dengan
bencana nasional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penelitian” adalah
kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara
sistematis untuk memperoleh informasi, data dan keterangan yang
berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau
ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi
keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk
penelitian di bidang Seni dan Budaya.
Yang dimaksud dengan “pengembangan” adalah
kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan
kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya
untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan
teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi.
Yang dimaksud dengan “lembaga penelitian dan
pengembangan” adalah lembaga yang didirikan dengan tujuan melakukan
kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia termasuk perguruan
tinggi terakreditasi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “fasilitas pendidikan”
adalah prasarana dan sarana yang dipergunakan untuk kegiatan
pendidikan termasuk pendidikan kepramukaan, olahraga, dan program
pendidikan di bidang seni dan budaya nasional.
Yang dimaksud dengan “lembaga pendidikan” adalah
lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, termasuk pendidikan olah
raga, seni dan/atau budaya, baik pendidikan dasar dan menengah yang
terdaftar pada dinas pendidikan maupun perguruan tinggi
terakreditasi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “lembaga pembinaan olahraga”
adalah organisasi olahraga yang membina, mengembangkan dan
mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga
prestasi.
Yang dimaksud dengan “olahraga prestasi” adalah
olahraga yang membina dan mengembangkan atlit secara terencana,
berjenjang, dan berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai
prestasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan.
Huruf e
Cukup
Jelas.
Pasal 2
Contoh:
PT Gunung Raya pada tahun 2009 mempunyai penghasilan
neto fiskal sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pada
tahun 2010 Wajib Pajak memberikan sumbangan dalam rangka pembinaan
olahraga melalui lembaga pembinaan olahraga sebesar Rp.40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah). Pada tahun 2010 Wajib Pajak mempunyai
penghasilan neto fiskal sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah). Wajib Pajak tidak diperkenankan mengurangkan sumbangan
tersebut dari penghasilan bruto tahun 2010 karena akan menyebabkan
rugi sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Pasal 3
Contoh:
Penghasilan
neto fiskal Wajib Pajak adalah Rp60.000.000.000,00 (enam puluh milyar
rupiah) maka jumlah sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto yaitu maksimal 5% (lima persen) atau sebesar Rp3.000.000.000,00
(tiga milyar rupiah).
Apabila
Wajib Pajak memberikan sumbangan sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah) maka yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
hanya sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).
Pasal 4
Yang
dimaksud dengan “hubungan istimewa” adalah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang
dimaksud “barang” dapat berupa barang yang diproduksi atau
diperoleh oleh Wajib Pajak pemberi sumbangan.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “sarana dan/atau prasarana” antara lain rumah
ibadah, sanggar seni budaya, dan poliklinik.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5182
PERATURAN
PEMERINTAH
NOMOR 94
TAHUN 2010 TANGGAL 30 DESEMBER 2010
TENTANG
PENGHITUNGAN
PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN
BERJALAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dengan dilakukannya perubahan Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap
ketentuan penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan dalam Tahun Berjalan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
lndonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA
PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
adalah Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah Undang-Undang nomor 8
TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang nomor 42 TAHUN 2009 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah.
BAB II
OBJEK PAJAK
Pasal 2
Objek
pajak berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf g Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak termasuk pemberian
saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari:
a. kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang
telah menyetor modal atau membeli saham di atas harga nominal,
sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah
pembagian saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan
b. kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva
tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal 3
Dalam hal
terjadi pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka
keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta tersebut dengan
nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.
Pasal 4
(1) Agio saham yang timbul dari selisih lebih antara
nilai pasar saham dan nilai nominal saham, tidak termasuk objek
pajak.
(2) Disagio saham yang timbul dari selisih lebih antara
nilai nominal saham dan nilai pasar saham, bukan merupakan pengurang
dari penghasilan bruto.
Pasal 5
(1) Bagian laba yang diterima atau diperoleh oleh
pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif termasuk
keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya, tidak termasuk
sebagai objek pajak.
(2) Ketentuan terhadap bagian laba termasuk keuntungan
atas pelunasan kembali unit penyertaannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku juga bagi pemegang unit penyertaan yang merupakan
Subjek Pajak luar negeri
Pasal 6
Pembagian
laba secara langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo
laba termasuk saldo laba berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan
merupakan objek pajak, kecuali bagian laba sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 7
(1) Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak
Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan
audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik
Bank Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penghitungan dan
pembayaran Pajak Penghasilan atas surplus Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 8
(1) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan dapat terjadi karena ketergantungan atau
keterikatan satu dengan yang lain secara langsung atau tidak langsung
berkenaan dengan:
a. usaha;
b. pekerjaan;
atau
c. kepemilikan
atau penguasaan.
(2) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan
berkenaan dengan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat terjadi
apabila terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah
pihak.
(3) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan
berkenaan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi
apabila terdapat hubungan yang berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau
pelaksanaan kegiatan secara langsung atau tidak langsung antara kedua
pihak tersebut.
(4) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan
berkenaan dengan kepemilikan atau penguasaan antara Wajib Pajak
pemberi dengan Wajib Pajak penerima sebagaimana dimaksud pada ayat
(I) huruf c terjadi apabila terdapat:
a. penyertaan modal secara langsung atau tidak langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan; atau
b. hubungan penguasaan secara langsung atau tidak
langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf b
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
BAB III
PENGHITUNGAN
PENGHASILAN KENA PAJAK
Pasal 9
(1) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang
asing diakui sebagai penghasilan atau biaya berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
(2) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan langsung
dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. tidak
termasuk objek pajak,
tidak
diakui sebagai penghasilan atau biaya.
(3) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak berkaitan
langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. tidak
termasuk objek pajak,
diakui
sebagai penghasilan atau biaya sepanjang biaya tersebut dipergunakan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Pasal 10
(1) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat
dibuktikan Pajak Masukan tersebut:
a. benar-benar
telah dibayar; dan
b. berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
(2) Pajak Masukan yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehubungan
dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta
tidak berwujud serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A
Undang-Undang Pajak Penghasilan, harus dikapitalisasi dengan
pengeluaran atau biaya tersebut dan dibebankan melalui penyusutan
atau amortisasi.
Pasal 11
(1) Biaya pengembangan tanaman industri yang berumur
lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan hasil,
dikapitalisasi selama periode pengembangan dan merupakan bagian dari
harga pokok penjualan pada saat hasil tanaman industri dijual.
(2) Biaya pemeliharaan ternak yang berumur lebih dari 1
(satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan hasil, dikapitalisasi
selama periode pemeliharaan dan merupakan bagian dari harga pokok
penjualan pada saat ternak dijual.
Pasal 12
(1) Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang
diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas diperkenankan
apabila:
a. pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang
saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain;
b. modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham
pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;
c. pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan
merugi; dan
d. perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami
kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.
(2) Apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak
berbentuk perseroan terbatas dari pemegang sahamnya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pinjaman tersebut
terutang bunga dengan tingkat suku bunga wajar.
Pasal 13
Pengeluaran
dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap, termasuk:
a. biaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang:
1) bukan merupakan objek pajak;
2) pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau
3) dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang
Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Pajak
Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan.
BAB IV
PELUNASAN
PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
OLEH WAJIB
PAJAK SENDIRI
Pasal 14
Orang
pribadi dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan di
atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sehubungan dengan pekerjaan
dari badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, wajib:
a. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran
Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan; dan
c. melaporkan penghitungan dan pembayaran Pajak
Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan.
BAB V
PELUNASAN
PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
MELALUI
PIHAK LAIN
Pasal 15
(1) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan
dilakukan pada akhir bulan:
a. terjadinya
pembayaran; atau
b. terutangnya
penghasilan yang bersangkutan,
tergantung
peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan,
dilakukan pada saat:
a. pembayaran;
atau
b. tertentu
lainnya yang diatur oleh Menteri Keuangan.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya
penghasilan;
b. disediakan
untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh
temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung
peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(4) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan,
dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya
penghasilan;
b. disediakan
untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh
temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung
peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
Pasal 16
Dalam hal
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan
atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan pada tahun pajak yang
berbeda dengan tahun pajak pengakuan penghasilan, maka atas Pajak
Penghasilan yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan pada tahun
pajak dilakukan pemotongan.
Pasal 17
Dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dapat ditetapkan saat pengakuan
penghasilan dan biaya dalam hal-hal tertentu sesuai dengan kebijakan
Pemerintah.
Pasal 18
(1) Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 3
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dilakukan dengan cara bagi hasil
dipotong oleh pihak yang wajib membayarkan.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemotongan Pajak
Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 19
Dalam hal
penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan Peraturan Pemerintah tersendiri, atas penghasilan tersebut
dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 20
Pajak
Penghasilan yang dipotong atau dipungut berdasarkan tarif pemotongan
atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal
22 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (1a) Undang-Undang Pajak Penghasilan,
dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk
tahun pajak yang bersangkutan setelah Wajib Pajak tersebut memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 21
(1) Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat
membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena:
a. mengalami kerugian fiskal;
b. berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal; atau
c. Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari
Pajak Penghasilan yang akan terutang,
dapat
mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan
pajak bersifat final, dapat mengajukan permohonan pembebasan dari
pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat
dikreditkan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan
permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 22
Dalam
menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, terhadap bentuk usaha tetap yang
terutang Pajak Penghasilan pada suatu tahun pajak, kerugian fiskal
tidak dapat dikompensasikan lagi dengan Penghasilan Kena Pajak
setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan.
Pasal 23
(1) Pajak Penghasilan yang terutang dari Penghasilan
Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang
Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak bentuk usaha tetap
memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak
Penghasilan yang terutang berdasarkan penghitungan sementara harus
dibayar lunas sebelum penyampaian pemberitahuan perpanjangan jangka
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
BAB VI
PENERAPAN
PERJANJIAN INTERNASIONAL
MENGENAI
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DAN
PERTUKARAN INFORMASI
Pasal 24
(1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda hanya
berlaku bagi orang pribadi atau badan yang merupakan Subjek Pajak:
a. dalam
negeri dari Indonesia; dan/atau
b. dari
negara mitra persetujuan penghindaran pajak berganda,
yang
dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerapan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 25
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan
kesepakatan dengan negara mitra dalam rangka pertukaran informasi,
prosedur persetujuan bersama, dan bantuan penagihan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian pertukaran
informasi, pelaksanaan prosedur persetujuan bersama, dan pelaksanaan
bantuan penagihan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 26
(1) Dalam hal terdapat ketentuan perpajakan yang diatur
dalam perjanjian internasional yang berbeda dengan ketentuan
perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan,
perlakuan perpajakannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian
tersebut sampai dengan berakhirnya perjanjian dimaksud, dengan syarat
perjanjian tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang tentang
Perjanjian Internasional.
(2) Pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri
Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
BAB VII
PEMBUKUAN
TERPISAH DAN PERUBAHAN TAHUN BUKU
Pasal 27
(1) Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan secara
terpisah dalam hal:
a. memiliki usaha yang penghasilannya dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final dan tidak final;
b. menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan
objek pajak dan bukan objek pajak; atau
c. mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas
perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
(2) Biaya bersama bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan
besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya dialokasikan secara
proporsional.
Pasal 28
(1) Wajib Pajak yang melakukan perubahan tahun buku dan
telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, harus melaporkan penghasilan yang diterima atau
diperoleh dalam bagian tahun buku yang tidak termasuk dalam tahun
buku yang baru dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
tersendiri untuk Bagian Tahun Pajak yang bersangkutan.
(2) Sisa rugi fiskal yang masih dapat dikompensasikan
yang berasal dari tahun-tahun pajak sebelum perubahan tahun buku
dapat dikompensasikan dengan penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak dan
Tahun Pajak berikutnya.
BAB VIII
FASILITAS
PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN
PAJAK
PENGHASILAN BADAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL
Pasal 29
(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal
baru yang merupakan industri pionir, yang tidak mendapatkan fasilitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan
dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak
Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
(2) Industri pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai
tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru,
serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Pasal 30
Ketentuan
mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak
Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
BAB IX
KETENTUAN
LAIN-LAIN
Pasal 31
Penghitungan
pajak bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir sebelum tanggal 1
Juli 2009 dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
Pasal 32
Penghitungan
pajak dalam tahun berjalan sampai dengan Desember 2008, untuk tahun
pajak 2009, bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah
tanggal 30 Juni 2009, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
nomor 17 TAHUN 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 33
Fasilitas
perpajakan dengan jangka waktu yang terbatas yang diperoleh Wajib
Pajak sebelum tanggal 1 Januari 2009 tetap berlaku sampai dengan
berakhirnya jangka waktu fasilitas perpajakan tersebut.
BAB IX
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 34
Pada saat
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor
138 TAHUN 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4055), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 35
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 30 Desember 2010
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 30 Desember 2010
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 161
PRESIDEN
REPUBLIK
INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 94
TAHUN 2010
TENTANG
PENGHITUNGAN
PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN
PAJAK
PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
I. UMUM
Dengan diundangkannya UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
tentang Perubahan Keempat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi yang terkait dengan
penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan
dalam tahun berjalan. Oleh karena itu perlu dilakukan penyesuaian
terhadap ketentuan penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan.
Peraturan Pemerintah ini, sebagai pengganti Peraturan
Pemerintah nomor 138 TAHUN 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena
Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, mengatur
ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan Penghitungan Penghasilan
Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan.
Dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur juga ketentuan
peralihan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Pajak Penghasilan
yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup
jelas.
Pasal
2
Pemberian
saham bonus kepada pemegang saham yang dilakukan tanpa penyetoran
termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen. Demikian pula
dengan pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio
saham. Agio saham berasal dari setoran modal pemegang saham di atas
nilai nominal saham yang diperolehnya.
Oleh
karena itu apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang
saham yang menjadikan jumlah nilai nominal seluruh saham termasuk
saham bonus yang diperolehnya lebih besar dari jumlah setoran
modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio
saham tersebut termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen.
Namun demikian apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang
saham sehingga pemberian tersebut tidak menjadikan jumlah nilai
seluruh saham (termasuk saham bonus), yang diperoleh atau dimilikinya
lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus yang
berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut tidak termasuk dalam
pengertian pembagian laba atau dividen.
Pasal
3
Cukup jelas.
Pasal
4
Ayat
(1)
Contoh:
PT
A (belum Go Public) yang mempunyai modal dasar sebesar
Rp4.500.000.000,00 (terdiri dari 4.500.000 lembar saham) dan telah
disetor penuh melakukan ekspansi yang sumber pendanaannya diperoleh
dengan jalan meningkatkan modal saham dengan menjual saham baru
sejumlah 500.000 lembar (nilai nominal Rp 1000,00/lembar) dengan
nilai jual Rp 750.000.000,00 (500.000 lembar saham x Rp1.500,00)
sehingga terdapat selisih di atas nilai nominal sebesar Rp
250.000.000,00 (500.000 lembar saham x Rp500,00) yang dibukukan
sebagai agio saham oleh PT A.
Atas
agio saham tersebut bukan merupakan objek Pajak Penghasilan bagi PT
A.
Ayat
(2)
Contoh:
Seperti
pada ayat (1), namun nilai penjualan 500.000 lembar saham baru
tersebut sebesar Rp400.000.000,00. Atas selisih lebih antara nilai
nominal dan nilai pasar saham sebesar Rp 100.000.000,00 (500.000
lembar saham x (-Rp200,00)) tersebut dibukukan sebagai disagio saham
oleh PT A.
Atas
disagio saham tersebut bukan merupakan pengurang dari penghasilan
bagi PT A.
Pasal
5
Cukup
jelas.
Pasal
6
Cukup
jelas.
Pasal
7
Ayat
(1)
Karakteristik
Bank Indonesia terkait surplus Bank Indonesia antara lain selisih
kurs, penyisihan aktiva, dan penyusutan aktiva tetap.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
8
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “pihak-pihak yang bersangkutan” adalah Wajib
Pajak pemberi dan Wajib Pajak penerima bantuan atau, sumbangan,
termasuk zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dan atau harta hibahan.
Ayat
(2)
Transaksi
yang bersifat rutin antara kedua belah pihak adalah berupa pembelian,
penjualan, atau pemberian imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk
apapun.
Ayat
(3)
Contoh
hubungan berkenaan dengan pekerjaan:
1. Tuan B merupakan direktur PT X dan Tuan C merupakan
pegawai PT X. Dalam hal ini, antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan
C terdapat hubungan pekerjaan langsung. Jika Tuan B dan/atau Tuan C
menerima bantuan atau sumbangan dari PT X atau sebaliknya, maka
bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan
bagi yang menerima karena antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C
mempunyai hubungan pekerjaan langsung.
2. Tuan A bekerja sebagai petugas dinas luar asuransi
dari perusahaan asuransi PT X. Meskipun Tuan A tidak berstatus
sebagai pegawai PT X, namun antara PT X dan Tuan A dianggap mempunyai
hubungan pekerjaan tidak langsung. Jika Tuan A menerima bantuan atau
sumbangan dari PT X atau sebaliknya, maka bantuan atau sumbangan
tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan bagi pihak yang menerima
karena antara PT X dan Tuan A mempunyai hubungan pekerjaan tidak
langsung.
Ayat
(4)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Contoh:
1. Penguasaan
manajemen secara langsung:
Tuan
A dan Tuan B, adalah direktur PT X, sedangkan Tuan C adalah komisaris
X. Selain itu, Tuan C juga menjadi direktur di PT Y, dan Tuan B
sebagai komisaris di PT Y.
Tuan
B Junior adalah direktur PT AA, sedangkan Tuan E sebagai komisaris PT
AA. Tuan B Junior adalah anak dari Tuan B yang menjadi direktur PT X
dan komisaris PT Y.
Dalam
contoh di atas, antara PT X dan PT Y mempunyai hubungan penguasaan
manajemen secara langsung, karena Tuan B selain bekerja sebagai
direktur di PT X juga bekerja sebagai komisaris PT Y. Di samping itu,
Tuan C selain bekerja sebagai komisaris di PT X juga bekerja sebagai
direktur di PT Y. Jika PT X menerima bantuan atau sumbangan dari PT Y
(atau sebaliknya) maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan
objek pajak bagi pihak yang menerima.
Demikian
pula antara PT Y dan PT AA mempunyai hubungan penguasaan manajemen
secara langsung, karena terdapat hubungan keluarga antara Tuan B
(ayah) yang bekerja sebagai komisaris di PT Y dengan Tuan B Junior
(anak) yang bekerja sebagai direktur di PT AA.
Jika
PT AA menerima bantuan atau sumbangan dari PT Y (atau sebaliknya)
maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak
yang menerima.
Jika
Tuan B.Jr (anak) menerima bantuan atau sumbangan atau harta hibahan
dari Tuan B (ayah) maka bantuan atau sumbangan atau harta hibahan
tersebut dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan, karena yang mempunyai hubungan penguasaan manajemen
adalah antara PT Y dengan PT AA, bukan antara Tuan B (ayah) dan Tuan
B Junior (anak).
Dengan
demikian, hubungan penguasaan manajemen hanya terjadi antara entitas
yang pengurusnya sama atau memiliki hubungan keluarga. Sedangkan
antara pengurus dalam entitas tersebut tidak memilki hubungan
penguasaan.
2. Penguasaan manajemen secara tidak langsung:
Tuan
O adalah direktur PT AB, dan Tuan P sebagai komisaris PT AB. Tuan O
dan Tuan P nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan
kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan
kegiatan PT X, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak
ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun Tuan O dan/atau
Tuan tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera
dalam akte pendirian maupun akte perubahan PT X.
Dalam
contoh di atas, antara PT AB dan PT X mempunyai hubungan penguasaan
manajemen secara tidak langsung. Jika PT X menerima bantuan atau
sumbangan dari PT AB atau sebaliknya maka bantuan atau sumbangan
tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang menerima.
Pasal
9
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Contoh:
PT
A bergerak di bidang penyewaan apartemen. Sesuai dengan kontrak, sewa
apartemen tiap bulan adalah sebesar US$1,000 dan diterbitkan invoice
setiap tanggal 1.
Pada
tanggal 1 September 2010 PT A menerbitkan invoice sebesar US$ 1,000
kepada penyewa. Pada tanggal tersebut, kurs yang berlaku adalah
Rp9.000,00 per 1 US$. Pada tanggal 1 September 2010 tersebut PT A
mengakui penghasilan atas sewa apartemen sebesar Rp9.000.000,00 (US$
1,000 x Rp9.000,00).
Pada
tanggal 15 September 2010 penyewa membayar sewa apartemen. Pada
tanggal tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp8.700,00 per 1 US$,
sehingga nilai sewa yang dibayar adalah sebesar Rp8.700.000,00 (US$
1,000 x Rp8.700,00).
Atas
perbedaan waktu antara tanggal penerbitan invoice dan tanggal
pembayaran timbul kerugian selisih kurs bagi PT A sebesar
Rp300.000,00 ((Rp9.000,00 - Rp8.700,00) x US$ 1,000)).
Atas
kerugian selisih kurs tersebut tidak diakui sebagai biaya bagi PT A
karena berasal dari penyewaan apartemen yang telah dikenai Pajak
Penghasilan bersifat final.
Ayat
(3)
Contoh:
PT
A yang bergerak di bidang penyewaan apartemen, pada bulan September
2010 mendapatkan pinjaman sebesar US$ 10,000,000 yang digunakan
masing-masing sebesar US$ 9,000,000 untuk membangun apartemen, dan
sebesar US$ 1,000,000 untuk membeli alat transportasi yang akan
dipergunakan untuk usaha jasa angkutan.
Atas
keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang berasal
dari pinjaman sebesar US$ 1,000,000 tersebut dapat diakui sebagai
penghasilan atau biaya karena:
a. tidak berkaitan langsung dengan usaha PT A di bidang
penyewaan apartemen yang atas penghasilannya dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final; dan
b. merupakan pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan lainnya berupa usaha jasa angkutan yang atas
penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal
10
Cukup
jelas.
Pasal
11
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “biaya pengembangan” adalah seluruh pengeluaran
yang terkait dengan tanaman industri termasuk pembelian bibit,
pemeliharaan, dan pembesaran tanaman sampai dijual.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “biaya pemeliharaan” adalah seluruh pengeluaran
yang terkait dengan ternak termasuk pembelian bibit, pemeliharaan,
dan pembesaran ternak sampai dijual.
Pasal
12
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “tingkat suku bunga wajar” adalah tingkat suku
bunga yang berlaku yang ditetapkan sesuai dengan prinsip kewajaran
dan kelaziman (best practice) jika transaksi dilakukan di antara
pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal
13
Huruf a
Biaya
yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri,
baik penghasilan yang dikenakan pemotongan, pemungutan, atau
pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) maupun penghasilan yang dikenai pajak
berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan
Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak
Penghasilan, telah diperhitungkan dalam tarif pajak ataupun norma
penghitungan yang berlaku untuk penghasilan tersebut. Oleh karena
itu, biaya-biaya tersebut tidak boleh lagi dikurangkan dari
penghasilan bruto lainnya yang pengenaan pajaknya dilakukan
berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Pasal
14
Kantor
perwakilan negara asing dan organisasi internasional tertentu sebagai
bukan Subjek Pajak tidak berkewajiban melakukan pemotongan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2)
Undang-Undang Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, orang pribadi dalam
negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan, berupa gaji dan
imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan pada badan-badan tersebut,
yang jumlahnya melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
berkewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri Pajak
Penghasilan yang terutang.
Pasal
15
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Saat
terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak
Penghasilan adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk
dibayarkan (seperti : dividen) dan jatuh tempo (seperti : bunga dan
sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur
(seperti : royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa
lainnya).
Yang
dimaksud dengan “saat disediakan untuk dibayarkan”:
a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat
dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat
pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) Tahunan.
Demikian
pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan
membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak
Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada
saat diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang
saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.
b. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal
penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen
(recording date).
Dengan
perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana
diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat
dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak “menerima atau
memperoleh” dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut
belum diterima secara tunai.
Yang
dimaksud dengan “saat jatuh tempo pembayaran” adalah saat
kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan atas
kesepakatan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak
atau perjanjian atau faktur.
Ayat
(4)
Saat
terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang Pajak
Penghasilan adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk
dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo (seperti: bunga dan
sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur
(seperti : royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa
lainnya).
Yang
dimaksud dengan “saat disediakan untuk dibayarkan”:
a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat
dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat
pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) Tahunan.
Demikian
pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan
membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak
Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada
saat diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang
saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.
b. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal
penentuan kepemilikan pemegang saham yang berhak atas dividen
(recording date).
Dengan
perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana
diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat
dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak “menerima atau
memperoleh” dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut
belum diterima secara tunai.
Yang
dimaksud dengan “saat jatuh tempo pembayaran” adalah saat
kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan atas
kesepakatan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak
atau perjanjian atau faktur.
Pasal
16
Contoh:
Pada
bulan Oktober 2009 PT A memberikan pinjaman kepada PT B sebesar
Rp1.000.000.000,00 dengan tingkat bunga sebesar 10% (sepuluh persen)
per tahun. Jatuh tempo pembayaran bunga setiap tanggal l April dan 1
Oktober.
Pada
1 April 2010, PT B membayar bunga sebesar Rp50.000.000,00 kepada PT
A. Atas bunga pinjaman ini, PT A telah mengakui sebagai penghasilan
di tahun 2009 sebesar Rp25.000.000,00 (bunga selama Oktober s.d
Desember 2009). Sesuai ketentuan, PT B melakukan pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan pada saat jatuh
tempo pembayaran pada tanggal 1 April 2010 sebesar Rp7.500.000,00
(15% x Rp50.000.000,00) dan kepada PT A diberikan bukti
pemotongannya.
Atas
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan
tersebut, dapat dikreditkan oleh PT A pada tahun 2010.
Pasal
17
Pada
dasarnya saat pengakuan biaya dan penghasilan dilakukan secara taat
asas berdasarkan prinsip akuntansi tentang pengaitan biaya dengan
penghasilan (matching of costs againts revenues). Namun, dalam
hal-hal tertentu karena kebijakan Pemerintah, Direktur Jenderal Pajak
dapat mengatur saat pengakuan penghasilan dan biaya yang berbeda.
Yang
dimaksud dengan “dalam hal-hal tertentu” antara lain:
a. saat pengakuan penghasilan bank berupa bunga kredit
non performing loan dalam rangka menunjang percepatan proses
restrukturisasi perbankan sesuai dengan kebijakan Pemerintah; atau
b. saat pengakuan penghasilan dan biaya bagi Wajib Pajak
karena adanya perubahan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.
Pasal
18
Cukup
jelas.
Pasal
19
Atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak misalnya yang
bergerak di bidang usaha jasa konstruksi dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Dalam hal
tidak diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri yang menyatakan
bahwa atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final, penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
Pasal
20
Contoh:
Tuan
A, subjek pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan
objektif namun belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
memperoleh penghasilan sebesar Rp20.000.000,00 sehubungan dengan jasa
konsultasi yang dilakukannya pada tahun 2009. Oleh karena Tuan A
belum memiliki NPWP, atas penghasilan tersebut dilakukan pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan oleh
pemberi penghasilan dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen)
daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat
menunjukkan NPWP, sehingga Pajak Penghasilan Pasal 21 Undang-Undang
Pajak Penghasilan yang dipotong adalah sebesar Rp 1.200.000,00 (5% x
120% x Rp20.000.000,00).
Pada
tahun 2011, Tuan A mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP dan
melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
orang pribadi Tahun Pajak 2009 dan 2010. Atas kredit pajak sebesar
Rp1.200.000,00 yang dipotong pada tahun 2009 tersebut, Tuan A hanya
dapat mengkreditkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak 2009.
Pasal
21
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Contoh:
Perusahaan
Jasa Konstruksi yang atas penghasilannya semata-mata dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final melakukan impor barang yang digunakan
untuk kegiatan jasa konstruksi. Atas impor barang tersebut,
perusahaan jasa konstruksi dapat mengajukan permohonan pembebasan
dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
22
Contoh:
Penghasilan
neto komersial bentuk usaha tetap di Indonesia dalam tahun 2009
sebesar Rp16.000.000.000,00 dan penyesuaian fiskal positif sebesar
Rp1.500.000.000,00. Sisa kerugian tahun sebelumnya yang masih dapat
dikompensasikan dalam tahun 2009 sebesar Rp7.500.000.000,00.
Penghitungan
Pajak Penghasilan Pasal 17 dan Pasal 26 ayat (4) sebagai berikut:
-
UraianPPh Pasal 17PPh Pasal 26 (4)Penghasilan Neto Komersial16.000.000.000,00
Penyesuaian Fiskal Positif1.500.000.000,00
Penghasilan Neto Fiskal17.500.000.000,00
Kompensasi Kerugian7.500.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak10.000.000.000,00
PPh Badan Terutang 28%2.800.000.000,00
PKP setelah dikurangi pajak
7.200.000.000,00PPh Pasal 26 (4) = 20%
1.440.000.000,00
Dalam
menghitung PPh Pasal 26 ayat (4), kompensasi kerugian sebesar
Rp7.500.000.000,00 tersebut tidak boleh diperhitungkan sebagai
pengurang Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak
(Rp7.200.000.000,00).
Pasal
23
Ayat
(1)
Sesuai
dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan.
adalah
paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Dengan
demikian pelunasan Pajak Penghasilan yang terhutang harus dilakukan
sebelum batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal
24
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “Surat Keterangan Domisili” atau yang disebut
dengan certificate of resident adalah surat keterangan yang
diterbitkan dan/atau disahkan oleh pejabat yang berwenang di bidang
perpajakan (Competent Authority) atau pejabat yang ditunjuk
berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
25
Ayat (1)
Pertukaran
informasi (exchange of information), prosedur persetujuan bersama
(mutual agreement procedures), dan bantuan penagihan (assistance in
collection of taxes) merupakan bagian dari kesepakatan dalam
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
26
Cukup
jelas.
Pasal
27
Ayat
(1)
Pembukuan
secara terpisah merupakan proses pencatatan yang dilakukan secara
teratur dengan melakukan pemisahan pencatatan untuk setiap transaksi,
penghasilan dan biaya-biaya antara kegiatan.
usaha
yang dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan kegiatan usaha
yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final maupun atas
penerimaan penghasilan bruto yang merupakan objek pajak dan yang
bukan merupakan objek pajak, serta penghasilan dan biaya-biaya dari
usaha yang tidak mendapatkan fasilitas perpajakan dan yang
mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Contoh huruf c:
PT
A bergerak di bidang industri pengalengan ikan yang berkedudukan di
Jakarta mempunyai aset berupa gudang dan mesin pengolahan di Papua
dalam rangka pengembangan kegiatan dan produksi perusahaan.
Sesuai
dengan Peraturan Pemerintah nomor 1 TAHUN 2007 tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha
Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008, atas industri
pengalengan ikan dan biota perairan lainnya di daerah Papua dapat
diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.
Salah
satu bentuk fasilitas Pajak Penghasilan yang dimaksud adalah
penyusutan dan amortisasi yang dipercepat.
Dalam
hal ini, pencatatan secara terpisah harus dilakukan untuk biaya
penyusutan atas aset dalam rangka usaha yang mendapatkan fasilitas
perpajakan (di Papua) dan yang tidak mendapatkan fasilitas perpajakan
(di Jakarta).
Ayat
(2)
Biaya
bersama adalah pengeluaran atau biaya yang berhubungan langsung
dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara suatu
penghasilan dan sekaligus berhubungan langsung dengan kegiatan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya.
Biaya-biaya
bersama yang menjadi dasar alokasi pembebanan dalam rangka menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah biaya bersama setelah
dilakukan penyesuaian/koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 dan peraturan
pelaksanaannya.
Contoh:
PT
A bergerak dalam bidang usaha yang penghasilannya dikenakan Pajak
Penghasilan yang bersifat final. Dalam suatu tahun pajak, PT A
memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:
a. penghasilan dari usaha yang telah dikenakan Pajak
Penghasilan yang bersifat final Rp 300.000.000,00
b. penghasilan bruto lainnya yang dikenakan Pajak
Penghasilan yang bersifat tidak final Rp 200.000.000,00
------------------------
Jumlah penghasilan bruto Rp 500.000.000,00
Apabila
biaya-biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan setelah dilakukan
penyesuaian fiskal adalah sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah), maka biaya yang boleh dikurangkan untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar : 2/5
x Rp250.000.000,00 = Rp 100.000.000,00
Pasal
28
Ayat
(1)
Contoh:
Wajib
Pajak dengan tahun buku dari 1 Juli 2009·sampai dengan 30 Juni 2010
(tahun buku 2009) melakukan perubahan tahun bukunya yang telah
disetujui Direktur Jenderal Pajak menjadi 1 Oktober 2009 sampai
dengan 30 September 2010 (tahun buku 2010). Dalam hal ini,
penghasilan yang diterima atau diperoleh sejak 1 Juli 2010 sampai
dengan 30 September 2010 harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2010 tersendiri.
Ayat
(2)
Sisa rugi fiskal dalam bagian tahun buku yang tidak
termasuk dalam tahun buku yang baru, dapat dikompensasikan dengan
penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan
5 (lima) tahun.
Contoh:
Tahun
buku PT X adalah Oktober sampai dengan September. PT X berencana
mengubah tahun buku menjadi Januari sampai dengan Desember mulai
Tahun Pajak 2010. PT X memiliki rugi fiskal yang berasal dari Tahun
Pajak 2007
Untuk
sisa rugi fiskal Tahun Pajak 2007 (Oktober 2006 sampai dengan
September 2007) dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai Tahun
Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun, yaitu
mulai Tahun Pajak 2008 sampai dengan 2011 sebagai berikut:
Tahun
Pajak I : 2008 (Oktober 2007 sampai dengan September 2008).
Tahun
Pajak II : 2009 (Oktober 2008 sampai dengan September 2009).
Tahun Pajak III : Bagian Tahun Pajak 2009 (Oktober 2009
sampai dengan Desember 2009).
Tahun
Pajak IV : 2010 (Januari 2010 sampai dengan Desember 2010).
Tahun
Pajak V : 2011 (Januari 2011 sampai dengan Desember 2011).
Pasal
29
Cukup
jelas.
Pasal
30
Cukup
jelas.
Pasal
31
Contoh:
PT
A mempergunakan tahun buku dari 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni
2009 untuk Tahun Pajak 2008. Dalam rangka menghitung kewajiban
pajaknya pada akhir tahun (tahun buku), PT A wajib menghitungnya
berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Pasal
32
PT
A mempergunakan tahun buku dari 1 Agustus 2008 sampai dengan 31 Juli
2009 untuk Tahun Pajak 2009. Dalam rangka menghitung kewajiban pajak
dalam tahun berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh
pihak lain (Pajak Penghasilan Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal
26 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan serta pembayaran pajak
oleh Wajib Pajak sendiri (Pajak Penghasilan Pasal 25) sampai dengan
Desember 2008, PT A wajib menghitungnya berdasarkan ketentuan dalam
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2000.
Pasal
33
Cukup
jelas.
Pasal
34
Cukup
jelas.
Pasal
35
Cukup
jelas.
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5183
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
146/PMK.05/2011 TANGGAL 05 SEPTEMBER 2011
TENTANG
PERUBAHAN
ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 173/PMK.05/2010 TENTANG TATA
CARA PENGELOLAAN DANA BANTUAN DALAM RANGKA PENANGGULANGAN BENCANA
ALAM DI SUMATERA
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa agar pengelolaan Rekening Penerimaan Dana
Bantuan Bencana Alam Sumatera dapat dilaksanakan sesuai mekanisme
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, telah ditetapkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 173/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Pengelolaan
Dana Bantuan dalam Rangka Penanggulangan Bencana Alam di Sumatera;
b. bahwa kegiatan penanggulangan bencana alam di
Sumatera yang dibiayai dengan Hibah Dana Bantuan Penanggulangan
Bencana Alam Sumatera diperkirakan tidak dapat diselesaikan sampai
dengan tanggal 31 Desember 2011 sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 173/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Pengelolaan
Dana Bantuan dalam Rangka Penanggulangan Bencana Alam di Sumatera;
c. bahwa agar kegiatan penanggulangan bencana alam di
Sumatera dapat terselesaikan, dipandang perlu menyesuaikan waktu
pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana alam di Sumatera
sebagaimana dimaksud dalam huruf b dengan mengubah beberapa ketentuan
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 173/PMK.05/2010 tentang Tata
Cara Pengelolaan Dana Bantuan dalam Rangka Penanggulangan Bencana
Alam di Sumatera;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 173/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Dana Bantuan
dalam Rangka Penanggulangan Bencana Alam di Sumatera;
Mengingat :
1. Keputusan
Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 173/PMK.05/2010
tentang Tata Cara Pengelolaan Dana Bantuan dalam Rangka
Penanggulangan Bencana Alam di Sumatera;
Memperhatikan :
Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 12 Tahun 2009
tentang Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca
Bencana Gempa Bumi di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2009-2011
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 7 Tahun 2011;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 173/PMK.05/2010 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN DANA BANTUAN
DALAM RANGKA PENANGGULANGAN BENCANA ALAM DI SUMATERA.
Pasal I
Beberapa
ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 173/PMK.05/2010
tentang Tata Cara Pengelolaan Dana Bantuan dalam Rangka
Penanggulangan Bencana Alam di Sumatera, diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan
Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Hibah dana Bantuan Penanggulangan Bencana Alam
Sumatera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 menjadi sumber pendanaan
bagi kegiatan penanggulangan bencana alam di Provinsi Sumatera Barat
dan Provinsi Aceh.
(2) Kepala BNPB sesuai dengan tugas dan fungsinya
ditetapkan sebagai PA Dana Bantuan Penanggulangan Bencana Alam
Sumatera sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) BNPB mengajukan revisi Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian/Lembaga (RKAKL) dan Revisi Daftar lsian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) Satuan Kerja berkenaan untuk menampung dana dan
pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana alam di Sumatera.
(4) Berdasarkan Revisi DIPA sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat memindahbukukan dana
dalam Rekening Penerimaan Bantuan Bencana ke Rekening KUN.
(5) Kegiatan penanggulangan bencana alam di Sumatera
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselesaikan pada Tahun Anggaran
2011.
2. Ketentuan
Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Dalam hal kegiatan penanggulangan bencana alam di
Sumatera belum dapat diselesaikan pada Tahun Anggaran 2011
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), penyelesaian kegiatan
dimaksud dapat dilanjutkan pada Tahun Anggaran 2012.
(2) Dalam hal masih terdapat sisa dana dalam DIPA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) yang tidak direalisasikan
sampai dengan akhir Tahun Anggaran 2011, dana dimaksud merupakan
komitmen pemerintah yang harus dialokasikan dari Sisa Anggaran Lebih
(SAL) untuk kegiatan penanggulangan bencana.
(3) Pendanaan bagi penyelesaian kegiatan lanjutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari SAL sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
3. Ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) diubah dan
ditambahkan satu ayat baru yaitu ayat (3), sehingga Pasal 12 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Batas waktu pembiayaan kegiatan penanggulangan
bencana alam di Sumatera sampai dengan tanggal 31 Desember 2012.
(2) Apabila sampai dengan batas waktu pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat saldo dalam DIPA
dan saldo dalam Rekening Penerimaan Bantuan Bencana, maka saldo
tersebut dapat digunakan untuk pembiayaan kegiatan penanggulangan
bencana lain.
(3) Saldo dalam DIPA dan saldo dalam Rekening Penerimaan
Bantuan Bencana yang dapat digunakan untuk pembiayaan kegiatan
penanggulangan bencana lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
tidak termasuk saldo yang dialokasikan untuk kegiatan penanggulangan
bencana alam di Provinsi Aceh.
Pasal II
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 5 September 2011
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 5 September 2011
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 553
PERATURAN
DIRJEN PAJAK
NOMOR
PER-15/PJ/2012 TANGGAL 11 JUNI 2012
TENTANG
PERUBAHAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-33/PJ/2011 TENTANG
BADAN/LEMBAGA YANG DIBENTUK ATAU DISAHKAN OLEH PEMERINTAH YANG
DITETAPKAN SEBAGAI PENERIMA ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG
SIFATNYA WAJIB YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mengakomodasi badan/lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah sebagai
penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto;
b. bahwa berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama Nomor 43 Tahun 2012
tentang Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad
sebagai Lembaga yang Sah Menerima dan Mengelola Dharma Dana Hindu di
Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh
Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan
Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan
Bruto;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN
2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. PERATURAN PEMERINTAH nomor 60 TAHUN 2010 tentang
Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2010
tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang
Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/PJ/2011
tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas
Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh
Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan
Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan
Bruto;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
PAJAK NOMOR PER-33/PJ/2011 TENTANG BADAN/LEMBAGA YANG DIBENTUK ATAU
DISAHKAN OLEH PEMERINTAH YANG DITETAPKAN SEBAGAI PENERIMA ZAKAT ATAU
SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI
PENGHASILAN BRUTO
Pasal I
Mengubah
Lampiran dan menambah 1 (satu) butir menjadi butir 5 dalam Lampiran
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-33/PJ/2011 tentang
Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang
Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang
Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto,
sehingga keseluruhan Lampiran berbunyi sebagai berikut:
Badan/Lembaga
sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah:
1. Badan Amil Zakat Nasional berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 8 Tahun 2001 tanggal 17 Januari 2001;
2. Lembaga
Amil Zakat (LAZ) sebagai berikut:
a. LAZ
Dompet Dhuafa Republika berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 439
Tahun 2001 tanggal 8 Oktober 2001;
b. LAZ
Yayasan Amanah Takaful berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 440
Tahun 2001 tanggal 8 Oktober 2001;
c. LAZ
Pos Keadilan Peduli Umat berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor
441 Tahun 2001 tanggal 8 Oktober 2001;
d. LAZ
Yayasan Baitulmaal Muamalat berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor
481 Tahun 2001 tanggal 7 November 2001;
e. LAZ
Yayasan Dana Sosial Al Falah berdasarkan Keputusan Menteri Agama
Nomor 523 Tahun 2001 tanggal 10 Desember 2001;
f. LAZ
Baitul Maal Hidayatullah berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor
538 Tahun 2001 tanggal 27 Desember 2001;
g. LAZ
Persatuan Islam berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 552 Tahun
2001 tanggal 31 Desember 2001;
h. LAZ
Yayasan Baitul Maal Umat Islam PT Bank Negara Indonesia (Persero)
Tbk. berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 330 Tahun 2002 tanggal
20 Juni 2002;
i. LAZ
Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat berdasarkan Keputusan Menteri
Agama Nomor 406 Tahun 2002 tanggal 7 September 2002;
j. LAZ
Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama
Nomor 407 Tahun 2002 tanggal 17 September 2002;
k. LAZ
Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia berdasarkan Keputusan
Menteri Agama Nomor 445 Tahun 2002 tanggal 6 November 2002;
l. LAZ
Baitul Maal wat Tamwil berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 468
Tahun 2002 tanggal 28 November 2002;
m. LAZ
Baituzzakah Pertamina berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 313
Tahun 2004 tanggal 24 Mei 2004;
n. LAZ
Dompet Peduli Umat Daarut Tauhiid (DUDT) berdasarkan Keputusan
Menteri Agama Nomor 410 Tahun 2004 tanggal 13 Oktober 2004;
o. LAZ
Yayasan Rumah Zakat Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama
Nomor 42 Tahun 2007 tanggal 7 Mei 2007;
3. Lembaga
Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah (LAZIS) sebagai berikut:
a. LAZIS
Muhammadiyah berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 457 Tahun 2002
tanggal 21 November 2002;
b. LAZIS
Nahdlatul Ulama (LAZIS NU) berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor
65 Tahun 2005 tanggal 16 Februari 2006;
c. LAZIS
Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (LAZIS IPHI) berdasarkan Keputusan
Menteri Agama Nomor 498 Tahun 2006 tanggal 31 Juli 2006;
4. Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI)
berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen
Kementerian Agama Nomor DJ.III/KEP/HK.00.5/290/2011 tanggal 15 Juli
2011;
5. Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma
Parisad (BDDN YADP) berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Hindu Kementerian Agama Nomor 43 Tahun 2012 tanggal 15
Maret 2012.
Pasal II
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 11 Juni 2012
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
A. FUAD
RAHMANY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar