PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 71
TAHUN 2008 TANGGAL 4 NOPEMBER 2008
TENTANG
PERUBAHAN
KETIGA ATAS Peraturan Pemerintah Nomor 48 TAHUN 1994 TENTANG
PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK
ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
SURAT
EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR
SE-6/PJ.03/2008 TANGGAL 12 DESEMBER 2008
TENTANG
PENYAMPAIAN
Peraturan Pemerintah nomor 71 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KETIGA
ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH
DAN/ATAU BANGUNAN
Sehubungan
dengan telah ditetapkannya Peraturan Pemerintah nomor 71 TAHUN 2008
tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah nomor 48 TAHUN
1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dengan ini disampaikan
fotokopi Peraturan Pemerintah dimaksud. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan ketentuan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Besarnya
Pajak Penghasilan:
a. yang wajib dibayar oleh orang pribadi atau badan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan; atau
b. yang wajib dipungut oleh bendaharawan atau pejabat
yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar menukar
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada
Pemerintah guna melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum yang
tidak memerlukan persyaratan khusus,
adalah
sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah
Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak
yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari
jumlah bruto nilai pengalihan.
2. Rumah Sederhana sebagaimana dimaksud pada butir 1
terdiri atas Rumah Sederhana Sehat dan Rumah Inti Tumbuh, yang
mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Rumah Susun Sederhana sebagaimana dimaksud pada butir
1 adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan
yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan KM/WC
dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan
penggunaan komunal termasuk Rumah Susun Sederhana Milik, yang
mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau
pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan adalah:
a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah
Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah
yang dipecah-pecah;
b. orang pribadi atau badan yang menerima atau
memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan kepada Pemerintah guna melaksanakan pembangunan untuk
kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;
c. orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah
dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
d. badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau
bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau
e. pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
5. Bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan, pembayaran Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam butir 1 bersifat final.
6. Bagi Wajib Pajak badan, termasuk koperasi, yang usaha
pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, apabila:
a. melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
sebelum tanggal 1 Januari 2009 dan atas pengalihan hak tersebut belum
dibuatkan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah
lelang oleh pejabat yang berwenang; dan
b. penghasilan atas pengalihan hak sebagaimana dimaksud
pada huruf a telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas
penghasilan tersebut telah dilunasi,
pengenaan
pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah nomor 48
TAHUN 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79
Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah nomor 48
TAHUN 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang
Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah nomor 48 TAHUN 1994
tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2009.
8. Para Kepala Kantor Wilayah diminta untuk mengawasi
pelaksanaan Peraturan Pemerintah tersebut di atas, serta semua Kepala
Kantor agar melakukan sosialisasi kepada para Wajib Pajak di
lingkungan wilayah kerja masing-masing.
Demikian
untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 12 Desember 2008
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
DARMIN
NASUTION
SURAT
EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR
SE-80/PJ/2009 TANGGAL 27 AGUSTUS 2009
TENTANG
PELAKSANAAN
PAJAK PENGHASILAN YANG BERSIFAT FINAL ATAS PENGHASILAN DARI
PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN YANG DITERIMA ATAU
DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG USAHA POKOKNYA MELAKUKAN PENGALIHAN HAK
ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
Sehubungan
dengan banyaknya pertanyaan mengenai pelaksanaan Pajak Penghasilan
yang bersifat final (PPh Final) atas penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang
usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
(WP real estat), dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Pembayaran PPh Final atas pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan oleh WP real estat dilakukan:
a. paling
lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya
pembayaran, dalam hal pembayaran atas pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan dilakukan dengan cara angsuran;
b. sebelum
akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh
pejabat yang berwenang, dalam hal jumlah seluruh pembayaran
sebagaimana dimaksud pada huruf a kurang dari jumlah bruto nilai
pengalihan hak.
2. Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam butir
1 huruf b adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta
Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan
yang bersangkutan pada saat ditandatangani akta, keputusan,
perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan oleh pejabat yang berwenang.
3. Dalam hal pembayaran atau angsuran atas pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan sebelum 1 Januari 2009 dan
penjualan atas pengalihan tersebut belum diakui sebagai penghasilan
Wajib Pajak yang melakukan pengalihan tersebut sampai dengan 31
Desember 2008 maka PPh Final atas pembayaran atau angsuran tersebut
harus dibayar sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau
risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
4. Dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dilakukan di cabang maka pembayaran PPh dan penyampaian SPT Masa PPh
Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan tersebut dapat dilakukan oleh cabang. Namun seluruh
pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan yang dilakukan dicabang harus dikonsolidasi oleh
pusat dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.
5. Dalam hal terdapat dua atau lebih Wajib Pajak bekerja
sama membentuk Kerja Sama Operasi (KSO)/Joint Operation (JO)
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maka PPh Final
atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dibayar oleh
masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang
diterima masing-masing anggota KSO.
6. Dalam hal PPh Final sebagaimana dimaksud dalam butir
5 telah dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas
nama KSO atau salah satu anggota KSO maka SSP tersebut
dipindahbukukan ke masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian
penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO.
7. Atas pelaksanaan aturan peralihan Pasal II Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 sebagaimana diatur dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2009 tentang Pelaksanaan
Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah nomor 71 TAHUN 2008 tentang
Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994
tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditegaskan hal-hal sebagai berikut:
a. Surat
Keterangan Bebas (SKB) pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat
final dapat diterbitkan kepada Wajib Pajak Badan yang usaha pokoknya
melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (WP
Badan real estat) apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) pengalihan hak (penjualan) atas tanah dan/atau
bangunan dilakukan sebelum tanggal 1 Januari 2009;
2) penghasilan atas pengalihan hak tersebut telah
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas penghasilan
tersebut telah dilunasi;
3) permohonan diajukan oleh WP Badan real estat yang
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan disertai
lampiran berupa daftar tanah dan/atau bangunan sesuai format yang
ditetapkan yang diisi dengan lengkap meliputi nama dan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) pembeli tanah dan/atau bangunan.
b. Sehubungan
dengan nama dan NPWP pembeli yang tercantum dalam SKB sebagaimana
dimaksud pada huruf a, ditegaskan bahwa:
1) NPWP pembeli wajib dicantumkan dalam permohonan
SKB, kecuali berdasarkan ketentuan perpajakan pembeli tersebut tidak
wajib memiliki NPWP;
2) nama pembeli yang tercantum dalam permohonan SKB
adalah pembeli yang tercantum dalam Perjanjian Perikatan Jual Beli
(PPJB);
3) dalam hal terjadi perubahan PPJB sehingga WP Badan
real estat menerima atau memperoleh penghasilan dari perubahan PPJB
tersebut, maka SKB hanya dapat diterbitkan apabila WP Badan real
estat dapat membuktikan bahwa penghasilan dari perubahan PPJB
tersebut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas
penghasilan tersebut telah dilunasi.
Demikian
untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 27 Agustus 2009
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
153/PMK.03/2009 TANGGAL 29 SEPTEMBER 2009
TENTANG
PERUBAHAN
ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 187/PMK.03/2008 TENTANG TATA
CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, PELAPORAN, DAN PENATAUSAHAAN PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
sehubungan dengan telah ditetapkannya PERATURAN PEMERINTAH nomor 40
TAHUN 2009 tentang Perubahan atas PERATURAN PEMERINTAH nomor 51 TAHUN
2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008
tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, dan
Penatausahaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. PERATURAN PEMERINTAH nomor 51 TAHUN 2008 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4881) sebagaimana telah
diubah dengan PERATURAN PEMERINTAH nomor 40 TAHUN 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 83, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5014);
4. Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008
tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, dan
Penatausahaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 187/PMK.03/2008 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN,
PELAPORAN, DAN PENATAUSAHAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
USAHA JASA KONSTRUKSI.
Pasal I
Beberapa
ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008
tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, dan
Penatausahaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan
Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal
1 Agustus 2008 berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak
yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, apabila:
1) Penyedia jasa telah dikenakan pemotongan pajak
berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan oleh Pengguna Jasa; dan
2) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1)
telah dipindahbukukan menjadi Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 tentang
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, dan Penatausahaan Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi,
atas
bukti pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana
dimaksud pada angka 2) diubah menjadi bukti pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 23 yang dilakukan melalui perubahan bukti
pemotongan.
b. Untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak
yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2008 yang telah
dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan PERATURAN PEMERINTAH nomor 51 TAHUN 2008 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, atas bukti
pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut diubah
menjadi bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 yang dilakukan
melalui perubahan bukti pemotongan sebesar tarif berdasarkan
ketentuan Pasal 23 Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
c. Untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak
yang dilakukan setelah tanggal 31 Desember 2008 dengan berita acara
serah terima penyelesaian pekerjaan yang ditandatangani oleh Penyedia
Jasa dan Pengguna Jasa sampai dengan tanggal 31 Desember 2008 dan
telah dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan
PERATURAN PEMERINTAH nomor 51 TAHUN 2008 tentang Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, atas bukti pemotongan
Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut diubah menjadi bukti
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 yang dilakukan melalui
perubahan bukti pemotongan sebesar tarif berdasarkan ketentuan Pasal
23 Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
(2) Dalam hal terdapat kelebihan pemotongan Pajak
Penghasilan yang bersifat final setelah perubahan bukti pemotongan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kelebihan pemotongan Pajak
Penghasilan yang bersifat final tersebut dikembalikan dengan tata
cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang melalui permohonan secara tertulis yang disampaikan oleh
Penyedia Jasa kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Penyedia Jasa
terdaftar.
(3) Pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final
yang dilakukan melalui mekanisme penyetoran sendiri oleh Penyedia
Jasa berdasarkan PERATURAN PEMERINTAH nomor 51 TAHUN 2008 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, dapat
dipindahbukukan.
2. Diantara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 3 (tiga)
pasal, yakni Pasal 8A, Pasal 8B dan Pasal 8C yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 8A
(1) Untuk melakukan perubahan bukti pemotongan dari
Pajak Penghasilan yang bersifat final menjadi Pajak Penghasilan Pasal
23 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Penyedia Jasa
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak tempat Penyedia Jasa terdaftar dengan menggunakan format sesuai
Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
(2) Permohonan untuk melakukan perubahan bukti
pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
a. asli dan 2 (dua) lembar fotokopi bukti pemotongan
Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan
b. data atau keterangan pendukung yang diperlukan untuk
menunjukkan bahwa atas bukti pemotongan yang akan diubah berkaitan
dengan penghasilan yang seharusnya dipotong Pajak Penghasilan Pasal
23, berupa:
1) fotokopi
kontrak dan dokumen pembayaran; atau
2) fotokopi kontrak, dokumen pembayaran, dan berita
acara serah terima penyelesaian pekerjaan.
(3) Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat Penyedia Jasa terdaftar menyelesaikan
permohonan perubahan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima lengkap.
(4) Dalam
hal permohonan perubahan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disetujui atas seluruh atau sebagian bukti pemotongan,
setiap lembar bukti pemotongan yang disetujui tersebut harus dibubuhi
tulisan atau cap "DIUBAH MENJADI BUKTI PEMOTONGAN PASAL 23
DENGAN TARIF SEBESAR ....% SEJUMLAH Rp …………. BERDASARKAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR ..../PMK.03/2009" dan
divalidasi oleh Kantor Pelayanan Pajak.
(5) Atas
bukti pemotongan yang telah dibubuhi tulisan atau cap sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Kantor Pelayanan Pajak tempat Penyedia Jasa
terdaftar melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. memberikan
asli lembar ke-1 bukti pemotongan kepada Penyedia Jasa;
b. menyatukan 1 (satu) lembar fotokopi bukti
pemotongan dengan berkas SPT Tahunan Penyedia Jasa yang bersangkutan;
dan
c. mengirimkan 1 (satu) lembar fotokopi bukti pemotongan
kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengguna Jasa (pemotong pajak)
terdaftar untuk kemudian disatukan dengan berkas SPT Masa PPh Pasal 4
ayat (2) Pengguna Jasa.
(6) Atas permohonan perubahan bukti pemotongan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak disetujui, Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat Penyedia Jasa terdaftar harus
menyampaikan pemberitahuan penolakan perubahan bukti pemotongan
kepada Wajib Pajak dengan format sesuai Lampiran II Peraturan Menteri
Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri Keuangan ini.
(7) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) terlewati dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Penyedia
Jasa terdaftar belum menyelesaikan permohonan perubahan bukti
pemotongan, permohonan perubahan bukti pemotongan tersebut dianggap
disetujui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Penyedia Jasa
terdaftar harus menyelesaikan permohonan perubahan bukti pemotongan
dimaksud paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir.
Pasal 8B
Bagi
Pengguna Jasa yang telah melakukan pemotongan Pajak Penghasilan atas
pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak untuk kontrak yang
ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008 sesuai dengan ketentuan
perpajakan yang berlaku pada saat ditandatanganinya kontrak tersebut
dan telah menerbitkan bukti pemotongan serta telah melaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Masa, atas bukti pemotongan tersebut tidak perlu
dilakukan perubahan bukti pemotongan dan dianggap sudah benar.
Pasal 8C
Bagi
Wajib Pajak yang hanya memperoleh penghasilan dari usaha jasa
konstruksi, sejak Tahun Pajak 2009 tidak diwajibkan melakukan
pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai peraturan
perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
Pasal II
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 29 September 2009
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 29 September 2009
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
ANDI
MATTALATTA
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 316
SURAT
EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR
SE-81/PJ/2010 TANGGAL 29 JULI 2010
TENTANG
PETUNJUK
PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-26/PJ/2010
TENTANG TATA CARA PENELITIAN SURAT SETORAN PAJAK ATAS PENGHASILAN
DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
Sehubungan
dengan telah diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-26/PJ/2010 tentang Tata Cara Penelitian Surat Setoran Pajak atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dengan
ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Penelitian SSP atas penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan dilakukan oleh KPP Pratama yang wilayah
kerjanya meliputi letak tanah dan/atau bangunan yang dialihkan
haknya.
2. Pelaksanaan kegiatan penelitian SSP Pengalihan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan pada KPP Pratama adalah sebagai berikut:
a. Penanganan
berkas di TPT
1) Petugas TPT mengecek kelengkapan dokumen
penyampaian formulir penelitian SSP atas penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan, yang terdiri dari:
a) Surat Setoran Pajak Lembar ke-1 yang sudah tertera
Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi
Bank/Nomor Transaksi Pos/Nomor Penerimaan Potongan serta foto
kopinya;
b) foto kopi Surat Pemberitahuan Pajak terutang
(SPPT) atau Surat Tanda Terima Setoran/Struk ATM bukti pembayaran
Pajak Bumi dan Bangunan/bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan
lainnya atas tanah dan/atau bangunan yang dialihkan haknya.
c) foto kopi faktur/bukti penjualan atau bukti
penerimaan uang dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dilakukan dengan cara penjualan; dan
d) foto kopi surat kuasa dan kartu identitas yang
diberi kuasa dalam hal pengajuan formulir penelitian Surat Setoran
Pajak dikuasakan.
2) Atas Penyampaian formulir penelitian SSP yang telah
dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 1), diterima dan
diberikan tanda terima kepada Wajib Pajak.
3) Berkas penelitian SSP yang telah diterima
selanjutnya diteruskan ke Seksi Pelayanan.
b. Penanganan
berkas oleh Seksi Pelayanan
Kegiatan
penelitian SSP dilakukan oleh Petugas Peneliti SSP yang ditunjuk dan
pengaturannya diserahkan kepada Kepala KPP Pratama yang bersangkutan
dengan koordinasi Kepala Seksi Pelayanan.
1) Petugas Peneliti SSP meneliti kebenaran isian pada
formulir penelitian SSP. Unsur-unsur yang diteliti antara lain:
a) Data
Modul Penerimaan Negara (MPN)
Petugas Peneliti SSP mengecek Nomor Transaksi
Penerimaan Negara (NTPN) dan mencocokkan jumlah pembayaran Pajak
Penghasilan (PPh) yang tercantum dalam SSP lembar ke-1 dengan data
MPN. Dalam hal diperlukan, bisa melakukan konfirmasi ke Bank/Pos
Persepsi yang bersangkutan.
b) Nomor
Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (NOP)
Petugas Peneliti SSP mencocokkan NOP yang
dicantumkan dalam Surat Setoran Pajak dengan NOP yang tercantum dalam
foto kopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Tanda
Terima Setoran (STTS)/bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
lainnya.
c) Besarnya
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bumi per meter persegi
Petugas peneliti SSP meneliti NJOP bumi per meter
persegi yang dialihkan haknya sesuai dengan Basis Data PBB.
d) Besarnya
NJOP bangunan per meter persegi
Petugas Peneliti SSP meneliti NJOP Bangunan per
meter persegi yang dialihkan haknya sesuai dengan Basis Data PBB.
e) Penghitungan
PPh
Petugas Peneliti SSP meneliti kebenaran penghitungan
dasar pengenaan PPh dengan membandingkan nilai pengalihan sebenarnya
sebagaimana tercantum dalam foto kopi faktur/bukti penjualan atau
bukti penerimaan uang dengan NJOP.
2) Dalam hal diperlukan penelitian lapangan, Kepala
KPP Pratama menerbitkan Surat Tugas penelitian lapangan.
3. Dalam hal dilakukan penelitian lapangan, penelitian
tersebut dilaksanakan oleh Pejabat Fungsional Penilai atau petugas
lain yang ditunjuk.
4. Kepala KPP Pratama dapat menetapkan kriteria
dilakukannya penelitian lapangan dengan tetap mempertimbangkan
ketentuan jangka waktu penyelesaian penelitian SSP, misalnya terdapat
bangunan yang belum masuk dalam basis data PBB.
5. Dalam hal berdasarkan penelitian ternyata PPh dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan belum dibayar ke Kas
Negara atau PPh yang telah dibayar oleh Wajib Pajak masih kurang dari
yang seharusnya dibayar, maka:
a. SSP
lembar ke-1 dan fotokopinya tidak dibubuhkan stempel penelitian SSP;
b. berkas
penelitian SSP yang disampaikan oleh Wajib Pajak dikembalikan
(kecuali formulir penelitian SSP dan foto kopi SSP) disertai surat
pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
6. Terhadap SSP yang sudah diteliti, diberikan stempel
dengan bentuk stempel sebagaimana ditetapkan pada Lampiran 3
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2010 tentang Tata
Cara Penelitian Surat Setoran Pajak atas Penghasilan dari Pengalihan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
7. Apabila pembayaran PPh dari pengalihan hak atas satu
unit tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan lebih dari satu SSP
(misal karena pembayaran dilakukan secara angsuran), maka:
a. stempel
penelitian SSP dibubuhkan pada SSP yang terakhir dan foto kopinya;
b. dibuat
Rekapitulasi Data SSP.
8. Format Buku Register Penelitian SSP ditetapkan
sebagaimana Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
9. Format Rekapitulasi Data SSP ditetapkan sebagaimana
Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
10. Prosedur Penelitian Surat Setoran Pajak atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan,
ditetapkan sebagaimana Lampiran III Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak ini.
11. Apabila penyampaian formulir penelitian SSP oleh
Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan atau kuasanya bersamaan dengan penyampaian formulir
penelitian SSB oleh pihak yang memperoleh hak atas tanah dan/atau
bangunan atau kuasanya, maka proses penelitian SSP dan penelitian SSB
dapat dilakukan bersamaan.
12. Dalam rangka pelaksanaan dan pengawasan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2010 tentang Tata Cara
Penelitian Surat Setoran Pajak atas Penghasilan dari Pengalihan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan, diminta kepada seluruh Kantor Wilayah
untuk melakukan:
a. sosialisasi
ketentuan tentang penelitian SSP kepada PPAT dan juga perusahaan real
estate;
b. koordinasi
dengan Kantor Pertanahan/Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
setempat;
c. pengawasan
terhadap pelaksanaan penelitian SSP yang dilakukan KPP yang berada di
wilayah kerjanya.
Demikian
untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 29 Juli 2010
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
PERATURAN
DIRJEN PAJAK
NOMOR
PER-39/PJ/2010 TANGGAL 09 AGUSTUS 2010
TENTANG
PERUBAHAN
ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-160/PJ/2005 TENTANG
TATA CARA PENERBITAN SURAT KETERANGAN BEBAS (SKB) PEMOTONGAN PAJAK
PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO
SERTIFIKAT BANK INDONESIA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH DANA PENSIUN
YANG PENDIRIANNYA TELAH DISAHKAN OLEH MENTERI KEUANGAN
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
bahwa
untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan tertib
administrasi perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-160/PJ/2005 Tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas
(SKB) Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan
serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang Diterima atau Diperoleh
Dana Pensiun yang Pendiriannya Telah Disahkan oleh Menteri Keuangan;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
6. Peraturan Pemerintah nomor 131 TAHUN 2000 tentang
Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto
Sertifikat Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 236, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4039);
7. Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang
Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4988);
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.03/2009
tentang Bidang Penanaman Modal tertentu yang Memberikan Penghasilan
kepada Dana Pensiun yang Dikecualikan sebagai Objek Pajak;
9. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001
tentang Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan
serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia;
10. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-160/PJ/2005 Tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas
(SKB) Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan
serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang Diterima atau Diperoleh
Dana Pensiun yang Pendiriannya Telah Disahkan oleh Menteri Keuangan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK NOMOR PER-160/PJ/2005 TENTANG TATA CARA PENERBITAN
SURAT KETERANGAN BEBAS (SKB) PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA
DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA YANG
DITERIMA ATAU DIPEROLEH DANA PENSIUN YANG PENDIRIANNYA TELAH DISAHKAN
OLEH MENTERI KEUANGAN.
Pasal I
Beberapa
ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-160/PJ/2005 Tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas
(SKB) Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan
serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang Diterima atau Diperoleh
Dana Pensiun Yang Pendiriannya Telah Disahkan oleh Menteri Keuangan,
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan
Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 selengkapnya berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1
Dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:
1. Deposito
adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk deposito
berjangka, sertifikat deposito dan deposit on call baik dalam mata
uang rupiah maupun dalam mata uang asing (valuta asing) yang
ditempatkan pada atau diterbitkan oleh bank di Indonesia yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan
prinsip syariah.
2. Tabungan
adalah simpanan pada bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah dengan
nama dan dalam bentuk apapun, termasuk giro, yang penarikannya
dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh
masing-masing bank.
2. Ketentuan
Pasal 2 diubah sehingga Pasal 2 selengkapnya berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 2
(1) Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan
serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang diterima atau diperoleh
Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan,
tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan, sepanjang dananya
diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
(2) Dipersamakan dengan penghasilan berupa bunga
deposito dan tabungan adalah penghasilan berupa imbalan atau
penghasilan sejenis lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun dari
deposito dan tabungan.
(3) Dipersamakan dengan penghasilan berupa diskonto
Sertifikat Bank Indonesia adalah penghasilan berupa imbalan atau
penghasilan sejenis lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun dari
Sertifikat Bank Indonesia dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah.
(4) Pengecualian pemotongan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan Surat
Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga
Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Dana
Pensiun terdaftar sebagai Wajib Pajak.
(5) Atas bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
diterima atau diperoleh Dana Pensiun harus dimasukkan ke dalam
rekening Dana Pensiun yang bersangkutan.
3. Ketentuan
Pasal 3 ayat (2) diubah sehingga Pasal 3 selengkapnya berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Dalam hal dana Pensiun mengajukan permohonan SKB
untuk pertama kali, permohonan SKB Pemotongan Pajak Penghasilan atas
Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI harus diajukan paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja sebelum berlakunya SKB sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
ditandatangani oleh Pengurus yang berkompeten dari Dana Pensiun yang
bersangkutan dengan menggunakan Formulir Permohonan SKB Pemotongan
Pajak Penghasilan sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini, dengan dilampiri:
a. fotokopi Keputusan Menteri Keuangan tentang
Pengesahan Pendirian Dana Pensiun;
b. fotokopi
Neraca;
c. fotokopi
Laporan Sisa Hasil Usaha (Laporan Laba Rugi);
d. fotokopi
Laporan Arus Kas dan Bank;
e. fotokopi
Laporan Investasi; dan
f. daftar sertifikat/bilyet/buku deposito, tabungan,
Sertifikat Bank Indonesia, dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah.
(3) Dalam
hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
selain pengurus yang berkompeten dari Dana Pensiun yang bersangkutan,
maka harus dilengkapi dengan Surat Kuasa Khusus yang dibubuhi meterai
cukup.
4. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 4A yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
(1) Dalam hal Dana Pensiun melakukan penanaman modal
baru, memindahkan penanaman modalnya ke bank lain, atau mengkonversi
jenis penanaman modalnya pada pertengahan masa berlakunya SKB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Dana Pensiun tersebut
harus mengajukan permohonan SKB Pemotongan Pajak Penghasilan atas
Bunga Deposito, Tabungan dan Diskonto SBI dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. permohonan diajukan hanya untuk penanaman modal baru,
penanaman modal yang dipindahkan, dan/atau penanaman modal yang
dikonversikan;
b. permohonan diajukan dengan menggunakan Formulir
permohonan SKB Pemotongan Pajak Penghasilan beserta lampirannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2); dan
c. permohonan diajukan paling lambat 14 (empat belas)
hari kerja setelah melakukan penanaman modal baru, memindahkan
penanaman modalnya ke bank lain, atau mengkonversi jenis penanaman
modalnya.
(2) SKB Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito
dan Tabungan serta Diskonto SBI yang diterbitkan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal dana pensiun
melakukan penanaman modal baru, memindahkan penanaman modalnya ke
bank lain, atau mengkonversi jenis penanaman modalnya sampai dengan:
a. atas permohonan yang diajukan pada pertengahan masa 1
Maret sampai dengan 31 Agustus, berlaku sampai dengan 31 Agustus;
atau
b. atas permohonan yang diajukan pada pertengahan masa 1
September sampai dengan 28 Februari, berlaku sampai dengan 28
Februari.
(3) Apabila permohonan SKB Pemotongan Pajak Penghasilan
atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI diajukan setelah
lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c maka
permohonan SKB tersebut mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1).
5. Ketentuan
Pasal 10 diubah sehingga Pasal 10 selengkapnya berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 10
Pengajuan
kembali SKB Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan
Tabungan serta Diskonto SBI yang akan habis masa berlakunya dilakukan
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sebelum habis masa berlaku
SKB Pemotongan Pajak Penghasilan yang bersangkutan.
6. Mengubah isi Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-160/PJ./2005 Tentang Tata Cara Penerbitan Surat
Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga
Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang
Diterima atau Diperoleh Dana Pensiun yang Pendiriannya Telah Disahkan
oleh Menteri Keuangan, sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan pada
Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
7. Mengubah isi Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-160/PJ./2005 Tentang Tata Cara Penerbitan Surat
Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga
Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang
Diterima atau Diperoleh Dana Pensiun yang Pendiriannya Telah Disahkan
oleh Menteri Keuangan, sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan pada
Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
Pasal II
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 9 Agustus 2010
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
LAMPIRAN I
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER-39/PJ/2010
TANGGAL : 9
AGUSTUS 2010
KEMENTERIAN
KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT
JENDERAL PAJAK
KANTOR
WILAYAH ……………………………..
KANTOR
PELAYANAN PAJAK …………………….
FORMULIR PERMOHONAN SURAT KETERANGAN
BEBAS (SKB) PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN
TABUNGAN SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH DANA PENSIUN YANG PENDIRIANNYA TELAH DISAHKAN OLEH
MENTERI KEUANGAN
|
NAMA WAJIB
PAJAK : …………………………………………………………………………………………..…
NPWP : |__|__|
|__|__|__| |__|__|__| |__| |__|__|__| |__|__|__|
NOMOR
KMK : …………………………………………………………………………………………..…
TANGGAL
KMK : …………………………………………………………………………………………..…
(Pengesahan
Pendirian Dana Pensiun)
dengan ini
memohon untuk diberikan Surat Keterangan Bebas Pemotongan Pajak
Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang ditempatkan pada atau
diterbitkan oleh Bank …………………. Untuk periode bulan
………………… tahun ………………….. sampai dengan
bulan …………………… tahun ……………………..
Dana yang
ditempatkan tersebut di atas diperoleh dari sumber pendapatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992
tentang Dana Pensiun.
………….,……………………………
Wajib
Pajak/Kuasa Wajib Pajak,
………………………………………..
Lampiran:
1. Foto
copy Keputusan Menteri Keuangan tentang Pengesahan Pendirian Dana
Pensiun;
2. Foto
copy Neraca;
3. Foto
copy Laporan Rugi/Laba;
4. Foto
copy Laporan Investasi;
5. Foto
copy Arus Kas
6. Daftar
sertifikat/bilyet/buku deposito, tabungan dan Sertifikat Bank
Indonesia.
Lembar ke-1 : untuk KPP
Lembar ke-2 : untuk Bank/Pemotong
Pajak
Lembar ke-3 : arsip pemohon
|
F.1.1.23.07
LAMPIRAN II
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER-39/PJ/2010
TANGGAL : 9
AGUSTUS 2010
KEMENTERIAN
KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT
JENDERAL PAJAK
KANTOR
WILAYAH ……………………………..
KANTOR
PELAYANAN PAJAK …………………….
SURAT KETERANGAN BEBAS (SKB)
PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN
SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA YANG DITERIMA ATAU
DIPEROLEH DANA PENSIUN YANG PENDIRIANNYA TELAH DISAHKAN OLEH
MENTERI KEUANGAN
|
NOMOR : ………………….
TANGGAL : ………………….
Kepala
Kantor Pelayanan Pajak ……………………………………….,
dengan ini menerangkan bahwa Dana Pensiun tersebut dibawah ini:
NAMA WAJIB
PAJAK : …………………………………………………………………………………………..…
ALAMAT : …………………………………………………………………………………………..…
NPWP : |__|__|
|__|__|__| |__|__|__| |__| |__|__|__| |__|__|__|
NOMOR
KMK : …………………………………………………………………………………………..…
TANGGAL
KMK : …………………………………………………………………………………………..…
(Pengesahan
Pendirian Dana Pensiun)
Tidak
dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan
Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah nomor 131 TAHUN 2000 tentang
Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta diskonto
Sertifikat Bank Indonesia dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
51/KMK.04/2004 serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor
234/PMK.03/2009.
SKB
Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito, Tabungan dan
Diskonto SBI berlaku untuk bunga deposito dan tabungan serta diskonto
SBI yang ditempatkan pada atau diterbitkan oleh Bank ……………………………..
sebagaimana berikut ini:
No.
|
NOMOR REKENING
DEPOSITO/TABUNGAN/SBI/SBIS
|
JUMLAH
(Rp)
|
|
…
|
|
|
…
|
|
Surat
Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan Pajak Penghasilan ini berlaku mulai
tanggal ……………………………. sampai dengan tanggal
………………………….........
Apabila
dikemudian hari terbukti bahwa dana yang ditempatkan berasal bukan
dari sumber pendapatan sebagaimana tersebut dalam Pasal 29
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, maka Surat
Keterangan Bebas Pemotongan Pajak Penghasilan ini dinyatakan tidak
berlaku dan Wajib Pajak tersebut di atas wajib membayar pajak yang
terutang berikut sanksi sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
…………………,……………………………
Kepala
Kantor Pelayanan Pajak,
…………………………………………………
…………………………………………………
NIP.
…………………………………………
Lembar ke-1 : untuk Wajib
Pajak/Kuasa Wajib Pajak
Lembar ke-2 : untuk Bank melalui
Wajib Pajak
Lembar ke-3 : untuk arsip Kantor
Pelayanan Pajak
|
F.1.1.23.08
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
85/PMK.03/2011 TANGGAL 23 MEI 2011
TENTANG
TATA CARA
PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA
OBLIGASI
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 PERATURAN PEMERINTAH nomor 16
TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga
Obligasi, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata
Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas
Bunga Obligasi;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
beberapa kali telah diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 33, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4982);
4. Keputusan
Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN
PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA OBLIGASI.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Bunga Obligasi adalah imbalan yang diterima atau
diperoleh pemegang Obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto.
2. Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara,
yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak berupa Bunga Obligasi dikenai pemotongan Pajak Penghasilan yang
bersifat final.
(2) Pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila penerima
Bunga Obligasi adalah:
a. Wajib Pajak dana pensiun yang
pendirian/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf
h Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana beberapa kali telah diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008; dan
b. Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia.
Pasal 3
Besarnya
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1):
a. atas
bunga Obligasi dengan kupon (interest bearing debt securities)
sebesar:
1) 15% (lima belas persen), bagi Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap;
2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif
berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bagi Wajib Pajak
luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan
(holding period) Obligasi;
b. atas
diskonto Obligasi dengan kupon (interest bearing debt securities)
sebesar:
1) 15% (lima belas persen), bagi Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap;
2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif
berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bagi Wajib Pajak
luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari
selisih lebih harga jual pada saat transaksi atau nilai nominal pada
saat jatuh tempo Obligasi di atas harga perolehan Obligasi, tidak
termasuk bunga berjalan (accrued interest);
c. atas
diskonto Obligasi tanpa bunga (non-interest bearing debt securities)
sebesar:
1) 15% (lima belas persen), bagi Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap;
2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif
berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bagi Wajib Pajak
luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari
selisih lebih harga jual pada saat transaksi atau nilai nominal pada
saat jatuh tempo Obligasi di atas harga perolehan Obligasi;
d. atas bunga dan/atau diskonto Obligasi yang diterima
dan/atau diperoleh Wajib Pajak Reksadana yang terdaftar pada Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan sebesar:
1) 0%
(nol persen) untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010;
2) 5%
(lima persen) untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013;
3) 15%
(lima belas persen) untuk tahun 2014 dan seterusnya.
Pasal 4
(1) Pemotongan
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dilakukan oleh:
a. penerbit
Obligasi (emiten) atau kustodian selaku agen pembayaran yang
ditunjuk, atas:
1) bunga dan/atau diskonto yang diterima atau diperoleh
pemegang Obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo Bunga Obligasi;
dan
2) diskonto yang diterima atau diperoleh pemegang
Obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo Obligasi;
b. perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku perantara,
atas bunga dan/atau diskonto Obligasi yang diterima atau diperoleh
penjual Obligasi pada saat transaksi; dan/atau
c. perusahaan efek, dealer, bank, dana pensiun, dan
reksadana, selaku pembeli Obligasi langsung tanpa melalui perantara,
atas bunga dan/atau diskonto Obligasi yang diterima atau diperoleh
penjual Obligasi pada saat transaksi.
(2) Dalam hal penjualan Obligasi dilakukan secara
langsung tanpa melalui perantara kepada pihak-pihak lain selain
pemotong pajak tersebut pada ayat (1) huruf c, kustodian atau
sub-registry selaku pihak-pihak yang melakukan pencatatan mutasi hak
kepemilikan Obligasi, wajib melakukan pemotongan dengan cara memungut
Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang dari penjual
Obligasi sebelum mutasi hak kepemilikan dilakukan.
(3) Dalam hal penjualan Obligasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak memerlukan pencatatan mutasi hak kepemilikan
Obligasi melainkan hanya atas unjuk, pemotongan Pajak Penghasilan
yang bersifat final dilakukan oleh penerbit Obligasi (emiten) atau
kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayaran, dari pembeli/pemegang
Obligasi pada saat:
a. jatuh tempo bunga, untuk penghasilan bunga yang
dihitung berdasarkan masa kepemilikan penuh sejak tanggal jatuh tempo
bunga terakhir;
b. jatuh tempo Obligasi, untuk penghasilan diskonto yang
dihitung berdasarkan masa kepemilikan penuh sejak tanggal penerbitan
perdana Obligasi.
(4) Dalam hal dapat dibuktikan bahwa penjual Obligasi
atas unjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah pihak yang tidak
diberlakukan pemotongan Pajak Penghasilan atau pihak lain yang telah
dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan, pemotongan Pajak Penghasilan
yang bersifat final atas bunga pada saat jatuh tempo bunga atau
diskonto pada saat jatuh tempo Obligasi, dihitung berdasarkan masa
kepemilikan penuh dikurangi dengan masa kepemilikan penjual Obligasi
tersebut.
Pasal 5
(1) Penjual Obligasi wajib memberitahukan kepada
pemotong pajak mengenai harga perolehan dan tanggal perolehan
Obligasi yang sebenarnya, untuk keperluan penghitungan bunga dan/atau
diskonto yang menjadi dasar pemotongan Pajak Penghasilan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan menyerahkan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Final
Pasal 4 ayat (2) dari pembelian Obligasi tersebut sebelumnya.
(3) Harga perolehan dan tanggal perolehan Obligasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan dengan cara
mendahulukan harga perolehan dan tanggal perolehan Obligasi sejenis
yang diperoleh pertama (metode First In First Out).
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
berlaku bagi penjual Obligasi yang tidak diberlakukan pemotongan
Pajak Penghasilan.
(5) Dalam hal penjual Obligasi tidak memberitahukan
harga perolehan dan tanggal perolehan Obligasi yang sebenarnya kepada
pemotong pajak, maka atas penghasilan bunga dan/atau diskonto yang
tidak atau kurang diberitahukan, dikenai Pajak Penghasilan
sebagaimana mestinya dalam tahun diketahuinya ketidakbenaran dimaksud
ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga.
Pasal 6
Pemotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib memberikan
Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) kepada
orang pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan berupa Bunga
Obligasi.
Pasal 7
(1) Pemotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 wajib menyetor Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan, paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
setelah bulan dilakukan pemotongan pajak.
(2) Apabila tanggal jatuh tempo penyetoran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertepatan dengan hari libur termasuk hari
Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya.
(3) Penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
Pasal 8
(1) Pemotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 wajib menyampaikan laporan tentang pemotongan dan
penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 7 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan
dilakukan pemotongan pajak.
(2) Apabila batas akhir pelaporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau
hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
(3) Pelaporan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2).
Pasal 9
Tata cara
penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi adalah
sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri
Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 10
Pada saat
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 121/KMK.03/2002 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang
Diperdagangkan dan atau Dilaporkan Perdagangannya di Bursa Efek,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 11
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta,
pada
tanggal : 23 Mei 2011
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 23 Mei 2011
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 307
LAMPIRAN
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN NOMOR 85/PMK.03/2011 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN,
PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA OBLIGASI
MENTERI
KEUANGAN
REPUBLIK
INDONESIA
CONTOH
PENGHITUNGAN MENGENAI TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK
PENGHASILAN
ATAS BUNGA OBLIGASI
1. Pada tanggal 1 Juli 2011, PT. ABC (emiten)
menerbitkan Obligasi dengan kupon (interest bearing bond) sebagai
berikut :
- Nilai nominal Rp10.000.000,00 per lembar.
- Jangka waktu Obligasi 5 tahun (jatuh tempo tanggal 1
Juli 2016).
- Bunga tetap (fixed rate) sebesar 16% per tahun, jatuh
tempo bunga setiap tanggal 30 Juni dan 31 Desember.
- Penerbitan perdana tercatat di Bursa Efek Indonesia
(BEI).
PT.
XYZ (investor) pada saat penerbitan perdana membeli 10 lembar
Obligasi dengan harga di bawah nilai nominal (at discount), yaitu
sebesar Rp9.000.000,00 per lembar.
Penghitungan
bunga dan Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh final) yang
terutang oleh PT. XYZ pada saat jatuh tempo bunga tanggal 31 Desember
2011 adalah sebagai berikut:
- bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10
= Rp8.000.000,00
- PPh final = 15% x Rp8.000.000,00 = Rp1.200.000,00
dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk
sebagai agen pembayaran (cash settlement).
Keterangan
:
Dalam
kenyataannya, harga perolehan Obligasi dengan kupon (interest bearing
bond) pada saat penerbitan perdana tidak harus selalu sama dengan
nilai nominalnya. Pembeli bisa memperoleh Obligasi dengan harga di
bawah nilai nominal (at discount) atau di atas nilai nominal (at
premium). Pada hakekatnya selisih harga beli di bawah atau di atas
nilai nominal tersebut merupakan penyesuaian tingkat bunga Obligasi
yang diperhitungkan ke dalam harga perolehan.
Apabila
dalam contoh di atas investor atau pembeli Obligasi adalah Wajib
Pajak Reksadana maka penghitungan PPh final atas bunga yang diperoleh
pada saat jatuh tempo tanggal 31 Desember 2011 adalah sebagai
berikut:
- bunga = (6/12
x 16% x Rp10.000.000,00) x 10
= Rp8.000.000,00
- PPh
final = 5% x Rp8.000.000,00
= Rp400.000,00
2. Pada tanggal 31 Maret 2012, PT. XYZ menjual seluruh
Obligasi yang dimilikinya kepada PT. PQR melalui perusahaan efek PT.
MNO Sekuritas di over the counter (OTC), dengan harga jual
Rp10.400.000,00 per lembar termasuk bunga berjalan.
Penghitungan
bunga berjalan, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh PT. XYZ
pada saat penjualan Obligasi tanggal 31 Maret 2012 adalah sebagai
berikut :
- bunga
berjalan = (3/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10
= Rp4.000.000,00
- diskonto = [(Rp10.400.000,00
- Rp400.000,00) - Rp9.000.000,00] x 10
= Rp10.000.000,00
karena
dikenakan PPh final dengan tarif yang sama, bunga berjalan dan
diskonto dapat dihitung sekaligus yaitu :
- bunga
berjalan dan diskonto = (Rp10.400.000,00 - Rp9.000.000,00) x 10
= 14.000.000,00
- PPh
final = 15% x Rp14.000.000,00 = Rp2.100.000,00
= dipotong oleh PT. MNO Sekuritas selaku perantara.
3. PT. PQR memiliki Obligasi yang dibelinya dari PT. XYZ
tersebut hingga tanggal 31 Desember 2014. Maka pada setiap tanggal
jatuh tempo bunga selama masa kepemilikan Obligasi tersebut, PT. PQR
terutang PPh final sebesar 15% atas bunga yang diterima atau
diperolehnya (lihat contoh 1) yang dipotong oleh emiten atau
kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran.
4. Pada tanggal 31 Desember 2014, PT. PQR setelah
menerima bunga dari emiten menjual seluruh Obligasi yang dimilikinya
kepada PT. CDE melalui Bank Pundi Nasional selaku perantara dengan
harga jual Rp10.500.000,00 per lembar.
Penghitungan
bunga, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh PT. PQR pada saat
jatuh tempo bunga atau saat penjualan Obligasi tanggal 31 Desember
2014 adalah sebagai berikut:
- bunga = (6/12
x 16% x Rp10.000.000,00) x 10
= Rp8.000.000,00
- PPh
final atas bunga = 15% x Rp8.000.000,00 = Rp1.200.000,00
= dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk
sebagai agen pembayaran.
- diskonto = (Rp10.500.000,00
- Rp10.000.000,00) x 10
= Rp5.000.000,00
- PPh
final atas diskonto = 15% x Rp5.000.000,00 = Rp750.000,00
= dipotong oleh Bank Pundi Nasional selaku perantara.
Keterangan:
Pengertian
diskonto dalam peraturan ini tidak hanya terbatas pada realisasi
selisih harga perolehan perdana di bawah (at discount) nilai nominal
Obligasi, melainkan mencakup selisih lebih harga jual di atas harga
perolehan Obligasi.
5. Pada tanggal 31 Mei 2016, PT. CDE menjual seluruh
Obligasi yang dimilikinya kepada Dana Pensiun Sejahtera Mandiri
(telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan) langsung tanpa melalui
perantara dengan harga jual Rp10.666.667,00 per lembar termasuk
bunga.
Penghitungan
bunga berjalan, diskonto, dan PPh yang terutang oleh PT. CDE pada
saat penjualan Obligasi tanggal 31 Mei 2016 adalah sebagai berikut :
- bunga
berjalan = (5/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10
= Rp6.666.670,00
- diskonto = [(Rp10.666.667,00
- Rp666.667,00) - Rp10.500.000,00] x 10
= (Rp5.000.000,00)
diskonto
negatif atau rugi.
Perolehan
diskonto negatif atau rugi tidak dapat diperhitungkan dengan
penghasilan bunga berjalan. PPh terutang yang bersifat final karena
penjualan Obligasi, sebagai berikut:
PPh
Final = 15% X Rp6.666.670,00
= Rp1.000.001,00
Keterangan:
Meskipun
penjualan Obligasi tidak dilakukan melalui perantara dan tidak
dilaporkan ke bursa, dana pensiun sebagai pembeli wajib melakukan
pemotongan pajak. Ketentuan yang sama juga berlaku dalam hal
pembelian langsung dilakukan oleh perusahaan efek, bank, dan reksa
dana selaku investor.
6. Pada tanggal 1 Juli 2016 (jatuh tempo Obligasi), Dana
Pensiun Sejahtera Mandiri menerima pelunasan seluruh Obligasi yang
dimilikinya beserta imbalan bunga sesuai masa kepemilikan (1 bulan)
dari PT. ABC, emiten Obligasi tersebut.
Penghitungan
bunga, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh Dana Pensiun
Sejahtera Mandiri pada saat jatuh tempo/ pelunasan Obligasi tanggal 1
Juli 2016 adalah sebagai berikut:
- bunga = (1/12
x 16% x Rp10.000.000,00) x 10
= Rp1.333.330,00
- diskonto = (Rp10.000.000,00
- Rp10.000.000,00) x 10
= nihil.
- PPh final tidak terutang oleh dana pensiun yang
memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri
Keuangan ini.
7. Pada tanggal 1 Januari 2011, PT. ABC menerbitkan
Obligasi tanpa bunga (non-interest bearing debt securitiest)
berjangka waktu 10 tahun (jatuh tempo tanggal 1 Januari 2021) dengan
nilai nominal sebesar Rp10.000.000,00. Penerbitan perdana Obligasi
tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
PT.
GHI membeli 100 lembar Obligasi tanpa bunga tersebut dengan harga
perdana sebesar Rp6.000.000,00 per lembar.
Pada
tanggal 31 Agustus 2014, PT. GHI menjual 50 lembar Obligasi tersebut
di Bursa Efek Indonesia melalui perusahaan efek PT. MNO Sekuritas
kepada PT. JKL seharga Rp7.000.000,00 per lembar.
Penghitungan
diskonto dan PPh final yang terutang oleh PT. GHI adalah sebagai
berikut :
- diskonto = (Rp7.000.000,00
- Rp6.000.000,00) x 50
= Rp50.000.000,00
- PPh
final = 15% x Rp50.000.000,00
= Rp7.500.000,00
= dipotong
oleh PT. MNO Sekuritas selaku perantara.
Keterangan:
Diskonto
Obligasi tanpa bunga dikenakan pemotongan PPh final pada setiap kali
dilakukan penjualan, sepanjang :
- penjualan dilakukan melalui perantara atau pembeli
langsung yang ditunjuk sebagai pemotong pajak:
- penjual
Obligasi tidak dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan.
Pada saat jatuh tempo/pelunasan Obligasi, atas diskonto
terakhir dikenakan PPh final.
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS
D.W. MARTOWARDOJO
Salinan
sesuai dengan aslinya
KEPALA
BIRO UMUM
u.b.
KEPALA
BAGIAN T.U. KEMENTERIAN
ttd
GIARTO
NIP.
195904201984021001
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
07/PMK.011/2012 TANGGAL 13 JANUARI 2012
TENTANG
PERUBAHAN
ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 85/PMK.03/2011 TENTANG TATA
CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
BUNGA OBLIGASI
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka lebih memberikan rasa keadilan,
serta kemudahan administrasi bagi para pelaku transaksi obligasi di
Indonesia, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai
tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan
atas bunga dan/atau diskonto obligasi sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 tentang Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga
Obligasi;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 PERATURAN
PEMERINTAH nomor 16 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan Berupa Bunga Obligasi, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
85/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan
Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi;
Mengingat :
1. Keputusan
Presiden Nomor56/P TAHUN 2010;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011
tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak
Penghasilan atas Bunga Obligasi;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 85/PMK.03/2011 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN
PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA OBLIGASI.
Pasal I
Beberapa
ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011
tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak
Penghasilan atas Bunga Obligasi diubah sebagai berikut:
1. Diantara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 3A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
Dalam
hal terdapat diskonto negatif atau rugi pada saat penjualan Obligasi,
diskonto negatif atau rugi tersebut dapat diperhitungkan dengan
penghasilan bunga berjalan.
2. Ketentuan Pasal 5 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5)
diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Penjual Obligasi wajib memberitahukan kepada
pemotong pajak mengenai harga perolehan dan tanggal perolehan
Obligasi yang sebenarnya, untuk keperluan penghitungan bunga dan/atau
diskonto yang menjadi dasar pemotongan Pajak Penghasilan.
(2) Dalam hal Obligasi yang dijual tidak dapat
ditentukan harga perolehan dan tanggal perolehan yang sebenarnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harga perolehan dan tanggal
perolehan yang wajib diberitahukan oleh penjual Obligasi kepada
pemotong pajak ditentukan dengan cara mendahulukan harga perolehan
dan tanggal perolehan Obligasi sejenis yang diperoleh pertama (metode
First In First Out).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan dengan menyerahkan formulir Bukti Pemotongan Pajak
Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) dari pembelian Obligasi tersebut
sebelumnya.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
berlaku bagi penjual Obligasi yang tidak diberlakukan pemotongan
Pajak Penghasilan.
(5) Dalam hal penjual Obligasi tidak memberitahukan
harga perolehan dan tanggal perolehan Obligasi sesuai ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), atas penghasilan
bunga dan/atau diskonto yang tidak atau kurang diberitahukan, dikenai
Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 tentang Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga
Obligasi beserta perubahannya dalam tahun diketahuinya ketidakbenaran
dimaksud dan dikenai sanksi administrasi berupa bunga.
3. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10A
Terhadap
pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas Bunga Obligasi
sejak tanggal 23 Mei 2011 sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan
Menteri ini, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1. Dalam hal tanggal perolehan dan harga perolehan
Obligasi dapat diketahui, penghitungan bunga dan/atau diskonto
Obligasi pada saat penjualan ditentukan sesuai dengan tanggal
perolehan dan harga perolehan yang sebenarnya, atau dengan cara
mendahulukan harga perolehan dan tanggal perolehan Obligasi sejenis
yang diperoleh pertama (metode First In First Out);
2. Dalam hal tanggal perolehan dan harga perolehan
Obligasi tidak dapat diketahui, penghitungan bunga dan/atau diskonto
Obligasi pada saat penjualan ditentukan dengan cara mendahulukan
harga perolehan dan tanggal perolehan Obligasi sejenis yang diperoleh
pertama (metode First In First Out);
3. Perolehan diskonto negatif atau rugi dalam penjualan
Obligasi dapat diperhitungkan dengan penghasilan bunga berjalan.
4. Mengubah Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor
85/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan
Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi sehingga menjadi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran, yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal II
Peraturan
Menteri ini mulai berlaku setelah 20 (dua puluh) hari terhitung sejak
tanggal diundangkannya Peraturan Menteri ini.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 13 Januari 2012
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 13 Januari 2012
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
AMIR
SYAMSUDDIN
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 67
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
07/PMK.011/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 85/PMK.03/2011 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN
PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA OBLIGASI
MENTERI
KEUANGAN
REPUBLIK
INDONESIA
CONTOH
PENGHITUNGAN MENGENAI TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK
PENGHASILAN
ATAS BUNGA OBLIGASI
1. Pada tanggal 1 Juli 2011, PT ABC (emiten) menerbitkan
Obligasi dengan kupon (interest bearing bond) sebagai berikut:
- Nilai
nominal Rp 10.000.000,00 per lembar.
- Jangka
waktu Obligasi 5 tahun (jatuh tempo tanggal 1 Juli 2016).
- Bunga
tetap (fixed rate) sebesar 16% per tahun, jatuh tempo bunga setiap
tanggal 30 Juni dan 31 Desember.
- Penerbitan
perdana tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
PT XYZ (investor) pada saat penerbitan perdana membeli
10 lembar Obligasi dengan harga di bawah nilai nominal (at discount),
yaitu sebesar Rp 9.000.000,00 per lembar.
Penghitungan bunga dan Pajak Penghasilan yang bersifat
final (PPh final) yang terutang oleh PT XYZ pada saat jatuh tempo
bunga pada tanggal 31 Desember 2011 adalah sebagai berikut :
- bunga = (6/12
x 16% x Rp 10.000.000,00) x 10
= Rp8.000.000,00
- PPh
final = 15% x Rp 8.000.000,00 = Rp 1.200.000,00
Dipotong
oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran.
Keterangan:
Dalam
kenyataannya, harga perolehan Obligasi dengan kupon (interest bearing
bond) pada saat penerbitan perdana tidak harus selalu sama dengan
nilai nominalnya. Pembeli dapat memperoleh Obligasi dengan harga di
bawah nilai nominal (at discount) atau di atas nilai nominal (at
premium). Pada hakekatnya selisih harga beli di bawah atau di atas
nilai nominal tersebut merupakan penyesuaian tingkat bunga Obligasi
yang diperhitungkan ke dalam harga perolehan.
Dalam hal investor atau pembeli Obligasi sebagaimana
tersebut di atas adalah Wajib Pajak Reksadana, maka penghitungan PPh
final atas bunga yang diperoleh pada saat jatuh tempo tanggal 31
Desember 2011 adalah sebagai berikut:
- Bunga = (6/12
x 16% x Rp 10.000.000,00) x 10
= Rp8.000.000,00
- PPh
final = 5% x Rp8.000.000,00
= Rp400.000,00
2. Pada tanggal 31 Maret 2012, PT XYZ menjual seluruh
Obligasi yang dimilikinya kepada PT PQR melalui perusahaan efek PT
MNO di over the counter (OTC),
dengan harga jual Rp 10.400.000,00 per lembar termasuk bunga
berjalan.
Penghitungan bunga berjalan, diskonto, dan PPh final
yang terutang oleh PT XYZ pada saat penjualan Obligasi tanggal 31
Maret 2012 adalah sebagai berikut :
- bunga
berjalan = (3/12 x 16% x Rp 10.000.000,00) x 10
= Rp4.000.000,00
- diskonto = [(Rp
10.400.000,00 - Rp 400.000,00) - Rp 9.000.000,00] x 10
= Rp
10.000.000,00
Mengingat Wajib Pajak PT XYZ dikenakan PPh final dengan
tarif yang sama, bunga berjalan dan diskonto dapat dihitung sekaligus
yaitu:
- bunga
berjalan dan diskonto = (Rp 10.400.000,00 - Rp 9.000.000,00) x 10
= Rp
14.000.000,00
- PPh
final = 15% x Rp 14.000.000,00
= Rp2.100.000,00
Dipotong
oleh PT MNO selaku perantara.
3. PT PQR memiliki Obligasi yang dibeli dari PT XYZ
dengan masa kepemilikan hingga tanggal 31 Desember 2014. Untuk itu,
pada setiap tanggal jatuh tempo bunga selama masa kepemilikan
Obligasi tersebut, PT PQR terutang PPh final sebesar 15% atas bunga
yang diterima atau diperolehnya (lihat contoh nomor 1), yang dipotong
oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran.
4. Pada tanggal 31 Desember 2014, PT PQR setelah
menerima bunga dari emiten menjual seluruh Obligasi yang dimilikinya
kepada PT CDE melalui Bank Pundi Nasional selaku perantara dengan
harga jual Rp10.500.000,00 per lembar.
Penghitungan bunga, diskonto, dan PPh final yang
terutang oleh PT PQR pada saat jatuh tempo bunga atau saat penjualan
Obligasi tanggal 31 Desember 2014 adalah sebagai berikut:
- bunga = (6/12
x 16% x Rp 10.000.000,00) x 10
= Rp8.000.000,00
- PPh
final atas bunga = 15% x Rp8.000.000,00
= Rp
1.200.000,00
Dipotong
oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran.
- diskonto = (Rp
10.500.000,00 - Rp 10.000.000,00) x 10
= Rp5.000.000,00
- PPh
final atas diskonto = 15% x Rp 5.000.000,00 = Rp750.000,00
Dipotong
oleh Bank Pundi Nasional selaku perantara.
Keterangan:
Pengertian
diskonto dalam Peraturan Menteri ini tidak hanya terbatas pada
realisasi selisih harga perolehan perdana di bawah (at discount)
nilai nominal Obligasi, melainkan mencakup selisih lebih harga jual
di atas harga perolehan Obligasi.
5. Pada tanggal 31 Mei 2016, PT CDE menjual seluruh
Obligasi yang dimilikinya kepada Dana Pensiun Sejahtera Mandiri (dana
pensiun yang telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan) langsung
tanpa melalui perantara dengan harga jual Rp 10.666.667,00 per lembar
termasuk bunga.
Penghitungan bunga berjalan, diskonto, dan PPh yang
terutang oleh PT CDE pada saat penjualan Obligasi tanggal 31 Mei 2016
adalah sebagai berikut:
- bunga
berjalan = (5/12 x 16% Rp 10.000.000,00) x 10
= Rp6.666.670,00
- diskonto = [(Rp
10.666.667,00 - Rp 666.667,00) - Rp 10.500.000,00] x 10
= (Rp5.000.000,00)
diskonto
negatif atau rugi.
Perolehan diskonto negatif atau rugi dapat
diperhitungkan dengan penghasilan bunga berjalan. PPh terutang yang
bersifat final karena penjualan Obligasi, sebagai berikut:
- PPh
final = 15% x (Rp 6.666.670,00 - Rp 5.000.000,00)
= Rp250.001,00
Keterangan:
Meskipun penjualan Obligasi tidak dilakukan melalui
perantara dan tidak dilaporkan ke bursa, dana pensiun sebagai pembeli
wajib melakukan pemotongan pajak. Ketentuan yang sama juga berlaku
dalam hal pembelian langsung dilakukan oleh perusahaan efek, bank,
dan reksa dana selaku investor.
6. Pada tanggal 1 Juli 2016 (jatuh tempo Obligasi), Dana
Pensiun Sejahtera Mandiri menerima pelunasan seluruh Obligasi yang
dimilikinya beserta imbalan bunga sesuai masa kepemilikan (1 bulan)
dari PT ABC, yang merupakan emiten Obligasi tersebut. Penghitungan
bunga, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh Dana Pensiun
Sejahtera Mandiri pada saat jatuh tempo/pelunasan Obligasi tanggal 1
Juli 2016 adalah sebagai berikut:
- bunga = (1/12
x 16% x Rp 10.000.000,00) x 10
= Rp
1.333.330,00
- diskonto = (Rp
10.000.000 - Rp 10.000.000,00) x 10
= nihil.
- PPh
final tidak terutang oleh dana pensiun yang memenuhi syarat sesuai
dengan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri ini.
7. Pada tanggal 1 Januari 2011, PT ABC menerbitkan
Obligasi tanpa bunga (non-interest bearing debt securitiest)
berjangka waktu 10 tahun (jatuh tempo tanggal 1 Januari 2021) dengan
nilai nominal sebesar Rp 10.000.000,00. Penerbitan perdana Obligasi
tersebut tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
PT GHI membeli 100 lembar Obligasi tanpa bunga tersebut
dengan harga perdana sebesar Rp 6.000.000,00 per lembar.
Pada tanggal 31 Agustus 2014, PT GHI menjual 50 lembar
Obligasi tersebut di Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui perusahaan
efek PT MNO kepada PT JKL seharga Rp 7.000.000,00 per lembar.
Penghitungan
diskonto dan PPh Final yang terutang oleh PT GHI adalah sebagai
berikut :
- diskonto = (Rp7.000.000,00
- Rp6.000.000,00) x 50
= Rp50.000.000,00
PPh
final = 15% x Rp50.000.000,00
= Rp7.500.000,00
Dipotong
oleh PT MNO selaku perantara.
Keterangan:
Diskonto
Obligasi tanpa bunga dikenakan pemotongan PPh final pada setiap kali
dilakukan penjualan, sepanjang:
- penjualan
dilakukan melalui perantara atau pembeli langsung yang ditunjuk
sebagai pemotong pajak; dan
- penjual
Obligasi tidak dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan.
Pada saat
jatuh tempo/pelunasan Obligasi dimaksud, atas diskonto terakhir
dikenakan PPh final.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Salinan
sesuai dengan aslinya MENTERI KEUANGAN,
KEPALA
BIRO UMUM
u.b.
ttd
KEPALA
BAGIAN T.U. KEMENTERIAN AGUS D.W. MARTOWARDOJO
ttd
GIARTO
NIP
195904201984021001
MENTERI
KEUANGAN
ttd.
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka lebih memberikan kemudahan dan
kesederhanaan dalam menghitung Pajak Penghasilan atas penghasilan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, serta mendukung
program pengadaan Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana, perlu
mengatur kembali ketentuan mengenai pembayaran Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 TAHUN
1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79
TAHUN 1999 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 48
TAHUN 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994
tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
Mengingat :
1. Pasal 5
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 TAHUN
1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1994 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3580) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 79 TAHUN 1999 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 48 TAHUN 1994 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 170,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3891);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR
48 TAHUN 1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN.
Pasal I
Beberapa
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 TAHUN 1994 tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1994 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3580) sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Peraturan
Pemerintah:
a. Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 48 TAHUN 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 44, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3634);
b. Nomor 79 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 48 TAHUN 1994 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 170,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3891);
diubah
sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) diubah, dan ditambah 2
(dua) ayat yakni ayat (5) dan ayat (6), sehingga Pasal 4 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah sebesar 5% (lima
persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah
Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenai Pajak
Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai
pengalihan.
(2) Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta
Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan
yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12
TAHUN 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 TAHUN 1994 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 12 TAHUN 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan,
kecuali:
a. dalam hal pengalihan hak kepada Pemerintah adalah
nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan;
b. dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan
lelang (Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 dengan segala perubahannya
adalah nilai menurut risalah lelang tersebut.
(3) Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang bersangkutan atau
dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dimaksud belum terbit,
adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang tahun pajak sebelumnya.
(4) Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum
terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama, maka Nilai Jual Objek
Pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut surat
keterangan yang diterbitkan Kepala Kantor yang wilayah kerjanya
meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan berada.
(5) Rumah
Sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Rumah
Sederhana Sehat dan Rumah Inti Tumbuh, yang mendapat fasilitas
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Rumah
Susun Sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bangunan
bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan
sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik
bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal
termasuk Rumah Susun Sederhana Milik, yang mendapat fasilitas
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Ketentuan
Pasal 5 diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
Dikecualikan
dan kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1)
adalah:
a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah
Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah
yang dipecah-pecah;
b. orang pribadi atau badan yang menerima atau
memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(2) huruf c;
c. orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah
dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
d. badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau
bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau
e. pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
3. Pasal 6
clihapus.
4. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) diubah dan ayat (2)
dihapus, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan, pembayaran Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) bersifat final.
(2) Dihapus.
Pasal II
1. Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini,
terhadap Wajib Pajak badan, termasuk koperasi, yang usaha pokoknya
melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan,
apabila:
a. melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
sebelum tanggal 1 Januari 2009 dan atas pengalihan hak tersebut belum
dibuatkan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah
lelang oleh pejabat yang berwenang; dan
b. penghasilan atas pengalihan hak sebagaimana dimaksud
pada huruf a telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas
penghasilan tersebut telah dilunasi,
pengenaan
pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 48
TAHUN 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79
Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 48
TAHUN 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 4 November 2008
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 4 November 2008
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI
MATTALATTA
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 164
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 71
TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN
KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR
48 TAHUN
1994 TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN
ATAS
PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK
ATAS TANAH
DAN/ATAU BANGUNAN
I. UMUM
Cara
pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan yang dikaitkan dengan saat
penandatanganan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan pengalihan
hak oleh notaris atau pejabat yang berwenang, atau mengaitkan dengan
pembayaran yang dilakukan oleh bendaharawan atau pejabat pemerintah
yang melakukan pembayaran ternyata telah meningkatkan kepatuhan bagi
orang pribadi atau badan yang melakukan transaksi pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Untuk
lebih memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, dipandang perlu mengubah ketentuan pengenaan Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun
1994 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999, yang semula bersifat tidak final
menjadi bersifat final bagi Wajib Pajak badan yang usaha pokoknya
melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan serta
dalam rangka mendukung program pengadaan Rumah Sederhana dan Rumah
Susun Sederhana perlu diberikan tarif yang lebih rendah untuk
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana
dan Rumah Susun Sederhana.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 4
Ayat
(1)
Besarnya
Pajak Penghasilan yang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi dan
badan atau yang dipotong atau dipungut oleh bendaharawan atau pejabat
yang berwenang sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai
pengalihan tersebut.
Bagi
Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan, besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dibayar
sendiri adalah 1% (satu persen) untuk pengalihan Rumah Sederhana dan
Rumah Susun Sederhana, dan sebesar 5% (lima persen) untuk pengalihan
lainnya.
Ayat
(2)
Besarnya
nilai pengalihan sebagai dasar perhitungan besarnya Pajak Penghasilan
yang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan, atau
dipungut oleh bendaharawan atau pejabat yang berwenang, adalah nilai
yang tertinggi antara nilai menurut akta dengan nilai menurut Nilai
Jual Objek Pajak untuk penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan atas
tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan dalam tahun pajak
terjadinya pengalihan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memperoleh
nilai yang paling mendekati nilai yang sebenarnya.
Dalam
hal pengalihan kepada Pemerintah, maka besarnya nilai pengalihan
adalah berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Apabila
tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar, maka untuk
memperoleh besarnya Nilai Jual Objek Pajak, orang pribadi atau badan
yang melakukan pengalihan wajib meminta surat keterangan mengenai
besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas tanah dan/atau bangunan untuk
tahun pajak yang bersangkutan kepada Kantor Pelayanan Pajak Pratama
yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan
tersebut berada.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Angka 2
Pasal 5
Pada
dasarnya semua pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenai
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), namun
untuk keadilan diberikan pengecualian dari pembayaran atau pemungutan
Pajak Penghasilan.
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Orang
pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah dengan
pembayaran ganti rugi yang akan digunakan untuk kepentingan umum yang
memerlukan persyaratan khusus, yaitu jalan umum, saluran pembuangan
air, waduk, bendungan, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara
dan fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya
banjir, lahar dan bencana lainnya, serta fasilitas Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Lokasi
pembangunan sarana kepentingan umum tersebut memerlukan persyaratan
khusus misalnya untuk pelabuhan laut diperlukan tanah tertentu untuk
memenuhi persyaratan sebagai pelabuhan seperti kedalaman laut, arus
laut, pendangkalan dan lain sebagainya.
Huruf
c
Apabila
orang pribadi melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, dan kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan
sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d
angka 4 Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, maka keuntungan karena pengalihan tersebut bukan
merupakan Objek Pajak dan tidak terutang Pajak Penghasilan. Termasuk
dalam pengertian hibah adalah wakaf.
Huruf
d
Apabila
badan melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan
cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d
angka 4 Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, maka keuntungan karena pengalihan tersebut bukan
merupakan Objek Pajak dan tidak terutang Pajak Penghasilan. Termasuk
dalam pengertian hibah adalah wakaf.
Huruf
e
Pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, bukan merupakan
Objek Pajak.
Angka 3
Pasal 6
Cukup
jelas.
Angka 4
Pasal 8
Ayat
(1)
Pembayaran
Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan bersifat final bagi Wajib Pajak orang pribadi
maupun Wajib Pajak badan tanpa melihat jenis usaha atau kegiatan yang
dilakukan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal II
Cukup
jelas.
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4914
Tidak ada komentar:
Posting Komentar