SURAT
EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR
SE-68/PJ/2008 TANGGAL 9 DESEMBER 2008
TENTANG
FORMULIR
SURAT KETERANGAN DOMISILI (FORM 6166) AMERIKA SERIKAT
Berdasarkan
surat dari Internal Revenue Service (IRS), Department of The Treasury
Amerika Serikat kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia tanggal 24
April 2008, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut:
1. IRS telah menerbitkan formulir Surat Keterangan
Domisili yaitu Form 6166 yang akan digunakan oleh penduduk Amerika
Serikat yang menyatakan bahwa Orang/Badan yang tersebut dalam surat
dimaksud adalah penduduk Amerika Serikat dan dapat menggunakan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Negara Indonesia
dan Negara Amerika Serikat dalam penerapan pajaknya (contoh Form 6166
terlampir).
2. Form 6166 tersebut harus ditandatangani oleh IVY S,
McChesney, Field Director, Philadelphia Accounts Management Center
(speciment tanda tangan terlampir) dan mulai berlaku sejak tanggal 24
April 2008.
3. Terhadap Surat Keterangan Domisili yang dikeluarkan
oleh Competent Authority Amerika Serikat atau wakilnya yang sah
sebelum tanggal 24 April 2008 dianggap masih berlaku sepanjang sesuai
dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996
yaitu berlaku selama 1 (satu) tahun sejak tanggal diterbitkan,
kecuali untuk Wajib Pajak Bank.
Demikian
untuk mendapat perhatian Saudara dan dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 09 Desember 2008
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
DARMIN
NASUTION
PERATURAN
DIRJEN PAJAK
NOMOR
PER-61/PJ/2009 TANGGAL 5 NOPEMBER 2009
TENTANG
TATA CARA
PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN
2008 diatur bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian
dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak
berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda antara Pemerintah Indonesia dengan negara lain, antara lain
diatur mengenai hak pemajakan pemerintah Indonesia atas
penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak luar negeri sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
c. bahwa diperlukan adanya pedoman untuk memberi
kepastian hukum dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Repulbik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang
selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia
dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak
berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
2. Wajib Pajak luar negeri selanjutnya disebut WPLN
adalah Subjek Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008, baik orang pribadi maupun badan, yang menerima
dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau
menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
3. Pemotong/Pemungut Pajak adalah badan pemerintah,
subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan
untuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh WPLN sesuai ketentuan yang berlaku.
4. Surat Keterangan Domisili yang selanjutnya disebut
SKD adalah formulir yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak
yang telah diisi dengan lengkap dan telah ditandatangani oleh WPLN,
serta telah disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang di negara
mitra P3B.
5. Surat Pemberitahuan Masa yang selanjutnya disebut SPT
Masa adalah Surat Pemberitahuan yang digunakan oleh Pemotong/Pemungut
Pajak untuk melaporkan penyetoran atas pemotongan atau pemungutan
pajak yang telah dilakukan untuk suatu masa tertentu sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Pasal 2
Pemotong/Pemungut
Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pasal 3
(1) Pemotong/Pemungut Pajak harus melakukan pemotongan
atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B,
dalam hal:
a. Penerima
penghasilan bukan Subjek Pajak dalam negeri Indonesia;
b. Persyaratan
administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah
dipenuhi; dan
c. Tidak
terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan tentang pencegahan penyalahgunaan P3B.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak terpenuhi, Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong atau
memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008.
Pasal 4
(1) Dokumen SKD yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah
formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II [Form-DGT 1] atau
Lampiran III [Form-DGT 2] Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Dokumen SKD yang ditetapkan dalam Lampiran III
[Form-DGT 2] Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini digunakan dalam
hal:
a. WPLN menerima atau memperoleh penghasilan melalui
Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan
saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar
modal di Indonesia, selain bunga dan dividen; atau
b. WPLN
bank.
(3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf b adalah SKD yang disampaikan oleh WPLN kepada
Pemotong/Pemungut Pajak:
a. menggunakan formulir yang telah ditetapkan dalam
Lampiran II atau Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
b. telah
diisi oleh WPLN dengan lengkap;
c. telah
ditandatangani oleh WPLN;
d. telah
disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang di negara mitra P3B, dan
e. disampaikan
sebelum berakhirnya batas waktu dengan penyampaian SPT Masa untuk
masa pajak terutangnya pajak.
(4) Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang
berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen,
bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili
pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
(5) Lembaga yang namanya disebutkan secara tegas dalam
P3B atau yang telah disepakati oleh pejabat yang berwenang di
Indonesia dan di negara mitra P3B tidak perlu menyampaikan SKD.
Pasal 5
(1) SKD yang menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran II [Form-DGT 1] yang disampaikan kepada
Pemotong/Pemungut Pajak setelah berakhirnya batas waktu penyampaian
SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak, tidak dapat
dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam
P3B.
(2) Formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III
[Form-DGT 2] yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) digunakan sebagai dasar penerapan ketentuan yang
diatur dalam P3B sejak tanggal SKD tersebut disahkan oleh pejabat
pajak yang berwenang dari negara mitra P3B dan berlaku selama 12 (dua
belas) bulan.
Pasal 6
WPLN dapat
menyampaikan permohonan pengembalian kelebihan pajak yang tidak
seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hal
manfaat P3B tidak diberikan akibat persyaratan administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b tidak terpenuhi,
tetapi WPLN menganggap pemotongan atau pemungutan pajak tidak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.
Pasal 7
Tata cara
penerapan P3B oleh Pemotong/Pemungut Pajak ditetapkan dalam Lampiran
I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 8
(1) Bukti pemotongan/pemungutan pajak wajib dibuat oleh
Pemotong/Pemungut Pajak sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang
berlaku.
(2) Dalam hal terdapat penghasilan yang diterima atau
diperoleh WPLN tetapi tidak terdapat pajak yang dipotong atau
dipungut di Indonesia berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B,
Pemotong/Pemungut Pajak tetap diwajibkan untuk membuat bukti
pemotongan/pemungutan pajak.
Pasal 9
(1) Pemotong/Pemungut Pajak wajib menyampaikan fotokopi
SKD yang diterima dari WPLN sebagai lampiran SPT Masa.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus melakukan
penelitian kebenaran pelaporan atas jumlah pajak yang dipotong dan
melakukan perekaman SKD dan bukti pemotongan/pemungutan yang
dilaporkan oleh Pemotong/Pemungut Pajak.
(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus melakukan
penelitian mengenai ada atau tidaknya bentuk usaha tetap dari WPLN
yang berada di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
P3B.
(4) Dalam hal terdapat indikasi bahwa WPLN menjalankan
kegiatan atau usaha di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan belum terdaftar sebagai Wajib
Pajak, Kantor Pelayanan Pajak memberitahukan Kantor Pelayanan Pajak
tempat bentuk usaha tetap seharusnya terdaftar untuk dikirimi Surat
Himbauan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 10
Pada saat
berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka:
1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang Penerapan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B);
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-04/PJ.101/1996 tanggal 28 Mei 1996 tentang Masa Transisi Penerapan
SE-03/PJ.101/1996;
dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 11
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari
2010.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 5 November 2009
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
PERATURAN
DIRJEN PAJAK
NOMOR
PER-61/PJ/2009 TANGGAL 15 DESEMBER 2009
TENTANG
RALAT
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-61/PJ/2009 TENTANG TATA
CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
Berhubung
dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tanggal
5 November 2009 terdapat Lampiran II dan III yang perlu disempurnakan
untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran dan penerapan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak dimaksud, maka perlu dibuat ralat sebagai
berikut:
1. mengganti beberapa frase yang terdapat dalam formulir
dan instruksi pengisian pada Lampiran II dan Lampiran III, yaitu:
a. "Competent
Authority" menjadi "Competent Authority or Authorized Tax
Office";
b. "Competent
Authority or his authorized representative" menjadi "Competent
Authority or his authorized representative or authorized tax office";
2. menghapus frase "Please note that this submitted
form must bear the original endorsement of the Competent Authority."
yang terdapat dalam Form DGT-1 lembar kesatu;
3. menghapus frase "concerning the types of income
mentioned in Part V" yang terdapat dalam Form DGT-1 lembar
kesatu Part III;
4. mengganti keterangan yang terdapat pada lembar kedua
Form-DGT 1 mengenai pengesahan oleh Competent Authority menjadi
pernyataan oleh penerima penghasilan;
5. memberlakukan Form-DGT 1 lembar kesatu selama 12 (dua
belas) bulan sejak formulir tersebut disahkan oleh Pejabat yang
Berwenang di luar negeri;
6. memberlakukan Form-DGT 1 lembar kedua untuk
menyatakan penghasilan yang diterima Wajib Pajak luar negeri dalam 1
(satu) bulan (Masa Pajak);
7. Sehubungan dengan ralat pada butir 1 sampai dengan
butir 6, Lampiran II dan III disesuaikan menjadi sebagaimana terdapat
pada Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
8. Surat Keterangan Domisili yang diterbitkan oleh
Pejabat yang Berwenang di luar negeri sesuai dengan format dan
kelaziman di negara masing-masing dapat diterima untuk menerapkan
ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atas pajak
penghasilan yang terutang oleh WP luar negeri yang pelunasannya
dilakukan bukan melalui mekanisme pemotongan atau pemungutan pajak
oleh Pemotong/Pemungut Pajak.
Dengan
ralat ini, maka Lampiran II dan Lampiran III Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 menjadi sebagaimana terlampir.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 15 Desember 2009
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
PERATURAN
DIRJEN PAJAK
NOMOR
PER-24/PJ/2010 TANGGAL 30 APRIL 2010
TENTANG
PERUBAHAN
ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-61/PJ./2009 TENTANG
TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka memberikan kepastian dalam penerapan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda, perlu menetapkan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK NOMOR PER-61/PJ/2009 TENTANG TATA CARA PENERAPAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.
Pasal I
Ketentuan
Pasal 4 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009
tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda,
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Dokumen SKD yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah
formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II [Form-DGT 1] atau
Lampiran III [Form-DGT 2] Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Dokumen SKD yang ditetapkan dalam Lampiran III
[Form-DGT 2] Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini digunakan dalam
hal:
a. WPLN menerima atau memperoleh penghasilan melalui
Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan
saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar
modal di Indonesia, selain bunga dan dividen;
b. WPLN
bank; atau
c. WPLN yang berbentuk dana pensiun yang pendiriannya
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di negara mitra P3B
Indonesia dan merupakan subjek pajak di negara mitra P3B Indonesia.
(3) Persyaratan
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b
adalah SKD yang disampaikan oleh WPLN kepada Pemotong/Pemungut Pajak:
a. menggunakan formulir yang telah ditetapkan dalam
Lampiran II atau Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
b. telah
diisi oleh WPLN dengan lengkap;
c. telah ditandatangani oleh WPLN atau diberi tanda
yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara
mitra P3B;
d. telah disahkan oleh pejabat yang berwenang, wakilnya
yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di negara mitra
P3B, yang dapat berupa tanda tangan atau diberi tanda yang setara
dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B; dan
e. disampaikan sebelum berakhirnya batas waktu dengan
penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak.
(4) Dalam hal WPLN tidak dapat memenuhi ketentuan pada
ayat (3) butir d, WPLN dianggap memenuhi persyaratan administratif
apabila ketentuan-ketentuan pada ayat (3) butir a, b, c, dan e
dipenuhi, dan WPLN melampirkan surat keterangan domisili yang lazim
disahkan atau diterbitkan oleh negara mitra P3B yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. menggunakan
bahasa Inggris;
b. diterbitkan
pada atau setelah tanggal 1 Januari 2010;
c. berupa dokumen asli atau dokumen fotokopi yang
telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat salah satu
Pemotong/Pemungut Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak;
d. sekurang-kurangnya
mencantumkan informasi mengenai nama WPLN; dan
e. mencantumkan tanda tangan pejabat yang berwenang,
wakilnya yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di negara
mitra P3B atau tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan
kelaziman di negara mitra P3B dan nama pejabat dimaksud.
(5) Persyaratan
tidak terjadi penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) dianggap terpenuhi apabila dalam lembar kedua Lampiran II
[Form-DGT 1]:
a. dalam hal WPLN adalah orang pribadi, WPLN tidak
bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
b. dalam hal WPLN adalah badan, WPLN merupakan
perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan
secara teratur; atau
c. dalam
hal WPLN adalah badan:
1) bagi penghasilan yang di dalam P3B terkait tidak
memuat persyaratan beneficial owner, WPLN menjawab bahwa pendirian
perusahaan di negara mitra P3B atau pengaturan struktur/skema
transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan P3B; atau
2) bagi penghasilan yang di dalam P3B terkait memuat
persyaratan beneficial owner, WPLN menjawab:
a) pendirian perusahaan di negara mitra P3B atau
pengaturan struktur/skema transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan
P3B; dan
b) kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang
mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
c) perusahaan
mempunyai pegawai yang memadai; dan
d) mempunyai
kegiatan atau usaha aktif; dan
e) penghasilan yang bersumber dari Indonesia
terutang pajak di negara penerimanya; dan
f) tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen)
dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain
dalam bentuk, seperti : bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
(6) Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang
berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen,
bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili
pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
(7) Dalam hal terdapat ketentuan dalam suatu P3B yang
mengatur bahwa pemerintah negara mitra P3B, bank sentral atau
lembaga-lembaga yang dikecualikan dari pengenaan pajak di negara
sumber atas penghasilan tertentu, maka pemerintah negara mitra P3B,
bank sentral atau lembaga dimaksud tidak perlu menyampaikan SKD untuk
keperluan penerapan ketentuan dalam P3B tersebut.
Pasal II
Ketentuan
Pasal 5 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009
tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda,
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) SKD yang menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran II [Form-DGT 1] yang disampaikan kepada
Pemotong/Pemungut Pajak setelah berakhirnya batas waktu penyampaian
SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak, tidak dapat
dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam
P3B.
(2) SKD yang menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran II [Form-DGT 1] lembar pertama dan dalam Lampiran III
[Form-DGT 2] yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) mempunyai masa berlaku sebagai dasar penerapan P3B
sampai dengan 12 (dua belas) bulan sejak bulan SKD disahkan atau
setelah bulan surat keterangan domisili yang lazim diterbitkan oleh
negara mitra P3B diterbitkan atau disahkan.
Pasal III
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari
2010.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 30 April 2010
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
PERATURAN
DIRJEN PAJAK
NOMOR
PER-25/PJ/2010 TANGGAL 30 APRIL 2010
TENTANG
PERUBAHAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-62/PJ/2009 TENTANG
PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka memberikan kepastian dalam penerapan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda, perlu menetapkan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
Mengingat :
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERUBAHAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL NOMOR PER-62/PJ/2009 TENTANG PENCEGAHAN
PENYALAHGUNAAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.
Pasal I
Ketentuan
Pasal 3 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009
tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda, diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) dapat terjadi dalam hal:
a. transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi
dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan
maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
b. transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya
(legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic
substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh
manfaat P3B; atau
c. penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang
sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner).
(2) Kriteria beneficial owner sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c hanya diterapkan untuk penghasilan yang di dalam
pasal P3B terkait memuat persyaratan beneficial owner.
Pasal II
Ketentuan
Pasal 4 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009
tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda, diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Yang dimaksud dengan pemilik yang sebenarnya atas
manfaat ekonomis dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf c adalah penerima penghasilan yang:
a. bertindak
tidak sebagai Agen;
b. bertindak
tidak sebagai Nominee; dan
c. bukan
Perusahaan Conduit.
(2) Orang pribadi atau badan yang dicakup dalam P3B
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dianggap tidak
melakukan penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
a. Individu
yang bertindak tidak sebagai Agen atau Nominee;
b. lembaga yang namanya disebutkan secara tegas dalam
P3B atau yang telah disepakati oleh pejabat yang berwenang di
Indonesia dan di negara mitra P3B;
c. WPLN yang menerima atau memperoleh penghasilan
melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi
pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di
pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen, dalam hal WPLN
bertindak tidak sebagai Agen atau sebagai Nominee;
d. perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan
diperdagangkan secara teratur;
e. dana pensiun yang pendiriannya sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan di negara mitra P3B dan merupakan subjek
pajak di negara mitra P3B;
f. bank;
atau
g. perusahaan
yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) bagi perusahaan yang menerima atau memperoleh
penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait tidak mengatur
persyaratan beneficial owner, yaitu : pendirian perusahaan atau
pengaturan struktur/skema transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk
pemanfaatan P3B;
2) bagi perusahaan yang menerima atau memperoleh
penghasilan yang di dalam pasal P3B terkait mengatur persyaratan
beneficial owner, yaitu:
i) pendirian perusahaan atau pengaturan struktur/skema
transaksi tidak semata-mata ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan
ii) kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang
mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
iii) perusahaan
mempunyai pegawai; dan
iv) mempunyai
kegiatan atau usaha aktif; dan
v) penghasilan yang bersumber dari Indonesia
terutang pajak di negara penerimanya; dan
vi) tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen)
dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain
dalam bentuk, seperti : bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
(3) Perusahaan Conduit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c adalah suatu perusahaan yang memperoleh manfaat dari
suatu P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di negara lain,
sementara manfaat ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh
orang-orang di negara lain yang tidak akan dapat memperoleh hak
pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut diterima langsung.
(4) Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang
berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen,
bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili
pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
(5) Pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
d adalah pasar modal yang pendiriannya berdasarkan ketentuan yang
berlaku di negara tempat pasar modal berada.
(6) Pengertian "kegiatan atau usaha aktif"
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g angka 2) butir iv)
diartikan sesuai dengan keadaan WPLN dan dapat mempunyai makna
kegiatan atau usaha yang dilakukan secara aktif oleh WPLN yang
ditunjukkan dengan adanya biaya yang dikeluarkan, upaya yang
dilakukan, atau pengorbanan yang terjadi, yang berkaitan secara
langsung dengan usaha atau kegiatan dalam rangka mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk dalam hal WPLN
melakukan kegiatan yang signifikan yang dilakukan untuk
mempertahankan kelangsungan entitas.
(7) Pengertian "penghasilan yang bersumber dari
Indonesia terutang pajak di negara penerimanya" sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf g angka 2) butir v) adalah kondisi WPLN
berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan di negaranya,
dimana WPLN merupakan subjek yang terutang pajak di negaranya dan
penghasilan yang bersumber dari luar negeri merupakan objek pajak,
meskipun pada akhirnya subjek pajak tersebut tidak terutang pajak
secara legal, antara lain karena penghasilan tersebut terkena tarif
pajak 0%, dibebaskan dari pengenaan pajak oleh ketentuan yang
spesifik dengan memenuhi persyaratan tertentu, atau secara ekonomis
tidak menanggung beban pajak, antara lain karena pajak yang terutang
ditanggung oleh pemerintah di luar negeri, ditangguhkan, atau tidak
dipungut.
(8) Pengertian "tidak menggunakan lebih dari 50%
(lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi
kewajiban kepada pihak lain" sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf g angka 2) butir vi) adalah tidak lebih 50% dari seluruh
penghasilan WPLN, dalam jenis apapun atau sumber manapun, sebagaimana
diungkapkan dalam laporan keuangan entitas WPLN sendiri (non
konsolidasi) yang digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak
lain, tidak termasuk pemberian imbalan kepada karyawan yang diberikan
secara wajar dalam hubungan pekerjaan dan biaya-biaya lain yang lazim
dikeluarkan oleh WPLN dalam menjalankan usahanya dan pembagian
keuntungan dalam bentuk dividen kepada pemegang saham.
Pasal III
Ketentuan
Pasal 6 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009
tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda, diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Dalam hal WPLN tidak melakukan penyalahgunaan P3B
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, WPLN berhak memperoleh manfaat
P3B.
(2) Dalam hal WPLN dikenakan pajak tidak berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam P3B, WPLN dapat meminta pejabat yang
berwenang di negaranya untuk melakukan penyelesaian melalui prosedur
persetujuan bersama (mutual agreement procedure) sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam P3B.
Pasal IV
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari
2010.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 30 April 2010
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
PERATURAN
DIRJEN PAJAK
NOMOR
PER-16/PJ/2011 TANGGAL 6 JUNI 2011
TENTANG
TATA CARA
PEMBERITAHUAN WAJIB PAJAK BENTUK USAHA TETAP ATAS PENANAMAN KEMBALI
PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 14/PMK .03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan Atas
Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk
Usaha Tetap, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tentang Tata Cara Pemberitahuan Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap Atas
Penanaman Kembali Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011
tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah
Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
TATA CARA
PEMBERITAHUAN WAJIB PAJAK BENTUK USAHA TETAP ATAS PENANAMAN KEMBALI
PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK.
Pasal 1
(1) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak
Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap yang seluruhnya ditanamkan
kembali di Indonesia, dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
(2) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan
penanaman kembali atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak
Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena
Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
Pasal 2
(1) Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) meliputi:
a. pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk
penanaman kembali;
b. pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi
penanaman kembali yang telah dilakukan; dan/atau
c. pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai
berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan.
(2) Pemberitahuan Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, disampaikan dengan
melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak
diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan dan
sedikitnya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. identitas Wajib Pajak meliputi nama Wajib Pajak,
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), alamat Wajib Pajak, dan Jenis Usaha
Wajib Pajak;
b. identitas Wajib Pajak luar negeri induk Bentuk Usaha
Tetap meliputi nama Wajib Pajak, Nomor Identitas Wajib Pajak sesuai
ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan, alamat Wajib
Pajak dan Jenis Usaha Wajib Pajak;
c. jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak
Penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap dan tahun pajak yang
bersangkutan;
d. bentuk penanaman kembali.
(3) Pemberitahuan Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, disampaikan dengan
melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak saat
dilakukan realisasi penanaman kembali dan sedikitnya memuat hal-hal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditambah dengan informasi sebagai
berikut:
a. jumlah
realisasi penanaman kembali;
b. tahun
dilakukan realisasi penanaman kembali.
(4) Penanaman kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus sudah dilakukan paling lama pada akhir tahun pajak berikutnya
setelah diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang bersangkutan.
(5) Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap melakukan
penanaman kembali berupa penyertaan modal pada perusahaan yang baru
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta
pendiri, informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan
informasi mengenai perusahaan yang baru didirikan, meliputi:
a. identitas perusahaan baru meliputi nama perusahaan,
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), alamat perusahaan, dan jenis usaha
perusahaan;
b. nomor, tanggal dan nama notaris akte pendirian
perusahaan, beserta foto kopi akte pendirian perusahaan dimaksud;
c. jumlah penyertaan modal pada perusahaan baru;
d. saat perusahaan aktif melakukan kegiatan usaha
dan/atau saat perusahaan mulai berproduksi komersial.
(6) Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap melakukan
penanaman kembali berupa penyertaan modal pada perusahaan yang sudah
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham,
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan
informasi mengenai:
a. identitas perusahaan yang dilakukan penyertaan modal
meliputi nama perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), alamat
perusahaan, dan jenis usaha perusahaan;
b. nomor, tanggal dan nama notaris akte penyertaan
modal, beserta foto kopi akte penyertaan modal dimaksud;
c. foto kopi dokumen pendukung yang relevan apabila
tidak terdapat akte penyertaan modal;
d. jumlah penyertaan modal pada perusahaan yang sudah
didirikan; dan
e. saat perusahaan aktif melakukan kegiatan usaha.
(7) Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap melakukan
penanaman kembali berupa pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh
Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau
melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan informasi
mengenai:
a. jenis dan alamat/lokasi aktiva tetap;
b. kuantitas dan nilai/harga perolehan aktiva tetap;
c. bukti kepemilikan atas aktiva tetap;
d. nomor dan tanggal perjanjian pembelian aktiva tetap;
dan
e. foto kopi bukti kepemilikan atas aktiva tetap dan
perjanjian pembelian atas aktiva tetap dimaksud.
(8) Dalam hal Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap melakukan
penanaman kembali berupa investasi dalam bentuk aktiva tidak berwujud
oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap
atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan informasi
mengenai:
a. jenis
aktiva tidak berwujud;
b. nilai
investasi aktiva tidak berwujud; dan
c. foto
kopi dokumen pendukung mengenai investasi dalam bentuk aktiva tidak
berwujud.
(9) Saat perusahaan aktif melakukan kegiatan usaha
dan/atau saat perusahaan mulai berproduksi komersial sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) huruf d, harus diberitahukan paling lama pada
akhir tahun pajak berikutnya setelah tahun dilakukan realisasi
penanaman kembali.
Pasal 3
(1) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) ditandatangani oleh Wajib Pajak atau oleh pihak lain yang
diberi kuasa oleh Wajib Pajak.
(2) Dalam hal pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditandatangani oleh pihak lain yang diberi kuasa oleh Wajib
Pajak, harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar.
(4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a disampaikan dengan melampirkan pemberitahuan
tersebut pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk tahun pajak diterima
atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
(5) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf b dan huruf c disampaikan dengan melampirkan
pemberitahuan tersebut pada Surat Pemberitahuan Tahunan untuk tahun
pajak berikutnya setelah diterima atau diperolehnya penghasilan yang
bersangkutan.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) wajib dilakukan Wajib Pajak minimal dalam 3 (tiga) tahun
berturut-turut sejak tahun realisasi penyertaan modal, perolehan
aktiva tetap, atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Wajib Pajak harus menyampaikan pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) secara lengkap.
(2) Dalam hal pemberitahuan tidak disampaikan atau tidak
diisi secara lengkap, maka Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang
bersangkutan dianggap tidak memenuhi persyaratan untuk dikecualikan
dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan
Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk
Usaha Tetap.
(3) Dalam hal pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib
Pajak tidak diisi secara lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak
penerima pemberitahuan tersebut memberitahukan secara tertulis kepada
Wajib Pajak tentang kekurangan dalam pemberitahuan tersebut.
(4) Wajib Pajak dapat membetulkan atau melengkapi
pemberitahuan tersebut selambat lambatnya 1 (satu) bulan sejak
tanggal pemberitahuan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak tersebut
dikirim.
(5) Dalam hal Wajib Pajak tidak membetulkan atau
melengkapi pemberitahuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), maka atas penghasilan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang nomor 7
TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
Pasal 5
Bentuk
Pemberitahuan Penanaman Kembali Penghasilan Kena Pajak Sesudah
Dikurangi Pajak Bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 6
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 6 Juni 2011
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
A. FUAD
RAHMANY
PERATURAN
DIRJEN PAJAK
NOMOR
PER-32/PJ/2011 TANGGAL 11 NOPEMBER 2011
TENTANG
PERUBAHAN
ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-43/PJ/2010 TENTANG
PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI
ANTARA WAJIB PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka memberikan kepastian dan
kelancaran dalam penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha
antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa, dipandang perlu melakukan perubahan beberapa ketentuan
dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang
Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi
Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a di atas, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai
Hubungan Istimewa.
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42
TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
4. Peraturan Pemerintah nomor 80 TAHUN 2007 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan
Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang nomor 28 TAHUN 2007;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK NOMOR PER-43/PJ/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP
KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI ANTARA WAJIB PAJAK
DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA.
Pasal I
Beberapa
ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai
Hubungan Istimewa, diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan
Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut
Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009.
2. Undang-Undang
Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008.
3. Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42
TAHUN 2009.
4. Hubungan
Istimewa adalah hubungan antara Wajib Pajak dengan pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh atau
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang PPN.
5. Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s length principle/ALP)
merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi
yang dilakukan antara pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama
atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding,
maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau
berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi
pembanding.
6. Harga
Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa dalam kondisi yang sebanding, atau harga atau laba
yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
7. Analisis
Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau
Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan
antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan
melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis
transaksi dimaksud.
8. Penentuan
Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam
transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
2. Ketentuan
Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini berlaku untuk Penentuan Harga Transfer
(Transfer Pricing) atas transaksi yang dilakukan Wajib Pajak Dalam
Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dengan Wajib Pajak Luar
Negeri diluar Indonesia.
(2) Dalam
hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya
berlaku untuk transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk memanfaatkan
perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain:
a. perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau
tidak final pada sektor usaha tertentu;
b. perlakuan
pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
c. transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak
Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.
3. Ketentuan
Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Wajib
Pajak dalam melakukan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa wajib menerapkan
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(2) Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. melakukan
Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
b. menentukan
metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
c. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga
Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib
Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan
d. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan
Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
(3) Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s Length Principle/ALP)
mendasarkan pada norma bahwa harga atau laba atas transaksi yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut
mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair Market Value/FMV).
(4) Wajib
Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan nilai seluruh transaksi tidak melebihi Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak
untuk setiap lawan transaksi, dikecualikan dari kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
4. Ketentuan
Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Dalam
melakukan Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) huruf a harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap sebanding dengan
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa dalam hal:
1) tidak terdapat perbedaan kondisi yang material
atau signifikan yang dapat mempengaruhi harga atau laba dari
transaksi yang diperbandingkan; atau
2) terdapat perbedaan kondisi, namun dapat dilakukan
penyesuaian untuk menghilangkan pengaruh yang material atau
signifikan dari perbedaan kondisi tersebut terhadap harga atau laba;
b. dalam hal tersedia Data Pembanding Internal dan
Data Pembanding Eksternal dengan tingkat kesebandingan yang sama,
maka Wajib Pajak wajib menggunakan Data Pembanding Internal untuk
penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar.
c. dalam hal Data Pembanding Internal yang tersedia
sebagaimana dimaksud pada huruf b bersifat insidental, maka Data
Pembanding Internal dimaksud hanya dapat dipergunakan dalam transaksi
yang bersifat insidental antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Wajib
Pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil
kajian dalam melakukan Analisis Kesebandingan dan penentuan
pembanding, penggunaan Data Pembanding Internal dan/atau Data
Pembanding Eksternal serta menyimpan buku, dasar catatan, atau
dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 4A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
(1) Data
Pembanding Internal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam
transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Data
Pembanding Eksternal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam
transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak lain dengan
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(3) Data
Pembanding Internal dan Data Pembanding Eksternal harus memenuhi
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan.
(4) Dalam
hal Data Pembanding Internal telah memenuhi faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat kesebandingan, maka Data Pembanding Eksternal
tidak diperlukan.
(5) Data
Pembanding Eksternal dapat diperoleh dari database komersial maupun
database lainnya.
6. Ketentuan
Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Dalam
melakukan penilaian dan analisis fungsi (functional analysis)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, harus dilakukan
analisis dengan mengidentifikasi dan membandingkan kegiatan ekonomi
yang signifikan dan tanggung jawab utama yang diambil atau akan
diambil oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kegiatan
ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap signifikan dalam
hal kegiatan tersebut berpengaruh secara material pada harga yang
ditetapkan dan/atau laba yang diperoleh dari transaksi yang
dilakukan.
(3) Dalam
melakukan penilaian dan analisis fungsi, harus dipertimbangkan antara
lain:
a. struktur organisasi dan posisi perusahaan yang
diuji dalam kelompok usaha serta manajemen mata rantai (supply chain
management) kelompok usaha;
b. fungsi-fungsi utama yang dijalankan oleh suatu
perusahaan seperti desain, pengolahan, perakitan, penelitian,
pengembangan, pelayanan, pembelian, distribusi, pemasaran, promosi,
transportasi, keuangan, dan manajemen serta karakteristik utama
perusahaan seperti jasa maklon (toll manufacturing), manufaktur
dengan fungsi dan risiko terbatas (contract manufacturing), dan
manufaktur dengan fungsi dan risiko penuh (fully fledge
manufacturing);
c. jenis aktiva yang digunakan atau akan digunakan
seperti tanah, bangunan, peralatan, dan Harta Tidak Berwujud, serta
sifat dari aktiva tersebut seperti umur, harga pasar, dan lokasi;
d. risiko yang mungkin timbul dan harus ditanggung
oleh masing-masing pihak yang melakukan transaksi seperti risiko
pasar, risiko kerugian investasi, dan risiko keuangan.
7. Ketentuan
Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Dalam
melakukan penilaian dan analisis atas ketentuan-ketentuan dalam
kontrak/perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf
c, harus dilakukan analisis terhadap tingkat tanggung jawab, risiko,
dan keuntungan yang dibagi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa untuk dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam
kontrak/perjanjian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa, yang meliputi ketentuan tertulis dan
tidak tertulis.
(2) Dalam
hal tidak terdapat dokumen tertulis, hubungan kontrak para pihak
dapat ditentukan dari peran/perilaku para pihak atau prinsip ekonomi,
yang umumnya mengatur hubungan para pihak tersebut.
8. Ketentuan
Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Analisis
keadaan ekonomi diperlukan untuk memperoleh tingkat kesebandingan
dalam pasar tempat beroperasinya para pihak yang melakukan transaksi.
(2) Keadaan
ekonomi yang harus diidentifikasi untuk menentukan tingkat
kesebandingan pasar mencakup:
a. Lokasi
geografis;
b. ukuran
pasar;
c. tingkat persaingan dalam pasar serta posisi
persaingan antara penjual dan pembeli;
d. ketersediaan
barang atau jasa pengganti;
e. tingkat permintaan dan penawaran dalam pasar baik
secara keseluruhan maupun regional;
f. daya
beli konsumen;
g. sifat
dan cakupan peraturan pemerintah dalam pasar;
h. biaya produksi termasuk biaya tanah, upah tenaga
kerja, dan modal; biaya transportasi; dan tingkatan pasar;
i. tanggal
dan waktu transaksi; dan sebagainya.
9. Ketentuan
Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Dalam
penentuan metode Harga Wajar atau Laba Wajar wajib dilakukan kajian
untuk menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai
(The Most Appropiate Method).
(2) Metode
Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
dapat diterapkan adalah:
a. Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP);
b. Metode
Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM);
c. Metode
Biaya-Plus (Cost Plus Method);
d. Metode
Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM); atau
e. Metode
Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM).
(3) Metode
Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP) adalah metode Penentuan
Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dengan harga barang atau jasa dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam
kondisi atau keadaan yang sebanding.
(4) Metode
Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) adalah metode
Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga
dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut
setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset
dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk
yang dilakukan dalam kondisi wajar.
(5) Metode
Biaya-Plus (Cost Plus Method) adalah metode Penentuan Harga Transfer
yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang
diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang
diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa pada harga pokok penjualan yang
telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(6) Metode
Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) adalah metode Penentuan
Harga Transfer berbasis Laba Transaksional (Transactional Profit
Method Based) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan
atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang
dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian
laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan
antar pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dengan
menggunakan Metode Kontribusi (Contribution Profit Split Method) atau
Metode Sisa Pembagian Laba (Residual Profit Split Method).
(7) Metode
Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin method/TNMM)
adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan
membandingkan presentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap
penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas
transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan
presentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi
sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi
sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa lainnya.
(8) Dalam
menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), wajib diperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. kelebihan
dan kekurangan setiap metode;
b. kesesuaian metode Penentuan Harga Transfer dengan
sifat dasar transaksi antar pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa,
yang ditentukan berdasarkan analisis fungsional;
c. ketersediaan informasi yang handal (sehubungan
dengan transaksi antar pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa)
untuk menerapkan metode yang dipilih dan/atau metode lain;
d. tingkat kesebandingan antara transaksi antar pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antar pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa, termasuk kehandalan penyesuaian
yang dilakukan untuk menghilangkan pengaruh yang material dari
perbedaan yang ada.
(9) Kondisi
yang tepat dalam menerapkan Metode Perbandingan Harga antara pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled
Price/CUP) antara lain adalah:
a. barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki
karakteristik yang identik dalam kondisi yang sebanding; atau
b. kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak
memiliki Hubungan Istimewa Identik atau memiliki tingkat
kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan penyesuaian yang
akurat untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi yang
timbul.
(10) Kondisi
yang tepat dalam menerapkan Metode Harga Penjualan Kembali (Resale
Price Method/RPM) antara lain adalah:
a. tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi
antara Wajib Pajak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi
antara Wajib Pajak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya
tingkat kesebandingan berdasarkan hasil analisis fungsi, meskipun
barang atau jasa yang diperjualbelikan berbeda; dan
b. pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan
nilai tambah yang signifikan atas barang atau jasa yang
diperjualbelikan.
(11) Kondisi
yang tepat dalam menerapkan Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method)
antara lain adalah:
a. barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa;
b. terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas
bersama (joint facility agreement) atau kontrak jual-beli jangka
panjang (long term buy and supply agreement) antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa; atau
c. bentuk
transaksi adalah penyediaan jasa.
(12) Metode
Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) secara khusus hanya dapat
diterapkan dalam kondisi sebagai berikut:
a. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa sangat terkait satu sama lain sehingga tidak
dimungkinkan untuk dilakukan kajian secara terpisah; atau
b. terdapat barang tidak berwujud yang unik antara
pihak-pihak yang bertransaksi yang menyebabkan kesulitan dalam
menemukan data pembanding yang tepat.
(13) Kondisi
yang tepat dalam menerapkan Metode Laba Bersih Transaksional
(Transactional Net Margin Method/TNMM) antara lain adalah:
a. salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa
melakukan kontribusi yang khusus; atau
b. salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa
melakukan transaksi yang kompleks dan memiliki transaksi yang
berhubungan satu sama lain.
(14) Wajib
Pajak wajib mendokumentasikan kajian yang dilakukan dan menyimpan
buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
10. Pasal
12 dihapus.
11. Ketentuan
Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi jasa
yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa.
(2) Transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap memenuhi Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan:
a. penyerahan
atau perolehan jasa benar-benar terjadi;
b. nilai transaksi jasa antara pihak-pihak yang
mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa sama dengan nilai transaksi
jasa yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding, atau yang dilakukan
sendiri oleh Wajib Pajak untuk keperluannya;
(3) Penyerahan
atau perolehan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dianggap benar-benar terjadi apabila terdapat manfaat ekonomis atau
komersial yang dapat menambah nilai atas penyerahan atau perolehan
jasa dimaksud.
(4) Dalam
menentukan nilai transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b harus diterapkan melalui Analisis Kesebandingan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9
dan Pasal 10.
(5) Transaksi
jasa antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
dianggap tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam
hal transaksi jasa terjadi hanya karena terdapat kepemilikan
perusahaan induk pada salah satu atau beberapa perusahaan yang berada
dalam satu kelompok usaha.
(6) Transaksi
jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk biaya atau
pengeluaran yang terjadi sehubungan dengan:
a. kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan induk,
seperti rapat pemegang saham perusahaan induk, penerbitan saham oleh
perusahaan induk, dan biaya pengurus perusahaan induk;
b. kewajiban pelaporan perusahaan induk, termasuk
laporan keuangan konsolidasi perusahaan induk, kecuali terdapat bukti
mengenai adanya manfaat yang terukur yang dinikmati oleh Wajib Pajak;
c. perolehan dana/modal yang dipergunakan untuk
pengambilalihan kepemilikan perusahaan dalam kelompok usaha, kecuali
pengambilalihan tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak dan manfaatnya
dinikmati oleh Wajib Pajak.
12. Ketentuan
Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi
pemanfaatan dan pengalihan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan oleh
Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Harta
Tidak Berwujud (Intangibles) adalah suatu aktiva yang pada umumnya
memiliki masa manfaat yang panjang dan tidak mempunyai bentuk fisik
serta memiliki kegunaan dalam kegiatan operasi perusahaan dan
penggunaannya tidak untuk dijual kembali, seperti paten, hak cipta
atau merek dagang.
(3) Harta
Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Harta
Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Perdagangan (Trade
Intangibles) dan Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi
Pemasaran (Marketing Intangibles).
(4) Harta
Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Perdagangan (Trade
Intangibles) pada umumnya terjadi melalui kegiatan riset dan
pengembangan yang berisiko dan mahal, sehingga pemiliknya berusaha
mengganti pengeluaran tersebut melalui penjualan barang, perjanjian
lisensi atau kontrak jasa.
(5) Harta
Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Pemasaran (Marketing
Intangibles) meliputi antara lain merek dagang atau nama dagang yang
membantu meningkatkan pemasaran dari barang dan jasa, daftar
pelanggan, dan saluran distribusi.
(6) Merek
Dagang adalah nama, simbol atau gambar yang unik yang dimiliki
sebagai identitas dari suatu barang atau jasa tertentu yang
dihasilkan oleh pabrikan atau dealer, dimana penggunaannya oleh pihak
lain diatur oleh hukum domestik atau hukum internasional.
(7) Transaksi
pemanfaatan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak
dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan:
a. transaksi
pemanfaatan Harta Tidak Berwujud benar-benar terjadi;
b. terdapat
manfaat ekonomis atau komersial; dan
c. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa mempunyai nilai yang sama dengan transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
yang mempunyai kondisi yang sebanding dengan menerapkan Analisis
Kesebandingan dan menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang
tepat ke dalam transaksi.
(8) Transaksi
pengalihan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak
dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan:
a. transaksi
pengalihan Harta Tidak Berwujud benar-benar terjadi; dan
b. nilai pengalihan Harta Tidak Berwujud antara
pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa sama dengan
nilai pengalihan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai
kondisi yang sebanding.
(9) Dalam
melakukan Analisis Kesebandingan untuk transaksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) dan ayat (9) harus dipertimbangkan antara lain:
a. keterbatasan
geografis dalam pemanfaatan hak atas Harta Tidak Berwujud;
b. eksklusifitas
hak yang dialihkan; dan
c. keberadaan hak pihak yang memperolah Harta Tak
Berwujud untuk turut serta dalam pengembangan harta dimaksud.
13. Diantara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17A
(1) Kesepakatan
Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements) adalah kesepakatan
yang dibuat oleh para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk
berbagi risiko dari mengembangkan, menghasilkan atau mendapatkan
aset, jasa atau hak, dan untuk menentukan fungsi dan peranan para
pihak dalam kesepakatan atas aset, jasa atau hak dimaksud.
(2) Para
pihak dalam Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution
Arrangements) berhak untuk mendapatkan manfaat pelaksanaan
Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements)
sebagai pemilik efektif (effective owners).
(3) Dalam
hal terdapat Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution
Arrangements), maka kontribusi biaya antara para pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa harus sama dibandingkan dengan kontribusi biaya
dalam kesepakatan yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa.
14. Ketentuan
Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Wajib
Pajak wajib menyelenggarakan dan menyimpan buku, catatan, dan dokumen
yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Undang-Undang KUP dan peraturan
pelaksanaannya.
(2) Termasuk
dalam pengertian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
dokumen yang menjadi dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha pada transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa.
(3) Wajib
Pajak wajib menyampaikan dokumentasi dalam melaporkan transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang terdiri dari satu set
dokumen induk dan satu set lampiran dari dokumen induk.
(4) Wajib
Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen yang
disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut
mendukung penggunaan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar
yang dipilih, termasuk laporan keuangan yang tersegmentasi.
(5) Dokumen
penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang harus disediakan oleh
Wajib Pajak sekurang-kurangnya mencakup:
a. gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur
kelompok usaha, struktur kepemilikan, struktur organisasi,
aspek-aspek operasional kegiatan usaha, daftar pesaing usaha, dan
gambaran lingkungan usaha;
b. kebijakan
penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya;
c. hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik
produk yang diperjualbelikan, hasil analisis fungsional, kondisi
ekonomi, ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian, dan strategi
usaha.
d. pembanding
yang terpilih;
e. catatan mengenai penerapan metode penentuan Harga
Wajar atau Laba Wajar yang dipilih oleh Wajib Pajak serta alasan
penolakan metode yang tidak dipilih.
15. Ketentuan
Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Direktur
Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa.
(2) Kewenangan
Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan apabila Wajib Pajak telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha dalam transaksi yang dilakukan dengan pihak-pihak
yang memiliki Hubungan Istimewa.
(3) Penghitungan
kembali besarnya penghasilan dan pengurangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan metode dan dokumen
penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang diterapkan oleh Wajib
Pajak.
(4) Dalam
hal Wajib Pajak tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai
dan/atau menunjukkan dokumen pendukung penerapan Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini, Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan
Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan data atau dokumen lain dan
metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dinilai tepat oleh
Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangan berdasarkan Pasal
13 ayat (1) Undang-Undang KUP.
16. Ketentuan
Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Direktur
Jenderal Pajak berwenang melakukan penyesuaian (correlative
adjustment) terhadap penghitungan Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak
sebagai tindak lanjut atas suatu penyesuaian (primary adjustment)
yang dilakukan oleh:
a. Direktur Jenderal Pajak atas penghitungan
penghasilan dan pengurangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam
negeri lainnya termasuk Bentuk Usaha Tetap yang menjadi lawan
transaksi Wajib Pajak; atau
b. otoritas pajak negara lain atas penghitungan
penghasilan dan pengurangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak negara
tersebut yang menjadi lawan transaksi Wajib Pajak dalam negeri
termasuk Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
(2) Atas
penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak negara lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Wajib Pajak tidak
diperkenankan untuk melakukan sendiri penyesuaian penghitungan
pajaknya.
17. Ketentuan
Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Wajib
Pajak dapat mengajukan permohonan Prosedur Persetujuan Bersama
(Mutual Agreement Procedure/MAP) kepada Direktur Jenderal Pajak
sesuai ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau
P3B untuk menyelesaikan sengketa perpajakan yang menyangkut penerapan
ketentuan dalam P3B sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk
dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui penyesuaian yang dilakukan
oleh otoritas pajak di negara mitra P3B terhadap Wajib Pajak yang
menjadi lawan transaksinya.
(2) Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah
perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah
negara/jurisdiksi lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan
pencegahan pengelakan pajak.
(3) Prosedur
Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah prosedur administratif yang dilakukan
oleh pejabat yang berwenang dari Indonesia dengan pejabat yang
berwenang dari negara mitra P3B untuk menyelesaikan sengketa
perpajakan yang timbul sehubungan dengan penerapan P3B.
18. Ketentuan
Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Wajib
Pajak dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer (Advance
Pricing Agreement/APA) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, sebagai upaya menghindari permasalahan yang
mungkin timbul dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak
dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kesepakatan
Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal
Pajak dengan Wajib Pajak atau antara Direktur Jenderal Pajak dengan
otoritas perpajakan negara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (3a) Undang-Undang PPh.
Pasal II
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 11 November 2011
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
A. FUAD
RAHMANY
mau bertanya tentang cara isi form dgt-1 bisa mba Lina?
BalasHapus