SURAT
EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR
SE-53/PJ/2009 TANGGAL 25 MEI 2009
TENTANG
JUMLAH
BRUTO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2
UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 36 TAHUN 2008
Sehubungan
dengan banyaknya pertanyaan mengenai jumlah bruto sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor
7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dengan
ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor
7 TAHUN 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
mengatur bahwa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,
jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dipotong Pajak Penghasilan oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar
2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai.
2. Yang dimaksud dengan jumlah bruto sebagaimana
dimaksud pada butir 1 adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan,
atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek
pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak
dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk:
a. pembayaran
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia
tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan,
berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
b. pembayaran
atas pengadaan/pembelian barang atau material;
c. pembayaran
kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan
kepada pihak ketiga;
d. pembayaran
penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran
sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua
kepada pihak ketiga.
3. Jumlah
bruto sebagaimana dimaksud dalam butir 2 tidak berlaku:
a. atas
penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering; atau
b. dalam
hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa sebagaimana
dimaksud dalam butir 1, telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final.
4. Pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam butir 2 harus dapat dibuktikan dengan:
a. kontrak
kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf a;
b. faktur
pembelian barang atau material sebagaimana dimaksud dalam butir 2
huruf b;
c. faktur
tagihan dari pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis
sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf c;
d. faktur
tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan oleh pihak kedua
kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf d.
5. Untuk memberikan kejelasan, contoh penerapan jumlah
bruto dalam penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah
sebagaimana terdapat dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
Demikian
untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 25 Mei 2009
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
DARMIN
NASUTION
LAMPIRAN:
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR
SE-53/PJ/2009 TENTANG JUMLAH BRUTO ATAS IMBALAN JASA LAIN SEBAGAIMANA
DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 Undang-Undang nomor
7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA
KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008
1. PT Sumber Tenaga merupakan perusahaan penyedia tenaga
kerja. PT Sumber Tenaga mendapat kontrak dari PT Maju Terus untuk
menyediakan tenaga kerja pemasaran sebanyak 20 orang dengan mendapat
imbalan jasa sebesar Rp20.000.000,- Tenaga kerja tersebut selanjutnya
menjadi pegawai PT Maju Terus.
Atas pembayaran yang dilakukan PT Maju Terus kepada PT
Sumber Tenaga dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Maju Terus sebesar:
2% x
Rp20.000.000,- = Rp400.000,-
2. PT Aman Jaya merupakan perusahaan penyedia tenaga
kerja untuk keamanan (satpam). PT Aman Jaya mendapat kontrak
penyediaan tenaga kerja satpam sebanyak 20 orang dari PT Dwi Makmur.
Tenaga kerja satpam tersebut tetap merupakan pegawai PT Aman Jaya.
Dalam Kontrak disepakati bahwa pembayaran atas penyerahan jasa oleh
PT Aman Jaya terdiri dari gaji untuk 20 orang satpam per bulan
sebesar Rp20.000.000,00 dan imbalan atas jasa penyediaan satpam per
bulan sebesar Rp2.000.000,-.
a. Rincian
tagihan PT Aman Jaya kepada PT Dwi Makmur:
Pembayaran
gaji 20 orang satpam ................... Rp20.000.000,-
Imbalan
Jasa .................................................. Rp
2.000.000,-
b. Atas
pembayaran yang dilakukan PT Dwi Makmur kepada PT Aman jaya dipotong
PPh Pasal 23 oleh PT Dwi Makmur sebesar:
2% x
Rp2.000.000,- = Rp40.000,-
c. Dalam
hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka
jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar
Rp22.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Dwi
Makmur atas pembayaran kepada PT Aman Jaya adalah sebesar:
2% x
Rp22.000.000,- = Rp440.000,-
3. PT Megah (pihak pertama) melakukan kontrak dengan PT
Satu Sarana selaku perusahaan agen periklanan (pihak kedua) untuk
membuat iklan sekaligus memasang iklan pada perusahaan media (pihak
ketiga). Nilai kontrak yang telah disepakati adalah sebesar
Rp103.000.000,-.
a. Rincian
tagihan PT Satu Sarana kepada PT Megah adalah:
1) pembelian
material untuk pembuatan iklan
......................... Rp15.000.000,-
2) jasa
konsultan (terkait pembuatan dan pemasangan iklan).... Rp 5.000.000,-
3) Fee
agen
........................................................................... Rp
3.000.000,-
4) biaya
pemasangan iklan ke perusahaan media……………………. Rp80.000.000,-
b. Pemotongan
PPh Pasal 23 yang dilakukan PT Satu Sarana atas pembayaran jasa
pemasangan iklan kepada perusahaan media adalah sebesar:
2% x
Rp80.000.000,- = Rp1.600.000,-
c. Pemotongan
PPh Pasal 23 yang dilakukan PT Megah atas pembayaran jasa konsultasi
dan jasa keagenan kepada PT Satu Sarana adalah sebesar:
1) 2% x
Rp5.000.000,- = Rp100.000,- untuk jasa konsultasi; dan
2) 2% x
Rp3.000.000,- = Rp 60.000,- untuk jasa keagenan
d. Dalam
hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka
jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar
Rp103.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT
Megah atas pembayaran kepada PT Satu Sarana adalah sebesar:
2% x
Rp103.000.000,- = Rp2.060.000,-
4. PT Terang mengikat kontrak dengan PT Garmindo untuk
pembuatan seragam kantor PT Terang berdasarkan model dan spesifikasi
yang telah ditentukan oleh PT Terang. Dalam kontrak disepakati bahwa
PT Terang akan menyediakan bahan baku utama berupa kain dan PT
Garmindo akan menyediakan bahan tambahan. Imbalan yang disepakati
atas kontrak tersebut adalah sebesar Rp25.000.000,- tidak termasuk
biaya bahan tambahan. PT Garmindo mengeluarkan biaya sebesar
Rp5.000.000,- untuk bahan tambahan.
a. Rincian
tagihan PT Garmindo kepada PT Terang:
Biaya
untuk bahan tambahan ...................................... Rp
5.000.000,-
Imbalan
Jasa
maklon.................................................. Rp25.000.000,-
b. Atas
pembayaran yang dilakukan PT Terang kepada PT Garmindo dipotong PPh
Pasal 23 oleh PT Terang sebesar:
2% x
Rp25.000.000,- = Rp500.000,-
c. Dalam
hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka
jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar
Rp30.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT
Terang atas pembayaran kepada PT Garmindo adalah sebesar:
2% x
Rp30.000.000,- = Rp600.000,-
5. Untuk acara pembukaan cabang baru, PT Abadi meminta
CV Sedap yang bergerak di bidang pengadaan catering untuk menyediakan
makanan yang terdiri dari makanan pembuka, makanan utama, dan makanan
penutup untuk sekitar 500 orang. Kontrak yang disepakati untuk
pengadaan catering tersebut adalah Rp20.000.000,-. Atas pembayaran
yang dilakukan PT Abadi kepada CV Sedap dipotong PPh Pasal 23 oleh PT
Abadi sebesar:
2% x
Rp20.000.000,- = Rp400.000,-
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
DARMIN
NASUTION
NIP
130605098
SURAT
EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR
SE-58/PJ/2009 TANGGAL 04 JUNI 2009
TENTANG
PENYAMPAIAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-33/PJ/2009 TENTANG
PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA ROYALTI DARI
HASIL KARYA SINEMATOGRAFI
Sehubungan
dengan telah ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-33/PJ/2009 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan
Berupa Royalti Dari Hasil Karya Sinematografi, dengan ini disampaikan
hal-hal sebagai berikut:
1. Dalam
peraturan perundang-undangan di bidang hak cipta dijelaskan antara
lain:
a. Hak cipta adalah merupakan hak eksklusif bagi
pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan
dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran,
penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan
menggunakan alat apa pun termasuk media internet, atau melakukan
dengan cara apa pun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar,
atau dilihat orang lain;
c. Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu ciptaan,
baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan
menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk
mengalihwujudkan secara permanen atau temporer;
d. Hak cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights)
dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak untuk
mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk hak terkait.
Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang
tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun
hak cipta atau hak terkait telah dialihkan;
e. Pemegang hak cipta atas Karya Sinematografi memiliki
hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa
persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang
bersifat komersial;
f. Karya Sinematografi yang merupakan media komunikasi
massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi : film
dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan
skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam
pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau
media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di
layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di media lainnya. Karya
serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau
perorangan;
g. Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik
hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau
pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima
hak tersebut;
h. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak
cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan
dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan
persyaratan tertentu;
i. Pengertian "mengumumkan atau memperbanyak",
termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen,
mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor,
memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan
mengomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.
2. Pemanfaatan hasil Karya Sinematografi dapat dilakukan
melalui suatu perjanjian penggunaan hasil Karya Sinematografi, yaitu:
a. dengan pemindahan seluruh hak cipta tanpa persyaratan
tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban pembayaran kompensasi di
kemudian hari;
b. dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil
Karya Sinematografi kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau
memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya, dengan
persyaratan tertentu seperti penggunaan Karya Sinematografi untuk
jangka waktu atau wilayah tertentu;
c. dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil
Karya Sinematografi kepada pihak lain untuk mengumumkan ciptaannya
dengan menggunakan pola bagi hasil antara pemegang hak cipta dan
pengusaha bioskop; atau
d. dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil
Karya Sinematografi kepada pihak lain tanpa hak untuk mengumumkan
dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya.
3. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak
cipta dari penggunaan hasil Karya Sinematografi sebagaimana dimaksud
dalam butir 2 huruf a dan huruf d, tidak termasuk dalam pengertian
royalti.
4. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak
cipta dari pemberian hak menggunakan hak cipta kepada pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b dan huruf c, termasuk
dalam pengertian royalti.
5. Jumlah royalti sebagaimana dimaksud dalam butir 4
yang menjadi dasar pengenaan Pajak Penghasilan adalah:
a. sebesar seluruh penghasilan yang diterima atau
diperoleh pemegang hak cipta dalam hal pemanfaatan dilakukan dengan
cara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b; dan
b. sebesar 10% dari bagi hasil dalam hal pemanfaatan
dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf c.
6. Besarnya
PPh atas royalti sebagaimana dimaksud dalam butir 5 adalah:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto
atas royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak
Penghasilan, atau
b. sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan
atau menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda yang terkait.
7. Surat Keputusan Bersama Direktur Jenderal Pajak
Departemen Keuangan dan Direktur Jenderal Radio-Televisi-Film
Departemen Penerangan Nomor
KEP-266/PJ.2/1978
______________________
11/KEP/DIRJEN/RTF/1978
tanggal 23 Maret 1978 tentang Tata-Cara Pelaksanaan
Pemungutan Pajak Atas Bunga, Dividen dan Royalty (PBDR) Atas Royalty
Penggunaan Hak Edar Film lmpor, karena bertentangan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan maka
surat keputusan tersebut sudah tidak berlaku sejak diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tersebut.
Demikian
untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 04 Juni 2009
DIREKTUR
JENDERAL
ttd
DARMIN
NASUTION
SURAT
EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR
SE-35/PJ/2010 TANGGAL 9 MARET 2010
TENTANG
PENGERTIAN
SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA, JASA
TEKNIK, JASA MANAJEMEN, DAN JASA KONSULTAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM
PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PENGHASILAN
Sehubungan
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan, Pasal 23 Undang-Undang tersebut antara lain mengatur
bahwa penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa konsultan,
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh pihak yang wajib
membayarkan. Dalam rangka untuk memberikan kesamaan pemahaman atas
pengertian sewa dan penggunaan harta serta jasa-jasa tersebut, perlu
diberikan penegasan sebagai berikut:
1. Pasal 23 ayat (1) huruf c UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN
1983 tentang Pajak Penghasilan mengatur bahwa atas penghasilan
tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau
bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan,
sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa
yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21.
2. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf a merupakan
penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan
kesepakatan untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka
waktu tertentu baik dengan perjanjian tertulis maupun tidak tertulis
sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan oleh penerima hak
selama jangka waktu yang telah disepakati.
3. Jasa teknik sebagaimana dimaksud butir 1 huruf b
merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang
berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan
ilmu pengetahuan yang dapat meliputi:
a. pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek
tertentu, seperti pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan
gelombang seismik;
b. pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis
produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam bentuk
gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan
sebagainya; atau
c. pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman
di bidang manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan
atau seminar dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh
pengguna jasa.
4. Jasa manajemen sebagaimana dimaksud butir 1 huruf b
merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam
pelaksanaan atau pengelolaan manajemen.
5. Jasa konsultan sebagaimana dimaksud butir 1 huruf b
merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau nasihat)
profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang
dilakukan oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak
disertai dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam
pelaksanaannya.
Demikian
untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 9 Maret 2010
DIREKTUR
JENDERAL
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
SURAT
EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR
SE-11/PJ/2011 TANGGAL 20 JANUARI 2011
TENTANG
PELAKSANAAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-1/PJ/2011 TENTANG TATA
CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU
PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN OLEH PIHAK LAIN
Sehubungan
dengan telah ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-1/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan dari
Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan oleh Pihak Lain,
dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Wajib Pajak yang dapat mengajukan permohonan
pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
adalah:
a. Wajib
Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan
terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal, dalam
hal:
1) Wajib
Pajak yang baru berdiri dan masih dalam tahap investasi;
2) Wajib
Pajak belum sampai pada tahap produksi komersial; atau
3) Wajib Pajak mengalami suatu peristiwa yang berada
di luar kemampuan (force majeur).
b. Wajib
Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan
terutang Pajak Penghasilan karena berhak melakukan kompensasi
kerugian fiskal.
c. Wajib
Pajak yang dapat membuktikan Pajak Penghasilan yang telah dan akan
dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang.
d. Wajib
Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenakan pajak bersifat
final.
2. Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 tidak
berlaku terhadap pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
yang bersifat final.
3. Wajib Pajak yang baru berdiri sebagaimana dimaksud
dalam butir 1 huruf a angka 1) adalah Wajib Pajak yang baru berdiri
dalam tahun pajak berjalan.
4. Besarnya kompensasi kerugian fiskal sebagaimana
dimaksud dalam butir 1 huruf b adalah kerugian tahun-tahun pajak
sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan yang tercantum dalam
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan atau surat
ketetapan pajak.
5. Dalam hal Wajib Pajak mendapat Surat Keputusan
Keberatan atau Putusan Banding maka besarnya kompensasi kerugian
fiskal sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf b adalah kerugian
tahun-tahun pajak sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan yang
tercantum dalam Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
6. Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar
sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf c merupakan Pajak
Penghasilan yang bersifat tidak final yang telah dan akan dilunasi
oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan
pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib
Pajak sendiri.
7. Syarat-syarat pengajuan permohonan pembebasan dari
pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan:
a. Permohonan
diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
tempat Wajib Pajak terdaftar dengan menggunakan formulir yang telah
ditetapkan.
b. Satu
permohonan diajukan untuk setiap jenis pemotongan dan/atau pemungutan
PPh Pasal 21, Pasal 22 Impor, Pasal 22 selain Impor, dan Pasal 23.
c. Setiap
permohonan dilampiri dengan penghitungan Pajak Penghasilan yang
diperkirakan akan terutang untuk tahun pajak diajukannya permohonan,
kecuali bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf d.
d. Wajib
Pajak telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak
terakhir sebelum tahun diajukan permohonan, kecuali bagi Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf a angka 1).
8. Penghitungan Pajak Penghasilan yang diperkirakan akan
terutang sebagaimana dimaksud dalam butir 7 huruf c paling sedikit
harus memuat:
a. peredaran
usaha dan luar usaha tahun berjalan serta perkiraan peredaran usaha
dan luar usaha dalam satu tahun pajak;
b. biaya
fiskal tahun berjalan dan perkiraan biaya fiskal dalam satu tahun
pajak, kecuali bagi Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan
penghasilan neto;
c. perkiraan
Pajak Penghasilan yang akan terutang dalam satu tahun pajak;
d. Pajak
Penghasilan yang telah dipotong/dipungut dan/atau dibayar sendiri
dalam tahun berjalan; dan
e. perkiraan
Pajak Penghasilan yang akan dipotong/dipungut dan/atau dibayar
sendiri dalam tahun berjalan.
9. Dalam hal SPT Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam butir 7 huruf d belum disampaikan karena Wajib Pajak
menyampaikan pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan Pajak Penghasilan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan maka Wajib Pajak yang
bersangkutan dianggap telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam butir 7 huruf d.
10. Kepala KPP harus memberikan keputusan atas
permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan, dengan menerbitkan:
a. Surat
Keterangan Bebas (SKB); atau
b. surat
penolakan permohonan SKB,
dalam
jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan
diterima secara lengkap.
11. Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam butir 7 dan butir 8, Kepala KPP harus
menerbitkan surat penolakan permohonan SKB.
12. Wajib Pajak yang telah mendapat surat penolakan
permohonan SKB sehubungan dengan tidak terpenuhinya persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam butir 7 dan butir 8, dapat mengajukan
kembali permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan.
13. Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja
sebagaimana dimaksud dalam butir 10 Kepala KPP belum memberikan
keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
14. Dalam hal permohonan Wajib Pajak dianggap diterima
sebagaimana dimaksud dalam butir 13, Kepala KPP wajib menerbitkan SKB
dalam jangka waktu 2 (dua) hari kerja setelah jangka waktu 5 (lima)
hari kerja sebagaimana dimaksud dalam butir 10 terlewati.
15. Dalam hal Wajib Pajak yang telah mendapat SKB
melakukan transaksi dengan lebih dari satu pemotong dan/atau pemungut
pajak maka Wajib Pajak dapat menggunakan fotokopi SKB yang telah
dilegalisasi oleh KPP yang menerbitkan SKB.
16. Tata
cara legalisasi atas fotokopi SKB dilakukan sebagai berikut:
a. Wajib
Pajak mengajukan permohonan legalisasi SKB secara tertulis kepada
Kepala KPP yang menerbitkan SKB dengan mencantumkan nama dan NPWP
pemotong dan/atau pemungut pajak.
b. Kepala
KPP harus melakukan legalisasi dalam jangka waktu paling lama 1
(satu) hari kerja sejak permohonan legalisasi diterima.
17. SKB berlaku sejak tanggal diterbitkan sampai dengan
tanggal terakhir tahun pajak yang bersangkutan.
18. Apabila berdasarkan penelitian terhadap Wajib Pajak
yang telah mendapatkan SKB dapat dibuktikan bahwa Pajak Penghasilan
yang akan terutang lebih besar dari pada Pajak Penghasilan yang telah
dan akan dibayar dalam tahun berjalan maka Kepala KPP dapat melakukan
penyesuaian terhadap besarnya angsuran pajak yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan sesuai ketentuan Pasal
25 ayat (6) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
19. Prosedur penyelesaian permohonan pembebasan dari
pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain
adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak ini.
20. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
diminta untuk melakukan sosialisasi dan pengawasan atas pelaksanaan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2011 tentang Tata
Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan dari Pemotongan dan/atau
Pemungutan Pajak Penghasilan oleh Pihak Lain oleh KPP yang berada di
wilayah kerjanya.
Demikian
untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 20 Januari 2011
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
LAMPIRAN SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE-11/PJ/2011 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
PAJAK NOMOR PER-1/PJ/2011 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN
PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN OLEH
PIHAK LAIN
PROSEDUR
PENYELESAIAN PERMOHONAN PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN
DAN/ATAU
PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN OLEH PIHAK LAIN
1. Wajib Pajak mengajukan permohonan Surat Keterangan
Bebas (SKB) Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan beserta
kelengkapannya kepada KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dengan
menggunakan formulir yang telah ditetapkan.
2. Petugas TPT menerima permohonan SKB Pemotongan
dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan dan mencetak BPS dan LPAD. BPS
diserahkan kepada Wajib Pajak sedangkan LPAD digabungkan dengan surat
permohonan beserta kelengkapannya. Petuqas TPT kemudian merekam surat
permohonan dan dilanjutkan dengan meneruskan surat permohonan beserta
kelengkapannya ke Account Representative.
3. Account Representative membuat dan menandatangani
Uraian Penelitian Permohonan serta membuat konsep SKB atau surat
penolakan permohonan SKB, kemudian meneruskan kepada Kepala Seksi
Pengawasan dan Konsultasi.
4. Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi meneliti,
menandatangani Uraian Penelitian Permohonan, dan memberikan
persetujuan (approve) atas
penerbitan SKB atau surat penolakan permohonan SKB, kemudian
meneruskan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
5. Kepala Kantor Pelayanan Pajak menelaah,
menandatangani Uraian Penelitian Permohonan, dan memberikan
persetujuan (approve) atas penerbitan SKB atau surat penolakan
permohonan SKB.
6. Kepala Seksi Pelayanan menerima uraian penelitian
permohonan dan menugaskan Pelaksana Seksi Pelayanan untuk mencetak
SKB atau surat penolakan permohonan SKB.
7. Pelaksana Seksi Pelayanan melakukan pencetakan konsep
SKB atau surat penolakan permohonan SKB, kemudian menyampaikannya
kepada Kepala Seksi Pelayanan.
8. Kepala Seksi Pelayanan meneliti dan memaraf SKB atau
surat penolakan permohonan SKB, kemu dian menyampaikannya kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
9. Kepala Kantor Pelayanan Pajak menyetujui dan
menandatangani SKB atau surat penolakan permohonan SKB.
10. SKB atau Surat Penolakan Permohonan SKB
ditatausahakan di Seksi Pelayanan (SOP Tata Cara Penatausahaan
Dokumen Wajib Pajak) dan disampaikan kepada pihak-pihak terkait
melalui Subbagian Umum (SOP Tata Cara Penyampaian Dokumen di KPP).
11. Jangka waktu penyelesaian paling lama 5 (lima) hari
kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
NIP
1951042819751212002
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
100/PMK.03/2011 TANGGAL 11 JULI 2011
TENTANG
TATA CARA
PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS SURPLUS BANK
INDONESIA
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) PERATURAN PEMERINTAH
nomor 94 TAHUN 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan dan
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Surplus Bank Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. PERATURAN PEMERINTAH nomor 94 TAHUN 2010 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan
Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
4. Keputusan
Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK
PENGHASILAN ATAS SURPLUS BANK INDONESIA.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang nomor
6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 16 TAHUN 2009.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya
disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
Pasal 2
(1) Surplus
Bank Indonesia merupakan objek Pajak Penghasilan.
(2) Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah surplus Bank
Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan
penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang PPh
dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.
(3) Laporan keuangan audit sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) merupakan hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan.
(4) Penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang PPh dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan atas:
a. pengakuan
keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing;
b. penyisihan
aktiva; dan
c. penyusutan
aktiva tetap.
Pasal 3
(1) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a, diakui
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat
asas sesuai dengan Pedoman Akuntansi Keuangan Bank Indonesia.
(2) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diakui sebagai
penghasilan atau yang dibebankan sebagai biaya dalam menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah keuntungan atau kerugian
selisih kurs mata uang asing yang telah direalisasi, yang diperoleh
dari selisih antara kurs jual mata uang asing pada tanggal transaksi
dengan harga perolehan rata-rata.
Pasal 4
(1) Penyisihan aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (4) huruf b, dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak.
(2) Penyisihan aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dilakukan terhadap piutang tak tertagih berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sebagaimana
diatur dalam Pedoman Akuntansi Keuangan Bank Indonesia.
(3) Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak
tertagih.
(4) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih
seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jumlah kelebihan cadangan
tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih
dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut
diperhitungkan sebagai kerugian.
Pasal 5
Penyusutan
aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf c atas
pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang PPh beserta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 6
(1) Atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang diperoleh
sebelum Tahun Pajak 2009, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dasar
penyusutan sejak Tahun Pajak 2009 menggunakan nilai sisa buku per
tanggal 31 Desember 2008 sesuai dengan Pedoman Akuntansi Keuangan
Bank Indonesia; dan
b. nilai
sisa buku per tanggal 31 Desember 2008 dianggap sebagai harga
perolehan Tahun Pajak 2009 dengan menggunakan kelompok harta berwujud
sesuai masa manfaat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh.
(2) Atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dibiayakan
sekaligus dan perolehan harta berwujud dimaksud sebelum Tahun Pajak
2009, diperlakukan sebagai biaya pada tahun pengeluaran.
(3) Atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dibiayakan
sekaligus dan perolehan harta berwujud dimaksud sejak Tahun Pajak
2009, pembebanan harta berwujud dimaksud dilakukan melalui penyusutan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh beserta peraturan
pelaksanaannya.
Pasal 7
Penyesuaian
atau koreksi fiskal yang terkait dengan surplus Bank Indonesia yang
tidak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, mengikuti
peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan yang berlaku
secara umum.
Pasal 8
(1) Besarnya angsuran pajak dalam Tahun Pajak berjalan
yang harus dibayar sendiri oleh Bank Indonesia untuk setiap bulan
adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan
tarif umum atas surplus Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) menurut Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) Tahun
Pajak yang bersangkutan yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dikurangi dengan:
a. Pajak
Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
Undang-Undang PPh serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang PPh; dan
b. Pajak
Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang PPh,
dibagi
12 (dua belas).
(2) Jika dalam Tahun Pajak berjalan terdapat perubahan
atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) yang telah disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, besarnya angsuran pajak dalam Tahun Pajak
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Bank Indonesia dihitung
kembali berdasarkan perubahan atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia
(ATBI) tersebut dan berlaku mulai Masa Pajak berikutnya setelah bulan
disetujuinya perubahan atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI).
Pasal 9
Kekurangan
pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan, paling lambat
pada batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang KUP beserta
peraturan pelaksanaannya.
Pasal 10
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 11 Juli 2011
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 11 Juli 2011
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 396
saya punya perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa bongkar muat, kami mempunyai tagihan kepada pihak shipper senilai 3000/tonase diluar ppn, kami mengerjakan tidak sendiri ada pihak koperasi tenaga kerja bongkar muat yang kerja juga disana, dengan tarif 2750/tonase, keuntungan kami cuman 250/tonase, misalkan kami mengerjakan 1 kapal dengan muatan 50.000 MT, 50.000 x 3.000 = 150.000.000, invoice kami 10% dibebankan kepada pihak shipper, 10% x 150.000.000 = 15.000.000, shipper membayar kami dengan nilai 165.000.000, kemudian kami membayarkan kepada pihak koperasi 50.000 x 2.750 = 137.500.000, income ke perusahan kami cuma senilai 50.000 x 250 = 12.500.000, dan pajak ppn selalu kami bayarkan setiap ada pembayaran, nah pertanyaannya bagaimana kami menghitung pph 23 2% nya, dengan perhitungan tersebut 2% × 150.000.000 = 3.000.000, jadi pendapatan kami senilai 9.500.000 aja? apakah benar perhitungan saya
BalasHapussaya punya perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa bongkar muat, kami mempunyai tagihan kepada pihak shipper senilai 3000/tonase diluar ppn, kami mengerjakan tidak sendiri ada pihak koperasi tenaga kerja bongkar muat yang kerja juga disana, dengan tarif 2750/tonase, keuntungan kami cuman 250/tonase, misalkan kami mengerjakan 1 kapal dengan muatan 50.000 MT, 50.000 x 3.000 = 150.000.000, invoice kami 10% dibebankan kepada pihak shipper, 10% x 150.000.000 = 15.000.000, shipper membayar kami dengan nilai 165.000.000, kemudian kami membayarkan kepada pihak koperasi 50.000 x 2.750 = 137.500.000, income ke perusahan kami cuma senilai 50.000 x 250 = 12.500.000, dan pajak ppn selalu kami bayarkan setiap ada pembayaran, nah pertanyaannya bagaimana kami menghitung pph 23 2% nya, dengan perhitungan tersebut 2% × 150.000.000 = 3.000.000, jadi pendapatan kami senilai 9.500.000 aja? apakah benar perhitungan saya
BalasHapussaya punya perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa bongkar muat, kami mempunyai tagihan kepada pihak shipper senilai 3000/tonase diluar ppn, kami mengerjakan tidak sendiri ada pihak koperasi tenaga kerja bongkar muat yang kerja juga disana, dengan tarif 2750/tonase, keuntungan kami cuman 250/tonase, misalkan kami mengerjakan 1 kapal dengan muatan 50.000 MT, 50.000 x 3.000 = 150.000.000, invoice kami 10% dibebankan kepada pihak shipper, 10% x 150.000.000 = 15.000.000, shipper membayar kami dengan nilai 165.000.000, kemudian kami membayarkan kepada pihak koperasi 50.000 x 2.750 = 137.500.000, income ke perusahan kami cuma senilai 50.000 x 250 = 12.500.000, dan pajak ppn selalu kami bayarkan setiap ada pembayaran, nah pertanyaannya bagaimana kami menghitung pph 23 2% nya, dengan perhitungan tersebut 2% × 150.000.000 = 3.000.000, jadi pendapatan kami senilai 9.500.000 aja? apakah benar perhitungan saya, atau penghasilan perusahaan senilai 12.500.000 x 2% = 250.000,-. klo memang begitu kami bisa membayar karyawan kami 4 orang 2,5jt perbulan, tapi kalau 3jt kami untuk menggaji karyawan kami aja kurang, trus kami harus bagaimana?
BalasHapus