PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
104/PMK.03/2009 TANGGAL 10 JUNI 2009
TENTANG
BIAYA
PROMOSI DAN PENJUALAN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf (a) angka
7 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Biaya Promosi dan Penjualan yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG BIAYA PROMOSI DAN PENJUALAN YANG DAPAT
DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Biaya Promosi adalah biaya yang dikeluarkan oleh
Wajib Pajak dalam rangka memperkenalkan, mempromosikan, dan/atau
menganjurkan pemakaian suatu produk baik langsung maupun tidak
langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan.
2. Biaya Penjualan adalah biaya yang dikeluarkan oleh
Wajib Pajak untuk menyalurkan barang dan/atau jasa sampai kepada
pembeli dan/atau pelanggan (customer) baik langsung maupun tidak
langsung, termasuk biaya pengepakan, biaya pergudangan, biaya
pengamanan, dan biaya asuransi, dan biaya lainnya yang diperlukan
sampai barang diterima oleh pembeli dan/atau pelanggan (customer).
3. Distributor Utama adalah perantara baik perorangan
atau badan usaha yang bertindak atas namanya sendiri, yang ditunjuk
langsung oleh pabrikan atau produsen, untuk melakukan penyimpanan,
pendistribusian, pemasaran, serta penjualan barang yang diperoleh
langsung dari pabrikan atau produsen, dalam partai besar kepada
retailer atau konsumen akhir.
Pasal 2
Biaya
Promosi dan/atau Biaya Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus memenuhi kriteria
berikut:
a. untuk
mempertahankan dan atau meningkatkan penjualan;
b. dikeluarkan
secara wajar;
c. menurut
adat kebiasaan pedagang yang baik;
d. dapat
berupa barang, uang, jasa, dan fasilitas; dan
e. diterima
oleh pihak lain.
Pasal 3
(1) Untuk
industri rokok, Biaya Promosi hanya dapat dibiayakan oleh:
a. produsen;
b. Distributor
Utama; atau
c. importir
tunggal.
(2) Besarnya
Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut:
a. untuk industri rokok yang mempunyai peredaran usaha
sampai dengan Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah),
besarnya Biaya Promosi tidak melebihi 3% (tiga persen) dari peredaran
usaha dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
b. untuk industri rokok yang mempunyai peredaran usaha
di atas Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) sampai dengan
Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah), besarnya Biaya Promosi
tidak melebihi 2% (dua persen) dari peredaran usaha dan paling banyak
Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah);
c. untuk industri rokok yang mempunyai peredaran usaha
di atas Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah), besarnya Biaya
Promosi tidak melebihi 1% (satu persen) dari peredaran usaha dan
paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(3) Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
hanya dapat dibiayakan sebanyak 1 (satu) kali oleh:
a. produsen;
b. Distributor
Utama; atau
c. importir
tunggal.
(4) Dalam hal Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) telah dikeluarkan baik oleh produsen maupun Distributor
Utama, pihak yang berhak untuk membebankan Biaya Promosi adalah
produsen.
(5) Dalam hal rokok tidak diproduksi di Indonesia, pihak
yang berhak untuk membebankan Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah importir tunggal.
Pasal 4
(1) Untuk
industri farmasi, Biaya Promosi hanya dapat dibiayakan oleh:
a. produsen;
b. Distributor
Utama; atau
c. importir
tunggal.
(2) Besarnya Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah tidak
melebihi 2% (dua persen) dari peredaran usaha dan paling banyak
Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
(3) Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
hanya dapat dibiayakan sebanyak 1 (satu) kali oleh:
a. produsen;
b. Distributor
Utama; atau
c. importir
tunggal.
(4) Dalam hal Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) telah dikeluarkan baik oleh produsen maupun Distributor
Utama, pihak yang berhak untuk membebankan Biaya Promosi adalah
produsen.
(5) Dalam hal produk farmasi tidak diproduksi di
Indonesia, pihak yang berhak untuk membebankan Biaya Promosi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah importir tunggal.
Pasal 5
Dalam hal
promosi diberikan dalam bentuk sampel produk, besarnya biaya yang
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar nilai harga
pokok.
Pasal 6
(1) Industri rokok dan industri farmasi wajib membuat
daftar nominatif atas pengeluaran Biaya Promosi dan/atau Biaya
Penjualan yang dikeluarkan kepada pihak lain.
(2) Daftar nominatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit harus memuat data penerima berupa nama, alamat, Nomor
Pokok Wajib Pajak, dan besarnya biaya yang dikeluarkan.
(3) Dalam hal ketentuan untuk membuat daftar nominatif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi, Biaya Promosi
dan/atau Biaya Penjualan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto.
Pasal 7
Tata cara
pembebanan dan pelaporan Biaya Promosi dan/atau Biaya Penjualan
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 8
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan pcnempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 10 Juni 2009
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
Diundangkan
di Jakarta
Pada
tanggal 10 Juni 2009
MENTERI
HUKUM DAN
HAK ASASI
MANUSIA,
ttd
ANDI
MATTALATTA
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 132
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
105/PMK.03/2009 TANGGAL 10 JUNI 2009
TENTANG
PIUTANG
YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI
PENGHASILAN BRUTO
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf h
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Piutang yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat
Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan
Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH
YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi
pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai
hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
2. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah
piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar sesuai dengan
bidang usahanya, yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah
dilakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh
Wajib Pajak.
3. Penerbitan
umum atau khusus adalah penerbitan yang meliputi:
a. Penerbitan umum adalah pemuatan pengumuman pada
penerbitan koran/majalah atau media massa cetak yang lazim lainnya
yang berskala nasional; atau
b. Penerbitan khusus adalah pemuatan pengumuman pada
penerbitan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA)/Persatuan
Bank-Bank Swasta Nasional (PERBANAS) dan/atau penerbitan/pengumuman
khusus Bank Indonesia.
Pasal 2
(1) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang
timbul di bidang usaha bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang dan
jasa lainnya dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung
penghasilan kena pajak.
(2) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk piutang yang
berasal dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang memiliki
hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.
Pasal 3
(1) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dibebankan sebagai pengurang
penghasilan bruto, sepanjang memenuhi persyaratan:
a. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut
telah dibukukan sebagai penghasilan oleh debitur yang bersangkutan
pada tahun yang bersangkutan;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut kepada Direktorat Jenderal
Pajak; dan
c. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut
telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau terdapat
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum
atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c tidak berlaku untuk piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya.
(3) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada
debitur kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah piutang
debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa
kredit yang diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan
dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian:
a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu
kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada
Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah menjadi
peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS;
b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja
yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer baik sebagai
pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit,
untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna
membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan
hortikultura;
c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS),
yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk
pemilikan rumah sangat sederhana (RSS);
d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan
kepada nasabah usaha kecil;
e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang
diberikan untuk keperluan modal usaha kecil lainnya selain KUK;
dan/atau
f. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan
perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan
koperasi.
(4) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada
debitur kecil lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 4
(1) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
yang diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud
Pasal 3 ayat (1) huruf b harus mencantumkan identitas debitur berupa
nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah Piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih.
(2) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3
ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara melampirkan:
a. fotokopi bukti penyerahan perkara penagihannya ke
Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang
negara; atau
b. fotokopi perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang usaha yang telah dilegalisir oleh notaris;
atau
c. fotokopi bukti publikasi dalam penerbitan umum atau
penerbitan khusus; atau
d. surat yang berisi pengakuan dari debitur bahwa
utangnya telah dihapuskan yang disetujui oleh kreditur tentang
penghapusan piutang untuk jumlah utang tertentu, yang disetujui oleh
kreditur.
(3) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
dan bukti/dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan
(SPT) Tahunan.
Pasal 5
Piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau
debitur kecil lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus
dilampiri daftar nominatif yang berisi identitas debitur berupa nama,
Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah Piutang yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih.
Pasal 6
Pada saat
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 130/KMK.04/1998 tentang Penghapusan Piutang Tak
Tertagih yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 7
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 10 Juni 2009
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
Diundangkan
di Jakarta
Pada
tanggal 10 Juni 2009
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
ANDI
MATTALATTA
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 133
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
209/PMK.07/2010 TANGGAL 29 NOPEMBER 2010
TENTANG
ALOKASI
DEFINITIF DANA BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PASAL 29
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
TAHUN ANGGARAN 2010
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil
Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Anggaran 2010;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN
2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4893);
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
3. Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5075) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5132);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);
5. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.07/2010
tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke
Daerah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG ALOKASI DEFINITIF DANA BAGI HASIL PAJAK
PENGHASILAN PASAL 25 DAN PASAL 29 WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM
NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TAHUN ANGGARAN 2010.
Pasal 1
(1) Penerimaan Negara dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal
25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan
PPh Pasal 21 dibagihasilkan kepada daerah sebesar 20% (dua puluh
persen).
(2) Bagian daerah dari Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan
Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a. 8%
(delapan persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b. 12%
(dua belas persen) untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang
bersangkutan.
(3) Bagian daerah kabupaten/kota dana bagi hasil PPh
Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a. 8,4% (delapan empat persepuluh persen) untuk
kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar;
b. 3,6% (tiga enam persepuluh persen) untuk seluruh
kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang
sama besar.
Pasal 2
Alokasi
Definitif Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh
Pasal 21 Tahun Anggaran 2010 untuk masing-masing daerah didasarkan
atas prognosa realisasi penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN
dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2010.
Pasal 3
(1) Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan
Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 Tahun Anggaran 2010 adalah sebesar
Rp10.928.026.055.002,00 (sepuluh triliun sembilan ratus dua puluh
delapan miliar dua puluh enam juta lima puluh lima ribu dua rupiah)
dengan rincian sebagai berikut:
a. Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN
sebesar Rp618.152.094.787,00 (enam ratus delapan belas miliar seratus
lima puluh dua juta sembilan puluh empat ribu tujuh ratus delapan
puluh tujuh rupiah); dan
b. Dana Bagi Hasil PPh Pasal 21 sebesar
Rp10.309.873.960.215,00 (sepuluh triliun tiga ratus sembilan miliar
delapan ratus tujuh puluh tiga juta sembilan ratus enam puluh ribu
dua ratus lima belas rupiah).
(2) Rincian Alokasi Definitif Dana Bagi Hasil PPh Pasal
25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 untuk masing-masing daerah
Tahun Anggaran 2010 adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 4
Alokasi
Definitif Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh
Pasal 21 Tahun Anggaran 2010 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) merupakan dasar penyaluran Triwulan IV.
Pasal 5
Penyaluran
Dana Bagi Hasil PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21
dilaksanakan sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai
pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran transfer ke daerah.
Pasal 6
Pada saat
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 203/PMK.07/2009 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi
Hasil Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Anggaran
2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
10/PMK.07/2010, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 7
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 29 November 2010
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan
di Jakarta
Pada
tanggal 29 November 2010
MENTERI
HUKUM DAN
HAK ASASI
MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 576
SURAT
EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR
SE-67/PJ./2010 TANGGAL 24 MEI 2010
TENTANG
PENGAWASAN
PENGGUNAAN SSP PALSU OLEH WAJIB PAJAK
Dalam
rangka menghindari terjadinya penggunaan SSP palsu oleh Wajib Pajak
diminta kepada seluruh Kantor Wilayah DJP, Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) dan Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan
(KP2KP) melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. KPP meneliti dan mengawasi seluruh pembayaran piutang
pajak melalui menu konfirmasi NTPN di portal intranet DJP yang
dilakukan melalui koordinasi dengan Bidang P4 dan Duktekkon Kanwil
secara berkala (bulanan);
2. KPP dan Kanwil harus meneliti pembayaran melalui menu
LPP di menu Aplikasi MP3-MPN di portal Intranet DJP;
3. Mencermati terdapatnya kasus pemalsuan pembayaran
piutang yang merugikan Wajib Pajak, maka perlu diantisipasi oleh KPP
dengan melakukan himbauan kepada seluruh Wajib Pajak agar:
a. Melakukan
pembayaran secara langsung di kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan, tanpa melalui perantara atau dititipkan kepada
pegawai instansi/institusi/konsultan terkait.
b. Wajib
Pajak melakukan konfirmasi pembayaran piutang pajak kepada KPP
terkait.
4. Diminta kepada Kepala KPP dan Kepala Kanwil agar
turut serta mengawasi pembayaran pajak melalui menu konfirmasi NTPN.
Jika ditemukan ada pegawai yang terlibat di dalam kegiatan kejahatan
pemalsuan dokumen perpajakan agar melaporkan pegawai tersebut kepada
pihak yang berwajib.
Demikian
untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 24 Mei 2010
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar