SURAT
EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR
SE-05/PJ./2008 TANGGAL 6 FEBRUARI 2008
TENTANG
PENYAMPAIAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-2/PJ./2008 TENTANG TATA
CARA PENATAUSAHAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI YANG DIBAYAR OLEH
PEMERINTAH ATAS PENYERAHAN MINYAK GORENG DI DALAM NEGERI
Bersama
ini disampaikan salinan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-2/PJ./2008 tentang Tata Cara Penatausahaan Pajak Pertambahan
Nilai Yang Dibayar Oleh Pemerintah Atas Penyerahan Minyak Goreng di
Dalam Negeri. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai
berikut:
1. Minyak
Goreng adalah:
a. Minyak Goreng Sawit Curah Tidak Bermerek;
b. Minyak Goreng Kelapa/Sawit Dalam Kemasan.
2. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah produsen atau
distributor atau agen atau pedagang pengecer yang telah dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, yang melakukan penyerahan Minyak
Goreng.
3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terutang atas
penyerahan Minyak Goreng oleh PKP dibayar oleh pemerintah.
4. Ketentuan dan tata cara pengisian Faktur Pajak atas
penyerahan Minyak Goreng oleh PKP adalah sebagai berikut:
4.1. PKP wajib menerbitkan Faktur Pajak atas setiap
penyerahan Minyak Goreng;
4.2. Faktur Pajak wajib diterbitkan pada saat
penyerahan dilakukan;
4.3. Kode Transaksi pada Kode dan Nomor Seri Faktur
Pajak Standar atas penyerahan Minyak Goreng adalah dengan menggunakan
Kode Transaksi 07 dipersamakan dengan penyerahan yang PPN dan atau
PPn BM Tidak Dipungut kepada selain Pemungut PPN;
4.4. Faktur Pajak yang diterbitkan harus dibubuhi :
a. cap "PPN DIBAYAR PEMERINTAH EKS PMK NOMOR
14/PMK.011/2008" untuk penyerahan Minyak Goreng Sawit Curah
Tidak Bermerek;
b. cap "PPN DIBAYAR PEMERINTAH EKS PMK NOMOR
15/PMK.011/2008" untuk penyerahan Minyak Goreng Kelapa/Sawit
Dalam Kemasan.
5. Ketentuan dan tata cara pelaporan Faktur Pajak dalam
SPT Masa PPN atas penyerahan Minyak Goreng oleh PKP adalah sebagai
berikut:
5.1. PKP melaporkan Faktur Pajak Standar atas
penyerahan Minyak Goreng dalam SPT Masa PPN sesuai dengan tata cara
pelaporan untuk Kode Transaksi 07;
5.2. PKP
wajib melaporkan Faktur Pajak sederhana atas penyerahan Minyak Goreng
dalam SPT Masa PPN Formulir 1107A pada butir III (Penyerahan Dalam
Negeri Dengan Faktur Pajak Sederhana) dengan mengisi nilai harga jual
pada kolom DPP dan PPN yang terutang pada kolom PPN (Rupiah) tidak
perlu diisi;
5.3. PKP
wajib membuat daftar rincian Faktur Pajak yang diterbitkan atas
penyerahan Minyak Goreng dengan menggunakan format laporan
sebagaimana ditetapkan;
5.4. PKP wajib melaporkan daftar rincian sebagaimana
dimaksud pada butir 5.3 sebagai lampiran kelengkapan SPT Masa PPN;
5.5. Daftar rincian Faktur Pajak sebagaimana dimaksud
pada butir 5.3 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPT Masa
PPN.
6. PPN yang dibayar oleh PKP atas perolehan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk menghasilkan
dan/atau menyerahkan Minyak Goreng merupakan Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
7. PPN
yang dibayar oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada butir 3 tidak
dapat dikreditkan.
8. Dalam hal SPT Masa PPN yang dilaporkan oleh PKP
menunjukkan lebih bayar maka atas PPN lebih bayar tersebut dapat
dimintakan pengembalian oleh PKP. Tata cara permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran PPN sesuai dengan ketentuan perpajakan yang
berlaku.
9. Untuk kepentingan perhitungan dan pengawasan
pelaksanaan PPN yang dibayar oleh pemerintah atas penyerahan Minyak
Goreng oleh PKP dan dalam rangka memberikan pelayanan terhadap PKP
maka diminta:
9.1. Kepala KPP untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Mengawasi pelaporan SPT Masa PPN dan daftar rincian
PPN yang dibayar oleh pemerintah atas penyerahan Minyak Goreng;
b. Membuat daftar rincian PKP sebagaimana dimaksud pada
butir 2 (dua), dengan membagi dalam dua kelompok yakni kelompok
produsen/pabrikan dan distributor/pengecer Minyak Goreng;
c. Mengkompilasi daftar rincian PPN yang dibayar oleh
Pemerintah atas penyerahan Minyak Goreng dan mengirimkan ke Kepala
Kantor Wilayah DJP masing-masing paling lambat 3 (tiga) hari kerja
setelah berakhirnya jangka waktu penyampaian SPT Masa PPN dengan
menggunakan format laporan pada lampiran I Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak ini;
d. Menyelesaikan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran PPN oleh PKP sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku
9.2. Kepala Kantor Wilayah DJP untuk melakukan hal-hal
sebagai berikut:
a. Mengawasi dan mengkoordinir KPP pada wilayah kerja
masing-masing dalam pelaksanaan PPN dibayar Pemerintah atas
penyerahan Minyak Goreng;
b. Mengkompilasi laporan dari KPP dan mengirimkan
laporan kompilasi kepada Direktur Jenderal Pajak u/p Direktur Potensi
Kepatuhan dan Penerimaan paling lambat 6 (enam) hari kerja setelah
berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa PPN dengan menggunakan
format laporan pada lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
ini.
9.3. Laporan Kompilasi sebagaimana tersebut pada butir
9.2 huruf b agar disampaikan tepat waktu mengingat data tersebut akan
digunakan sebagai dasar perhitungan DJP untuk mengajukan tagihan atas
PPN yang dibayar oleh pemerintah.
Dengan
terbitnya Surat Edaran ini, maka penegasan yang diberikan dalam Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-41/PJ./2007 tanggal 25
September 2007, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Demikian
untuk diketahui dan dilaksanakan sebaik-sebaiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 06 Februari 2008
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd.
DARMIN
NASUTION
SURAT
EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR
SE-86/PJ/2009 TANGGAL 7 SEPTEMBER 2009
TENTANG
PENJELASAN
MENGENAI PPN ATAS IMPOR/PENYERAHAN KAPAL TONGKANG
Sehubungan
dengan masih adanya pertanyaan Wajib Pajak mengenai apakah PPN atas
impor/penyerahan kapal tongkang termasuk yang dibebaskan dari
pengenaan PPN sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 146
TAHUN 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu Yang Dibebaskan
Dari Pengenaan PPN sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003, dengan ini disampaikan penjelasan
sebagai berikut:
1. Bahwa berdasarkan penjelasan pasal 16B ayat (1)
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2000, menjelaskan antara lain bahwa dalam rangka mendorong
pengembangan armada nasional dibidang angkutan darat, air, dan udara
dapat diberikan kemudahan dibidang perpajakan secara terbatas berupa
pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, baik untuk
sementara waktu atau selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak
dengan Peraturan Pemerintah.
2. Berdasarkan Pasal 1 angka 36 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1992 Tentang Pelayaran sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008, diatur bahwa Kapal adalah
kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan
dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau
ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan
dibawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang
tidak berpindah-pindah.
3. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan
Pemerintah nomor 146 TAHUN 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan
Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak
Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2003, jo Pasal 1 angka 1 huruf e dan Pasal 6 ayat (1) Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 370/KMK.03/2003 tentang Pelaksanaan Pajak
Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan
Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak
Tertentu menetapkan bahwa impor kapal laut, kapal angkutan sungai,
kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu,
kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang dan suku cadang
serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia yang
dilakukan dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau
Perusaahaan Penangkapan Ikan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara
Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyeberangan Nasional
sesuai dengan kegiatan usahanya, dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai.
4. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan
Pemerintah nomor 146 TAHUN 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan
Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak
Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2003, jo Pasal 1 angka 1 huruf e dan Pasal 6 ayat (2) Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 370/KMK.03/2003 tentang Pelaksanaan Pajak
Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan
Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak
Tertentu menetapkan bahwa penyerahan kapal laut, kapal angkutan
sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal
pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang dan suku
cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia
kepada dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau
Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional atau Perusahaan penyelenggara
Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan
Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional sesuai dengan kegiatan
usahanya, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
5. Berdasarkan
ketentuan tersebut diatas, dengan ini ditegaskan bahwa:
a. atas
impor kapal tongkang yang dilakukan dan digunakan oleh perusahaan
Pelayaran Niaga Naisonal atau Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional
atau Perusahaan Penyelenggara Jasa kepelabuhan Nasional atau
Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan
Penyeberangan Nasional sesuai dengan kegiatan usahanya, dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
b. atas
penyerahan kapal tongkang kepada dan digunakan oleh Perusahaan
Pelayaran Niaga Nasional atau Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional
atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau
Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan
Penyeberangan Nasional sesuai dengan kegiatan usahanya, dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000.
Demikian
untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 7 September 2009
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
SURAT
EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR
SE-47/PJ/2009 TANGGAL 27 APRIL 2009
TENTANG
PENYAMPAIAN
PERATURAN PEMERINTAH nomor 28 TAHUN 2009 TENTANG PERLAKUAN PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN JASA KEBANDARUDARAAN TERTENTU
KEPADA PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA NIAGA UNTUK PENGOPERASIAN PESAWAT
UDARA YANG MELAKUKAN PENERBANGAN LUAR NEGERI
Sehubungan
dengan telah ditetapkan dan diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 2009 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas
Penyerahan Jasa Kebandarudaraan Tertentu kepada Perusahaan Angkutan
Udara Niaga untuk Pengoperasian Pesawat Udara yang Melakukan
Penerbangan Luar Negeri, dengan ini disampaikan fotokopi Peraturan
Pemerintah dimaksud. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Atas
jasa kebandarudaraan tertentu berupa:
a. pelayanan
jasa penerbangan;
b. pelayanan
jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara;
c. pelayanan
jasa konter;
d. pelayanan
jasa garbarata (aviobridge); dan/atau
e. pelayanan
jasa bongkar muat penumpang, kargo, dan/atau pos.
yang diserahkan oleh penyelenggara bandar udara kepada
perusahaan angkutan udara niaga nasional maupun asing yang melakukan
kegiatan penerbangan luar negeri dibebaskan dari pengenaan PPN.
2. Pembebasan dari pengenaan PPN tersebut diberikan
dengan syarat bahwa pesawat yang melakukan penerbangan luar negeri
tersebut tidak mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dalam negeri
dari satu bandar udara ke bandar udara lainnya di Indonesia. Khusus
untuk pesawat yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan udara niaga
asing, disamping syarat tersebut juga disyaratkan adanya asas timbal
balik, yaitu negara dimana perusahaan angkutan udara niaga asing yang
bersangkutan berkedudukan juga memberikan perlakuan perpajakan yang
sama terhadap pesawat udara yang dioperasikan oleh perusahaan
angkutan udara niaga nasional yang melakukan penerbangan luar negeri
di negara tersebut.
3. Apabila syarat pada butir 2 tidak terpenuhi maka PPN
yang terutang atas penyerahan jasa kebandarudaraan tertentu tersebut
wajib dibayar paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal tidak
terpenuhinya syarat dimaksud, dimana apabila PPN yang terutang tidak
dibayar dalam jangka waktu tersebut maka Kepala Kantor Pelayanan
Pajak terkait menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk
menagih pokok pajak dimaksud beserta sanksi administrasinya sesuai
dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
4. Atas penyerahan jasa kebandarudaraan tertentu yang
dibebaskan dari pengenaan PPN tetap wajib diterbitkan Faktur Pajak
oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan, namun pada
Faktur Pajaknya diberi cap atau keterangan yang bertuliskan “PPN
dibebaskan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2009”.
5. Peraturan Pemerintah tersebut mulai berlaku pada
tanggal diundangkan, yaitu tanggal 24 Maret 2009.
Demikian
untuk dimaklumi dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, serta
disebarluaskan dalam wilayah kerja Saudara masing-masing.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 27 April 2009
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
DARMIN
NASUTION
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
70/PMK.03/2010 TANGGAL 31 MARET 2010
TENTANG
BATASAN
KEGIATAN DAN JENIS JASA KENA PAJAK YANG ATAS EKSPORNYA DIKENAI PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KEUANGAN,
Menimbang :
bahwa
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang nomor 8
TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa
Kena Pajak yang atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42
TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
4. Keputusan
Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG BATASAN KEGIATAN DAN JENIS JASA KENA PAJAK
YANG ATAS EKSPORNYA DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009.
2. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang
berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan
suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai,
termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan
atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
3. Jasa Maklon adalah jasa yang dilakukan untuk
menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan
atas petunjuk dari pemesan.
4. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
5. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan
penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.
6. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua
biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar
oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh
penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean.
Pasal 2
(1) Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas Ekspor Jasa Kena Pajak oleh
Pengusaha Kena Pajak.
(2) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak
Pertambahan Nilai dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(3) Tarif
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah 0%
(nol persen).
(4) Dasar
Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
Penggantian.
Pasal 3
Batasan
kegiatan Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebagai
berikut:
a. untuk
Jasa Maklon:
1. pemesan
atau penerima Jasa Kena Pajak berada di luar Daerah Pabean dan
merupakan Wajib Pajak Luar Negeri serta tidak mempunyai Bentuk Usaha
Tetap (BUT) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 7 TAHUN
1983 Tentang Pajak Penghasilan dan perubahannya;
2. spesifikasi
dan bahan disediakan oleh pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak;
3. bahan
adalah bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau bahan
penolong/pembantu yang akan diproses menjadi Barang Kena Pajak yang
dihasilkan;
4. kepemilikan
atas barang jadi berada pada pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak;
dan
5. pengusaha
Jasa Maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan
pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.
b. untuk
selain Jasa Maklon:
1. jasa
yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan
di luar Daerah Pabean; atau
2. jasa
yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak
di luar Daerah Pabean.
Pasal 4
Jenis Jasa
Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebagai berikut:
a. Jasa Maklon yang batasan kegiatannya memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a;
b. jasa perbaikan dan perawatan yang batasan kegiatannya
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b angka
1;
c. jasa konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi
perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan
konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan
konstruksi, yang batasan kegiatannya memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf b angka 2.
Pasal 5
(1) Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor
Jasa Kena Pajak adalah pada saat Ekspor Jasa Kena Pajak.
(2) Saat Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah pada saat Penggantian atas jasa yang diekspor
tersebut dicatat atau diakui sebagai penghasilan.
Pasal 6
Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terutang di
tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha
dilakukan, atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat
kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 7
(1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Ekspor Jasa Kena
Pajak wajib membuat Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak pada saat
Ekspor Jasa Kena Pajak.
(2) Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang dilampiri dengan invoice sebagai satu
kesatuan yang tidak terpisahkan adalah dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(3) Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan ekspor Jasa Kena Pajak dengan menggunakan formulir
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini,
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
Keuangan ini.
Pasal 8
(1) Atas kegiatan ekspor barang yang dihasilkan dari
kegiatan ekspor Jasa Maklon oleh Pengusaha Kena Pajak eksportir Jasa
Maklon tidak dilaporkan sebagai ekspor Barang Kena Pajak dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Pajak
Pertambahan Nilai atas:
a. perolehan
Barang Kena Pajak;
b. perolehan
Jasa Kena Pajak;
c. pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
d. pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dan/atau
e. impor
Barang Kena Pajak,
yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan ekspor
Jasa Maklon, merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai.
Pasal 9
Terhadap
ekspor Jasa Kena Pajak baik sebagian atau seluruhnya yang dilakukan
sebelum tanggal 1 April 2010, dan Penggantian atas jasa yang diekspor
tersebut dicatat atau diakui sebagai penghasilan pada atau setelah
tanggal 1 April 2010, dikenai Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 10
Pada saat
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 302/KMK.04/1989 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai atas Jasa Kena Pajak Selain Jasa yang Dilakukan oleh Pemborong,
Jasa Angkutan Udara Dalam Negeri dan Jasa Telekomunikasi dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku, terhitung sejak tanggal 1 Januari 1995.
Pasal 11
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 31 Maret 2010
MENTERI
KEUANGAN
ttd
SRI
MULYANI INDRAWATI
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 31 Maret 2010
MENTERI
HUKUM DAN
HAK ASASI
MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 153
SURAT
EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR
SE-119/PJ/2010 TANGGAL 16 NOPEMBER 2010
TENTANG
PERLAKUAN
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN JASA ANGKUTAN UMUM DI JALAN
Sehubungan
dengan banyaknya pertanyaan mengenai perlakuan Pajak Pertambahan
Nilai atas jasa angkutan umum di jalan sebagaimana diatur dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 527/KMK.03/2003 tentang Jasa di
Bidang Angkutan Umum di Darat dan di Air yang Tidak Dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 28/PMK.03/2006, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4A ayat (3) huruf j
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009, bahwa jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan
Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa angkutan umum di darat
dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.
2. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 4 Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 527/KMK.03/2003 tentang Jasa di Bidang
Angkutan Umum di Darat dan di Air yang Tidak Dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 28/PMK.03/2006, bahwa yang dimaksud dengan Kendaraan
Angkutan Umum adalah kendaraan motor yang dipergunakan untuk kegiatan
pengangkutan orang dan/atau barang yang disediakan untuk umum dengan
dipungut bayaran baik dalam trayek maupun tidak dalam trayek, dengan
menggunakan tanda nomor kendaraan dengan dasar kuning dan tulisan
hitam.
3. Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir
1 dan butir 2, dengan ini ditegaskan bahwa penyerahan jasa Angkutan
Umum di jalan dengan menggunakan Kendaraan Angkutan Umum tidak
dikenai Pajak Pertambahan Nilai sepanjang menggunakan kendaraan
bermotor dengan tanda nomor kendaraan dengan dasar kuning dan tulisan
hitam, termasuk penyerahan jasa Angkutan Umum di jalan dengan
menggunakan Kendaraan Angkutan Umum yang bersifat charter atau sewa.
Demikian
untuk diketahui dan dilaksanakan sebaik-baiknya, serta disebarluaskan
dalam wilayah kerja Saudara masing-masing.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 16 November 2010
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
30/PMK.03/2011 TANGGAL 28 PEBRUARI 2011
TENTANG
PERUBAHAN
ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.03/2010 TENTANG BATASAN
KEGIATAN DAN JENIS JASA KENA PAJAK YANG ATAS EKSPORNYA DIKENAI PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa untuk lebih memberikan kepastian perlakuan
Pajak Pertambahan Nilai yang terkait dengan pemasukan dan pengeluaran
barang dalam rangka ekspor Jasa Kena Pajak yang dikenai Pajak
Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen), perlu menyempurnakan
ketentuan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai untuk Jasa Maklon
termasuk ketentuan pengkreditan Pajak Masukan yang terkait dengan
ekspor barang hasil maklon sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa
Kena Pajak yang atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010
tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas
Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42
TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
4. Keputusan
Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010
tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas
Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 70/PMK.03/2010 TENTANG BATASAN KEGIATAN DAN JENIS JASA KENA
PAJAK YANG ATAS EKSPORNYA DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI.
Pasal I
Beberapa
ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010
tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas
Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan
Pasal 1 angka 3 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009.
2. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang
berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan
suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai,
termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan
atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
3. Jasa Maklon adalah pemberian jasa dalam rangka proses
penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya
dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), dan pengguna
jasa menetapkan spesifikasi, serta menyediakan bahan baku dan/atau
barang setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan
diproses sebagian atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang
jadi berada pada pengguna jasa.
4. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
5. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan
penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.
6. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua
biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar
oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh
penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dad Luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean.
2. Ketentuan
Pasal 8 diubah, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Atas kegiatan ekspor Barang Kena Pajak yang
dihasilkan dari kegiatan ekspor Jasa Maklon oleh Pengusaha Kena Pajak
eksportir Jasa Makion dilaporkan sebagai ekspor Barang Kena Pajak
dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Pajak Pertambahan Nilai atas:
a. perolehan Barang Kena Pajak;
b. perolehan Jasa Kena Pajak;
c. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari
luar Daerah Pabean;
d. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
dan/atau
e. impor Barang Kena Pajak,
merupakan
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pasal II
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 28 Pebruari 2011
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 28 Pebruari 2011
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 109
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
102/PMK.011/2011 TANGGAL 13 JULI 2011
TENTANG
NILAI LAIN
SEBAGAI DASAR PENGENAAN PAJAK ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK
TIDAK BERWUJUD DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM DAERAH PABEAN BERUPA
FILM CERITA IMPOR DAN PENYERAHAN FILM CERITA IMPOR, SERTA DASAR
PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 ATAS KEGIATAN IMPOR FILM CERITA
IMPOR
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum dan
kemudahan dalam pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas film cerita
impor, perlu menetapkan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
di dalam Daerah Pabean dan atas penyerahan film cerita impor;
b. bahwa dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak telah
diatur penetapan Nilai Lain sebagai dasar pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai antara lain untuk penyerahan film cerita;
c. bahwa dalam rangka pengenaan/perlakuan Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas film cerita impor dan
sehubungan dengan penetapan tarif spesifik untuk bea masuk atas impor
film, perlu pengaturan secara tersendiri mengenai pemanfaatan Barang
Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean berupa film cerita impor dan penyerahan film cerita impor,
serta dasar pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas kegiatan impor
film cerita impor;
d. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 8A ayat (2)
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42
TAHUN 2009, Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk menetapkan
Nilai Lain sebagai dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
e. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2)
Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG
nomor 36 TAHUN 2008, Menteri
Keuangan diberikan kewenangan untuk mengatur dasar pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 impor;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Nilai Lain Sebagai
Dasar Pengenaan Pajak atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean Berupa Film
Cerita Impor dan Penyerahan Film Cerita Impor, serta Dasar Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Kegiatan Impor Film Cerita Impor;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42
TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
4. Keputusan
Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG NILAI LAIN SEBAGAI DASAR PENGENAAN PAJAK
ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DARI LUAR DAERAH
PABEAN DI DALAM DAERAH PABEAN BERUPA FILM CERlTA IMPOR DAN PENYERAHAN
FILM CERITA IMPOR, SERTA DASAR PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
ATAS KEGIATAN IMPOR FILM CERITA IMPOR.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat
atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak
bergerak, dan barang tidak berwujud.
2. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang nomor 42 TAHUN 2009.
3. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari
luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
4. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual,
Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai
sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
5. Nilai Lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan
sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
6. Film Cerita Impor adalah karya seni budaya yang
merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat
berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara yang
mengisahkan cerita fiktif atau narasi dan dapat dipertunjukkan yang
direkam pada pita seluloid, pita video, cakram optik, atau bahan
lainnya yang berasal dari luar Daerah Pabean untuk dieksploitasi di
dalam negeri.
7. Importir adalah pelaku usaha perfilman yang melakukan
usaha impor film dan/atau pengedaran film.
8. Pengusaha Bioskop adalah pelaku usaha perfilman yang
menyelenggarakan pertunjukan film di bioskop.
Pasal 2
(1) Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean berupa Film Cerita
Impor, terutang Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dipungut pada saat impor media Film Cerita
Impor.
(3) Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk
menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) adalah Nilai Lain.
(4) Nilai Lain sebagaimana climaksud pada ayat (3) telah
memperhitungkan nilai dari media Film Cerita Impor.
(5) Nilai Lain yang digunakan sebagai Dasar Pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah
berupa uang yang ditetapkan sebesar Rp12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah) per copy Film Cerita Impor.
Pasal 3
(1) Atas penyerahan Film Cerita Impor oleh Importir
kepada Pengusaha Bioskop, terutang Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk
menghitung Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan Film
Cerita Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Nilai Lain.
(3) Nilai Lain yang digunakan sebagai Dasar Pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
berupa uang yang ditetapkan sebesar Rp12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah) per copy Film Cerita Impor.
(4) Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dipungut hanya sekali untuk setiap copy Film Cerita Impor,
yang pemungutannya dilakukan pada saat pertama kali copy Film Cerita
Impor tersebut diserahkan kepada Pengusaha Bioskop.
Pasal 4
Besarnya
Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 3 ayat (3) dapat ditinjau kembali secara
berkala, yang penetapannya dilakukan dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
Pasal 5
(1) Dasar pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 untuk
kegiatan impor Film Cerita Impor adalah Nilai Impor atas media Film
Cerita Impor.
(2) Nilai Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk
yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan
pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.
Pasal 6
Dengan
berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, terhadap penyerahan Film
Cerita Impor tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain
sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
Pasal 7
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 13 Juli 2011
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 13 Juli 2011
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 405
SURAT
EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR
SE-38/PJ/2012 TANGGAL 3 AGUSTUS 2012
TENTANG
PENYAMPAIAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 82/PMK.03/2012 TENTANG KRITERIA
DAN/ATAU RINCIAN JASA YANG DISEDIAKAN OLEH PEMERINTAH DALAM RANGKA
MENJALANKAN PEMERINTAHAN SECARA UMUM YANG TIDAK DIKENAI PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI
A. Umum
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2012 tentang Kriteria dan/atau
Rincian Jasa yang Disediakan oleh Pemerintah dalam rangka Menjalankan
Pemerintahan secara Umum yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai,
dengan ini perlu disampaikan penegasan atas pelaksanaan Peraturan
Menteri Keuangan tersebut.
B. Maksud
dan Tujuan
1. Maksud
Ketentuan
ini dibuat agar dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan jenis
jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum, yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
2. Tujuan
a. Agar tercapai keseragaman dan pemahaman yang sama
dalam melaksanakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2012.
b. Memberikan penjelasan mengenai jenis jasa yang
disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum, yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
C. Ruang
Lingkup
Ketentuan ini mengatur penjelasan lebih lanjut jenis
jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
D. Dasar
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2012 tentang
Kriteria dan/atau Rincian Jasa yang Disediakan oleh Pemerintah dalam
rangka Menjalankan Pemerintahan secara Umum yang Tidak Dikenai Pajak
Pertambahan Nilai.
E. Materi
1. Atas
penyerahan jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka
menjalankan pemerintahan secara umum tidak dikenai Pajak Pertambahan
Nilai.
2. Jasa
yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum tersebut merupakan:
a. jasa sehubungan dengan kegiatan pelayanan yang
hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah sesuai kewenangannya
berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan
b. jasa
tersebut tidak dapat disediakan oleh bentuk usaha lain.
3. Termasuk
dalam pengertian jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka
menjalankan pemerintahan secara umum adalah:
a. Pemberian
Izin Mendirikan Bangunan;
b. Pemberian
Izin Usaha Perdagangan;
c. Pemberian
Nomor Pokok Wajib Pajak;
d. Pembuatan
Kartu Tanda Penduduk;
e. Pemberian
Hak Paten;
f. Pemberian
Merk;
g. Pemberian
Hak Cipta;
h. Pembuatan
akte kelahiran;
i. Pembuatan
akte nikah; dan
j. Pemberian
visa.
4. Apabila
terdapat jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka
menjalankan pemerintahan secara umum di luar angka 3 di atas, dan
memenuhi jenis jasa pada angka 2, maka atas penyerahannya tidak
dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai peraturan perundang-undangan.
5. Apabila
Pemerintah melakukan penyerahan jasa selain jasa pada angka 3 dan 4,
maka atas penyerahan jasa tersebut dikenai Pajak Pertambahan Nilai
sesuai peraturan perundang-undangan.
Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Demikian
untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya serta
disebarluaskan dalam wilayah kerja Saudara masing-masing.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 3 Agustus 2012
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
A. FUAD
RAHMANY
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
85/PMK.03/2012 TANGGAL 6 JUNI 2012
TENTANG
PENUNJUKAN
BADAN USAHA MILIK NEGARA UNTUK MEMUNGUT, MENYETOR, DAN MELAPORKAN
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH, SERTA TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN,
DAN PELAPORANNYA
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 16A
Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42
TAHUN 2009, telah diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
563/KMK.03/2003 tentang Penunjukan Bendaharawan Pemerintah dan Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara untuk Memungut, Menyetor, dan
Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah Beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporannya, dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010 tentang Penunjukan
Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi dan
Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya
Panas Bumi untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya;
b. bahwa dalam rangka lebih memudahkan pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak oleh rekanan kepada Badan Usaha Milik
Negara, perlu menunjuk Badan Usaha Milik Negara untuk memungut,
menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dengan
Peraturan Menteri Keuangan tersendiri;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16A
ayat (2) Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
nomor 42 TAHUN 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Penunjukan Badan Usaha Milik Negara untuk Memungut, Menyetor,
dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Tata Cara Pemungutan,
Penyetoran, dan Pelaporannya;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 42
TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PENUNJUKAN BADAN USAHA MILIK NEGARA UNTUK
MEMUNGUT, MENYETOR, DAN MELAPORKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH, SERTA TATA
CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORANNYA.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan.
2. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah harga jual,
penggantian, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk
menghitung Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
Pasal 2
Badan
Usaha Milik Negara ditunjuk sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pasal 3
(1) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh rekanan kepada Badan
Usaha Milik Negara dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Badan Usaha
Milik Negara.
(2) Rekanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Badan Usaha Milik Negara.
Pasal 4
(1) Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus dipungut
oleh Badan Usaha Milik Negara adalah sebesar 10% (sepuluh persen)
dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(2) Dalam hal atas penyerahan Barang Kena Pajak selain
terutang Pajak Pertambahan Nilai juga terutang Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, jumlah Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang harus
dipungut oleh Badan Usaha Milik Negara adalah sebesar tarif Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang berlaku dikalikan dengan Dasar
Pengenaan Pajak.
Pasal 5
(1) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut oleh Badan Usaha
Milik Negara dalam hal:
a. pembayaran
yang jumlahnya paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
termasuk jumlah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
b. pembayaran
atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan mendapat
fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atau dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
c. pembayaran
atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh
PT Pertamina (Persero);
d. pembayaran
atas rekening telepon;
e. pembayaran
atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan;
dan/atau
f. pembayaran
lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut ketentuan
perundang-undangan di bidang perpajakan tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah.
(2) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf
e, dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh rekanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 6
(1) Rekanan wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Badan
Usaha Milik Negara.
(2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dibuat pada saat:
a. penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak;
b. penerimaan
pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; atau
c. penerimaan
pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.
Pasal 7
(1) Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan pada saat:
a. penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. penerimaan
pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; atau
c. penerimaan
pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.
(2) Badan Usaha Milik Negara wajib menyetorkan Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang telah dipungut ke Kantor Pos/Bank Persepsi
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
(3) Badan Usaha Milik Negara wajib melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang telah dipungut dan disetor ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Badan Usaha Milik Negara terdaftar paling lama pada
akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
(4) Pelaporan atas pemungutan dan penyetoran Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setiap
bulan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai bagi pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
(5) Tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah oleh Badan Usaha Milik Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 8
Dalam hal
Badan Usaha Milik Negara yang ditunjuk untuk memungut, menyetor, dan
melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4), Badan Usaha Milik Negara tersebut dikenai sanksi sesuai
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 9
Peraturan
Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2012.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 6 Juni 2012
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan
di Jakarta
Pada
tanggal 7 Juni 2012
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
AMIR
SYAMSUDIN
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 585
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
85/PMK.03/2012 TENTANG PENUNJUKAN BADAN USAHA MILIK NEGARA UNTUK
MEMUNGUT, MENYETOR, DAN MELAPORKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH, SERTA TATA
CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORANNYA
MENTERI
KEUANGAN
REPUBLIK
INDONESIA
TATA CARA
PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK
PERTAMBAHAN
NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK
PENJUALAN
ATAS BARANG MEWAH OLEH BADAN USAHA MILIK NEGARA
I. KETENTUAN UMUM:
a. BKP : Barang Kena
Pajak
b. JKP : Jasa Kena
Pajak
c. KPP : Kantor
Pelayanan Pajak
d. NPWP : Nomor Pokok
Wajib Pajak
e. KPPN : Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara
f. PPN : Pajak
Pertambahan Nilai
g. PPnBM : Pajak
Penjualan atas Barang Mewah
h. SSP : Surat Setoran
Pajak
II. TATA CARA PEMUNGUTAN
DAN PENYETORAN:
1. Rekanan
wajib membuat Faktur Pajak dan SSP atas setiap penyerahan BKP
dan/atau JKP kepada Badan Usaha Milik Negara.
2. Faktur
Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 dibuat sesuai dengan
ketentuan di bidang perpajakan.
3. SSP
sebagaimana dimaksud pada angka 1 diisi dengan membubuhkan NPWP serta
identitas Rekanan, tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh Badan
Usaha Milik Negara sebagai penyetor atas nama Rekanan.
4. Dalam
hal penyerahan BKP selain terutang PPN juga terutang PPnBM, maka
Rekanan harus mencantumkan juga jumlah PPnBM yang terutang pada
Faktur Pajak.
5. Faktur
Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 dibuat dalam rangkap 3 (tiga)
dengan peruntukkan sebagai berikut:
a. lembar
kesatu untuk Badan Usaha Milik Negara;
b. lembar
kedua untuk Rekanan; dan
c. lembar ketiga untuk Badan Usaha Milik Negara yang
dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN.
6. SSP
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dibuat dalam rangkap 5 (lima)
dengan peruntukkan sebagai berikut:
a. lembar
kesatu untuk Rekanan;
b. lembar
kedua untuk KPPN melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos;
c. lembar
ketiga untuk Rekanan yang dilampirkan pada SPT Masa PPN;
d. lembar
keempat untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos; dan
e. lembar kelima untuk Badan Usaha Milik Negara yang
dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN.
7. Badan
Usaha Milik Negara yang melakukan pemungutan harus membubuhkan cap
“Disetor Tanggal ……” dan menandatanganinya pada Faktur Pajak
sebagaimana dimaksud pada angka 5.
8. Faktur
Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN atau PPN
dan PPnBM.
III. TATA
CARA PELAPORAN:
Pelaporan dilakukan setiap bulan dan laporan
disampaikan ke KPP tempat Badan Usaha Milik Negara terdaftar paling
lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak, dengan
menggunakan formulir “Surat Pemberitahuan Masa PPN bagi Pemungut
PPN”, dan dilampiri dengan Faktur Pajak lembar ke-3, dan SSP lembar
ke-5 dalam hal terdapat pemungutan PPN atau PPN dan PPnBM.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Salinan
sesuai dengan aslinya
KEPALA
BIRO UMUM MENTERI KEUANGAN,
u.b. ttd
KEPALA
BAGIAN T.U. KEMENTERIAN AGUS D.W. MARTOWARDOJO
ttd ttd
GIARTO
NIP
195904201984021001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar