sugeng rawuh...

sugeng rawuh...

Minggu, 16 Desember 2012

Objek Pajak Penghasilan





SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR SE-53/PJ/2009 TANGGAL 25 MEI 2009
TENTANG
JUMLAH BRUTO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008


Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai jumlah bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 mengatur bahwa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipotong Pajak Penghasilan oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
2. Yang dimaksud dengan jumlah bruto sebagaimana dimaksud pada butir 1 adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk:
a. pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
b. pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material;
c. pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak ketiga;
d. pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga.
3. Jumlah bruto sebagaimana dimaksud dalam butir 2 tidak berlaku:
a. atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering; atau
b. dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 1, telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
4. Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam butir 2 harus dapat dibuktikan dengan:
a. kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf a;
b. faktur pembelian barang atau material sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b;
c. faktur tagihan dari pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf c;
d. faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf d.
5. Untuk memberikan kejelasan, contoh penerapan jumlah bruto dalam penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah sebagaimana terdapat dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.


Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 25 Mei 2009


DIREKTUR JENDERAL,
ttd
DARMIN NASUTION
LAMPIRAN:
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-53/PJ/2009 TENTANG JUMLAH BRUTO ATAS IMBALAN JASA LAIN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008


1. PT Sumber Tenaga merupakan perusahaan penyedia tenaga kerja. PT Sumber Tenaga mendapat kontrak dari PT Maju Terus untuk menyediakan tenaga kerja pemasaran sebanyak 20 orang dengan mendapat imbalan jasa sebesar Rp20.000.000,- Tenaga kerja tersebut selanjutnya menjadi pegawai PT Maju Terus.
Atas pembayaran yang dilakukan PT Maju Terus kepada PT Sumber Tenaga dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Maju Terus sebesar:
2% x Rp20.000.000,- = Rp400.000,-
2. PT Aman Jaya merupakan perusahaan penyedia tenaga kerja untuk keamanan (satpam). PT Aman Jaya mendapat kontrak penyediaan tenaga kerja satpam sebanyak 20 orang dari PT Dwi Makmur. Tenaga kerja satpam tersebut tetap merupakan pegawai PT Aman Jaya. Dalam Kontrak disepakati bahwa pembayaran atas penyerahan jasa oleh PT Aman Jaya terdiri dari gaji untuk 20 orang satpam per bulan sebesar Rp20.000.000,00 dan imbalan atas jasa penyediaan satpam per bulan sebesar Rp2.000.000,-.
a. Rincian tagihan PT Aman Jaya kepada PT Dwi Makmur:
Pembayaran gaji 20 orang satpam ................... Rp20.000.000,-
Imbalan Jasa .................................................. Rp 2.000.000,-
b. Atas pembayaran yang dilakukan PT Dwi Makmur kepada PT Aman jaya dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Dwi Makmur sebesar:
2% x Rp2.000.000,- = Rp40.000,-
c. Dalam hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp22.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Dwi Makmur atas pembayaran kepada PT Aman Jaya adalah sebesar:
2% x Rp22.000.000,- = Rp440.000,-
3. PT Megah (pihak pertama) melakukan kontrak dengan PT Satu Sarana selaku perusahaan agen periklanan (pihak kedua) untuk membuat iklan sekaligus memasang iklan pada perusahaan media (pihak ketiga). Nilai kontrak yang telah disepakati adalah sebesar Rp103.000.000,-.
a. Rincian tagihan PT Satu Sarana kepada PT Megah adalah:
1) pembelian material untuk pembuatan iklan ......................... Rp15.000.000,-
2) jasa konsultan (terkait pembuatan dan pemasangan iklan).... Rp 5.000.000,-
3) Fee agen ........................................................................... Rp 3.000.000,-
4) biaya pemasangan iklan ke perusahaan media……………………. Rp80.000.000,-
b. Pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan PT Satu Sarana atas pembayaran jasa pemasangan iklan kepada perusahaan media adalah sebesar:
2% x Rp80.000.000,- = Rp1.600.000,-
c. Pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan PT Megah atas pembayaran jasa konsultasi dan jasa keagenan kepada PT Satu Sarana adalah sebesar:
1) 2% x Rp5.000.000,- = Rp100.000,- untuk jasa konsultasi; dan
2) 2% x Rp3.000.000,- = Rp 60.000,- untuk jasa keagenan
d. Dalam hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp103.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Megah atas pembayaran kepada PT Satu Sarana adalah sebesar:
2% x Rp103.000.000,- = Rp2.060.000,-
4. PT Terang mengikat kontrak dengan PT Garmindo untuk pembuatan seragam kantor PT Terang berdasarkan model dan spesifikasi yang telah ditentukan oleh PT Terang. Dalam kontrak disepakati bahwa PT Terang akan menyediakan bahan baku utama berupa kain dan PT Garmindo akan menyediakan bahan tambahan. Imbalan yang disepakati atas kontrak tersebut adalah sebesar Rp25.000.000,- tidak termasuk biaya bahan tambahan. PT Garmindo mengeluarkan biaya sebesar Rp5.000.000,- untuk bahan tambahan.
a. Rincian tagihan PT Garmindo kepada PT Terang:
Biaya untuk bahan tambahan ...................................... Rp 5.000.000,-
Imbalan Jasa maklon.................................................. Rp25.000.000,-
b. Atas pembayaran yang dilakukan PT Terang kepada PT Garmindo dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Terang sebesar:
2% x Rp25.000.000,- = Rp500.000,-
c. Dalam hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp30.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Terang atas pembayaran kepada PT Garmindo adalah sebesar:
2% x Rp30.000.000,- = Rp600.000,-
5. Untuk acara pembukaan cabang baru, PT Abadi meminta CV Sedap yang bergerak di bidang pengadaan catering untuk menyediakan makanan yang terdiri dari makanan pembuka, makanan utama, dan makanan penutup untuk sekitar 500 orang. Kontrak yang disepakati untuk pengadaan catering tersebut adalah Rp20.000.000,-. Atas pembayaran yang dilakukan PT Abadi kepada CV Sedap dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Abadi sebesar:
2% x Rp20.000.000,- = Rp400.000,-


DIREKTUR JENDERAL,
ttd
DARMIN NASUTION
NIP 130605098






PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-44/PJ./2009 TANGGAL 24 JULI 2009
TENTANG
PELAKSANAAN PENGAKUAN SISA LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA NIRLABA YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN


DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


Menimbang :
bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2009 tentang Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pelaksanaan Pengakuan Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan;


Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2009 tanggal 22 April 2009 tentang Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan.


MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PELAKSANAAN PENGAKUAN SISA LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA NIRLABA YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN.


Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
1. Sisa lebih adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba.
2. Biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri.
3. Badan atau lembaga nirlaba adalah badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya.
4. Pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana adalah pembelian, pengadaan dan/atau pembangunan fisik sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang meliputi:
a. pembelian atau pembangunan gedung dan prasarana kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan gedung dan prasarana tersebut;
b. pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium dan perpustakaan; atau
c. pembelian atau pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau karyawan, dan sarana prasarana olahraga, sepanjang berada dilingkungan atau lokasi lembaga pendidikan formal.


Pasal 2
(1) Sisa lebih yang diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.
(2) Badan atau lembaga nirlaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan rencana biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi yang membidanginya.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa lebih tersebut atau paling lama sebelum pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dimulai, dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.


Pasal 3
Pelaksanaan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
a. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba setiap tahun yang akan digunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dialihkan ke akun dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan;
b. pembukuan atas penggunaan dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan pada tahun berjalan dilakukan dengan mendebet akun aktiva dan akun dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan serta mengkredit akun kas atau utang dan akun modal badan atau lembaga nirlaba.


Pasal 4
(1) Atas pengeluaran untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang berasal dari sisa lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak boleh dilakukan penyusutan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Apabila pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dibiayai dengan dana pinjaman, biaya bunga atas dana pinjaman tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Biaya bunga atas dana pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang terutang atau dibayarkan setelah selesainya proses pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dapat dibebankan sebagai biaya badan atau lembaga nirlaba.
(4) Dalam hal dana pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima atau diperoleh sebelum diperolehnya sisa lebih dan dipergunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), biaya bunga atas dana pinjaman tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 5
Badan atau lembaga nirlaba yang menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib membuat:
a. pernyataan bahwa:
1. sisa lebih akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, dan
2. sisa lebih yang tidak digunakan pada tahun diperolehnya tersebut akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut,
yang merupakan lampiran dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak diperolehnya sisa lebih;
b. pencatatan tersendiri atas sisa lebih yang diterima dan yang digunakan setiap tahun; dan
c. laporan mengenai penyediaan dan penggunaan sisa lebih dan menyampaikannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dalam lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.


Pasal 6
(1) Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) badan atau lembaga nirlaba tidak menggunakan atau terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dimaksud, maka sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenakan Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya setelah lewat jangka waktu 4 (empat) tahun tersebut.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdapat sisa lebih yang digunakan selain untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan sejak tahun pajak diperoleh sisa lebih tersebut.
(3) Apabila Badan atau lembaga nirlaba menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan namun tidak menyampaikan pemberitahuan rencana fisik sederhana dan rencana biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan tidak membuat pernyataan, pencatatan dan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan sejak tahun pajak diperoleh sisa lebih tersebut.
(4) Pengenaan Pajak Penghasilan atas sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditambah dengan sanksi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.


Pasal 7
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Nomor KEP-87/PJ./1995 tentang Pengakuan Penghasilan dan Biaya atas Dana Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan Bagi Yayasan atau Organisasi yang Sejenis yang Bergerak di Bidang Pendidikan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 8
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 24 Juli 2009


DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
DARMIN NASUTION








PERATURAN DIRJEN PAJAK
NOMOR PER-59/PJ/2010 TANGGAL 15 DESEMBER 2010
TENTANG
TATA CARA PELAPORAN PENERIMAAN DIVIDEN, PENGHITUNGAN BESARNYA PAJAK YANG HARUS DIBAYAR, DAN PENGKREDITAN PAJAK SEHUBUNGAN DENGAN PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI ATAS PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI SELAIN BADAN USAHA YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK


DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pelaporan Penerimaan Dividen, Penghitungan Besarnya Pajak yang Harus Dibayar, dan Pengkreditan Pajak Sehubungan dengan Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek;


Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek;


MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PELAPORAN PENERIMAAN DIVIDEN, PENGHITUNGAN BESARNYA PAJAK YANG HARUS DIBAYAR, DAN PENGKREDITAN PAJAK SEHUBUNGAN DENGAN PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI ATAS PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI SELAIN BADAN USAHA YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK.


Pasal 1
Saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek adalah:
a. pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban/penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun pajak yang bersangkutan; atau
b. pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha di luar negeri tersebut tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan.


Pasal 2
Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah Wajib Pajak dalam negeri yang:
a. memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri.


Pasal 3
(1) Besarnya dividen yang wajib dihitung oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebesar jumlah dividen yang menjadi haknya terhadap laba setelah pajak yang sebanding dengan penyertaannya pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila sebelum batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, badan usaha di luar negeri dimaksud sudah membagikan dividen yang menjadi hak Wajib Pajak.
(3) Laba setelah pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah laba usaha sesuai dengan laporan keuangan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang lazim berlaku di negara yang bersangkutan, setelah dikurangi dengan pajak penghasilan yang terutang di negara tersebut.
(4) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pada ayat (2) wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak saat dividen tersebut dianggap diperoleh.
(5) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pada ayat (2) wajib melampirkan laporan keuangan dari badan usaha di luar negeri pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.


Pasal 4
(1) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menerima pembagian dividen dalam jumlah yang melebihi jumlah dividen yang dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), atas kelebihan jumlah dividen tersebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut.
(2) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri menerima pembagian dividen selain dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), dividen tersebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut.
(3) Pembagian dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pembagian dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun yang pada hakikatnya merupakan pembagian dividen yang tidak termasuk dalam penghitungan penetapan saat diperolehnya dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).


Pasal 5
(1) Pajak atas dividen yang telah dibayar atau dipotong di luar negeri dapat dikreditkan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Pengkreditan pajak yang dibayar atau dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tahun pajak dibayarnya atau dipotongnya pajak tersebut.


Pasal 6
Dalam hal belum ada pajak secara nyata dibayar di luar negeri atas dividen yang ditetapkan saat perolehannya, maka pajak atas dividen tersebut tidak boleh diperhitungkan sebagai kredit pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak saat ditetapkan perolehan dividen.


Pasal 7
Contoh pelaporan penerimaan dividen, penghitungan besarnya pajak yang harus dibayar, dan pengkreditan pajak sehubungan dengan penetapan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.


Pasal 8
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Tata Cara Pelaporan Penerimaan Dividen, Penghitungan Besarnya Pajak Yang Harus Dibayar, dan Pengkreditan Pajak Sehubungan dengan Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek yang dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2009 berlaku ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.


Pasal 9
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 15 Desember 2010


DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD TJIPTARDJO
Lampiran I
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PELAPORAN PENERIMAAN DIVIDEN, PENGHITUNGAN BESARNYA PAJAK YANG HARUS DIBAYAR, DAN PENGKREDITAN PAJAK SEHUBUNGAN DENGAN PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI ATAS PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI SELAIN BADAN USAHA YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK


CONTOH PELAPORAN PEROLEHAN DIVIDEN, PENGHITUNGAN BESARNYA PAJAK
YANG HARUS DIBAYAR DAN PENGKREDITAN PAJAK SEHUBUNGAN DENGAN
PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI
ATAS PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI
SELAIN BADAN USAHA YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK


1. PT LE, Wajib Pajak dalam negeri Indonesia pada tahun 2010 memiliki penyertaan modal sebesar 65% (enam puluh lima persen) dari jumlah saham yang disetor pada atas BM Ltd di negara A yang tidak menjual sahamnya di bursa efek. Atas penyertaan modal tersebut maka:
a. Saat Penetapan Diperolehnya Dividen
Apabila Tahun Pajak BM Ltd di negara A adalah 1 Januari s.d. 31 Desember dan batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan di negara A paling lambat adalah 31 Mei, maka saat diperolehnya dividen adalah pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan di negara A yaitu 30 September 2011.
b. Besarnya Dividen yang Ditetapkan dan Pelaporan
Tahun pajak 2010, BM Ltd di negara A memperoleh laba setelah pajak sebesar US$ 50.000,00 dan nilai tukar US$ terhadap Rupiah pada bulan September 2011 berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia adalah Rp9.200,00/US$, maka dividen tahun 2010 yang ditetapkan telah diperoleh PT LE adalah 65% x US$ 50.000,00 = US$32.500,00.
Penghasilan dividen tersebut dibukukan PT LE sebesar US$32.500,00 x Rp9.200,00/US$ = Rp299.000.000,00. Jumlah tersebut diperhitungkan dalam Penghasilan Kena Pajak tahun 2011 sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2011.
c. Pengkreditan pajak luar negeri atas dividen yang dibayarkan
1). Apabila dividen tersebut belum dibayarkan oleh BM Ltd di negara A, maka tidak ada kredit pajak PPh Pasal 24 yang dapat diperhitungkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan PT LE untuk tahun pajak 2011.
2). Apabila dividen tahun 2010 tersebut diterima Wajib Pajak pada bulan September 2014 dengan jumlah sebesar US$35.000,00, dan pembayaran dividen dalam bentuk lain untuk tahun pajak 2010 sebesar US$5.000,00, dengan bukti pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen tersebut masing-masing sebesar US$3.500,00 dan US$500,00 maka:
a). Atas selisih lebih dividen yang dibayarkan tersebut merupakan penghasilan Wajib Pajak tahun 2014 yaitu US35.000,00 - US$32.500,00 = US$2.500,00 atau sebesar Rp22.875.000,00 (misalnya kurs tengah Bank Indonesia Rp9.150,00/US$) dan dilaporkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2014.
b). Atas dividen lainnya sebesar US$5.000,00 juga merupakan penghasilan tahun 2014 yaitu sebesar Rp45.750.000,00 (misalnya kurs tengah Bank Indonesia Rp9.150,00/US$) dan dilaporkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2014.
c). Pajak yang dibayar atau dipotong atas dividen di negara A tersebut sebesar US$3.500,00 dan US$500,00 diperhitungkan sebagai kredit pajak luar negeri untuk tahun pajak 2014 sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (6) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. PT DK, PT DS dan PT DT merupakan Wajib Pajak dalam negeri Indonesia yang pada tahun 2010 memiliki penyertaan modal secara bersama-sama pada badan usaha BE Ltd di negara B yang tidak menjual sahamnya di bursa efek masing-masing sebesar 25% (dua puluh lima persen), 20% (dua puluh persen), dan 15% (lima belas persen) dari jumlah saham yang disetor. Apabila Tahun Pajak BE Ltd di negara B adalah 1 Januari s.d 31 Desember dan tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan, maka atas penyertaan saham tersebut:
a. Saat Penetapan Diperolehnya Dividen
Karena jumlah penyertaan modal PT DK, PT DS dan PT DT pada BE di negara B secara bersama-sama melebihi 50% (lima puluh persen), maka penetapan saat diperolehnya dividen atas laba setelah pajak BE di negara B tahun 2010, adalah pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir, yaitu Juli 2011.
b. Besarnya Dividen yang Ditetapkan dan Pelaporan
Besarnya dividen yang wajib dihitung oleh PT DK, PT DS dan PT DT adalah sebesar jumlah dividen yang menjadi hak masing-masing perusahaan terhadap laba setelah pajak yang sebanding dengan penyertaannya pada BE di negara B.
c. Kredit Pajak Luar Negeri atas Dividen mengikuti contoh pada butir 1 di atas.






PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 136/PMK.03/2011 TANGGAL 19 AGUSTUS 2011
TENTANG
PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PERBANKAN SYARIAH


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI KEUANGAN,


Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah disebutkan Usaha Berbasis Syariah adalah setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang meliputi antar lain perbankan syariah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengenaan Pajak Penghasilan untuk Kegiatan Usaha Perbankan Syariah;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4988);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;


MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PERBANKAN SYARIAH.


Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
2. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
3. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada Bank Syariah dan/atau unit usaha syariah berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah dalam bentuk giro, tabungan, deposito atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
4. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
5. Nasabah Investor adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank syariah dan/ atau unit usaha syariah dalam bentuk investasi berdasarkan akad antara bank syariah atau unit usaha syariah dan nasabah yang bersangkutan.
6. Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank syariah dan/atau unit usaha syariah dalam bentuk Simpanan berdasarkan akad antara bank syariah atau unit usaha syariah dan nasabah yang bersangkutan.
7. Nasabah Penerima Fasilitas adalah nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan prinsip syariah.


Pasal 2
Ketentuan mengenai penghasilan, biaya, dan pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan usaha Perbankan Syariah berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.


Pasal 3
(1) Penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diterima atau diperoleh Perbankan Syariah, termasuk bonus, bagi hasil, margin keuntungan, dan imbalan lainnya merupakan objek Pajak Penghasilan.
(2) Bonus, bagi hasil, dan margin keuntungan yang diterima atau diperoleh Perbankan Syariah dari kegiatan/transaksi Nasabah Penerima Fasilitas merupakan objek Pajak Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga.
(3) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Perbankan Syariah selain dari penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Nasabah Penerima Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai transaksi antara Perbankan Syariah dengan Nasabah Penerima Fasilitas.


Pasal 4
(1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor dari Perbankan Syariah dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk bonus, bagi hasil, dan penghasilan lainnya atas:
a. dana yang dipercayakan atau ditempatkan; dan
b. dana yang ditempatkan di luar negeri melalui Bank Syariah atau unit usaha syariah yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang Bank Syariah luar negeri yang berkedudukan di Indonesia,
dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga.
(2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor dari Perbankan Syariah dengan nama dan dalam bentuk apapun selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.


Pasal 5
(1) Perbankan Syariah dapat membebankan biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan syarat sesuai dengan:
a. ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Pajak Penghasilan, termasuk bonus, bagi hasil, dan imbalan lainnya yang dibayarkan atau terutang oleh Perbankan Syariah kepada Nasabah Penyimpan dan Nasabah Investor kecuali biaya penyusutan dalam rangka pembiayaan dengan akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik; dan
b. jumlah yang diperjanjikan dalam akad berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Pembebanan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan.


Pasal 6
Dalam hal terdapat transaksi pengalihan harta atau sewa harta yang wajib dilakukan untuk memenuhi Prinsip Syariah yang mendasari kegiatan pembiayaan oleh Perbankan Syariah berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Transaksi pengalihan harta dari pihak ketiga yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi Prinsip Syariah tidak termasuk dalam pengertian pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud pada huruf a maka pengalihan harta tersebut dianggap pengalihan harta langsung dari pihak ketiga kepada Nasabah Penerima Fasilitas, yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.


Pasal 7
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 19 Agustus 2011


MENTERI KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Agustus 2011


MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR


BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 509








PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 137/PMK.03/2011 TANGGAL 19 AGUSTUS 2011
TENTANG
PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI KEUANGAN,


Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah disebutkan Usaha Berbasis Syariah adalah setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang meliputi antara lain jasa keuangan syariah, dan kegiatan usaha berbasis syariah lainnya;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengenaan Pajak Penghasilan untuk Kegiatan Usaha Jasa Keuangan Syariah;


Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4988);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;


MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH.


Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008.
2. Perusahaan Syariah yang selanjutnya disebut Perusahaan adalah lembaga keuangan di luar Bank yang melakukan kegiatan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan dari usaha Perusahaan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
4. Ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri.
5. Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta'jir) disertai opsi pemindahan hak milik atas barang yang disewa kepada penyewa setelah selesai masa sewa.
6. Wakalah bil Ujrah adalah pelimpahan kuasa oleh satu pihak (al muwakkil) kepada pihak lain (al wakil) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan dengan pemberian keuntungan (ujrah).
7. Murabahah adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya (harga perolehan) kepada pembeli dan pembeli membayarnya secara angsuran dengan harga lebih sebagai laba.
8. Salam adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati para pihak.
9. lstishna’ adalah akad pembiayaan untuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustahni’) dan penjual (pembuat, shani’) dengan harga yang disepakati bersama oleh para pihak.
10. Mudharabah adalah kegiatan pendanaan yang dilakukan melalui akad kerja sama antara Perusahaan dan pihak lain yang bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), dimana penyandang dana (shahibul maal) membiayai 100% (seratus persen) modal kegiatan pembiayaan untuk proyek yang tidak ditentukan oleh Perusahaan (Mudharabah Mutlaqah) atau untuk proyek yang ditentukan Perusahaan (Mudharabah Muqayyadah), dan keuntungan usaha dibagi sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
11. Mudharabah Musytarakah adalah kegiatan pendanaan yang dilakukan melalui akad kerja sama antara Perusahaan dan pihak lain yang bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), dimana penyandang dana (shahibul maal) dan Perusahaan selaku pengelola dana (mudharib) turut menyertakan modalnya dalam kerja sama investasi dan keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
12. Musyarakah adalah kegiatan pendanaan yang dilakukan melalui akad kerja sama antara Perusahaan dan pihak lain untuk usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad.


Pasal 2
(1) Ketentuan usaha pembiayaan yang dilakukan oleh Perusahaan meliputi:
a. Sewa Guna Usaha, yang dilakukan berdasarkan Ijarah atau Ijarah Muntahiyah Bittamlik.
b. Anjak Piutang, yang dilakukan berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
c. Pembiayaan Konsumen, yang dilakukan berdasarkan Murabahah, Salam, atau lstishna’.
d. Usaha Kartu Kredit yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah.
e. Kegiatan pembiayaan lainnya yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah.
(2) Kegiatan sewa guna usaha yang dilakukan berdasarkan prinsip Ijarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sama dengan kegiatan sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease).
(3) Kegiatan sewa guna usaha yang dilakukan berdasarkan prinsip Ijarah Muntahiyah Bittamlik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sama dengan kegiatan sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease).


Pasal 3
Ketentuan mengenai penghasilan, biaya dan pemotongan atau pemungutan pajak dari kegiatan usaha pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dilakukan Perusahaan berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.


Pasal 4
(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan dari:
a. Sewa Guna Usaha yang dilakukan berdasarkan Ijarah, dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan atas sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease); dan
b. Sewa Guna Usaha yang dilakukan berdasarkan Ijarah Muntahiyah Bittamlik dikenai Pajak Penghasilan atas sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease).
(2) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan dari:
a. kegiatan usaha anjak piutang yang dilakukan berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah berupa keuntungan atau imbalan; dan
b. kegiatan pembiayaan konsumen yang dilakukan berdasarkan akad Murahabah, Salam, atau lstishna’ berupa margin keuntungan atau laba, dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga.
(3) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan dari kegiatan usaha kartu kredit yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah berupa fee atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(4) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan dari kegiatan usaha pembiayaan lainnya yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah berupa fee atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.


Pasal 5
Pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh penyandang dana (shohibul maal) dari kegiatan pendanaan pada Perusahaan dengan akad Mudharabah, Mudharabah Musytarakah, atau Musyarakah berupa keuntungan dan/atau bagi hasil, dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan berupa bunga.


Pasal 6
Perusahaan dapat membebankan biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sesuai dengan:
a. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan, termasuk keuntungan dan/atau bagi hasil yang dibayarkan atau terutang oleh Perusahaan kepada penyandang dana (shohibul maal); dan
b. Jumlah yang diperjanjikan dalam akad berdasarkan Prinsip Syariah.


Pasal 7
Dalam hal terdapat transaksi pengalihan harta atau sewa harta yang wajib dilakukan untuk memenuhi Prinsip Syariah yang mendasari kegiatan pembiayaan oleh Perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Transaksi pengalihan harta dari pihak ketiga yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi Prinsip Syariah dalam rangka kegiatan pembiayaan oleh Perusahaan tidak termasuk dalam pengertian pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud pada huruf a maka pengalihan harta tersebut dianggap pengalihan harta langsung dari pihak ketiga kepada Nasabah Perusahaan, yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 8
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 19 Agustus 2011


MENTERI KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W. MARTOWARDOJO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Agustus 2011


MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR


BERlTA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 510







2 komentar:

  1. terima kasih , informasinya sangat membantu ...

    BalasHapus
  2. thanks alot, informasi yang sangat sya perlukan akhirnya sya dapakan disini, sanat membantu ...

    BalasHapus