SURAT
EDARAN DIRJEN PAJAK
NOMOR
SE-53/PJ/2009 TANGGAL 25 MEI 2009
TENTANG
JUMLAH
BRUTO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2
UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 36 TAHUN 2008
Sehubungan
dengan banyaknya pertanyaan mengenai jumlah bruto sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor
7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dengan
ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang nomor
7 TAHUN 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008
mengatur bahwa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,
jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dipotong Pajak Penghasilan oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar
2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai.
2. Yang dimaksud dengan jumlah bruto sebagaimana
dimaksud pada butir 1 adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan,
atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek
pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak
dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk:
a. pembayaran
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia
tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan,
berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
b. pembayaran
atas pengadaan/pembelian barang atau material;
c. pembayaran
kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan
kepada pihak ketiga;
d. pembayaran
penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran
sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua
kepada pihak ketiga.
3. Jumlah
bruto sebagaimana dimaksud dalam butir 2 tidak berlaku:
a. atas
penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering; atau
b. dalam
hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa sebagaimana
dimaksud dalam butir 1, telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final.
4. Pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam butir 2 harus dapat dibuktikan dengan:
a. kontrak
kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf a;
b. faktur
pembelian barang atau material sebagaimana dimaksud dalam butir 2
huruf b;
c. faktur
tagihan dari pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis
sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf c;
d. faktur
tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan oleh pihak kedua
kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf d.
5. Untuk memberikan kejelasan, contoh penerapan jumlah
bruto dalam penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah
sebagaimana terdapat dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
Demikian
untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 25 Mei 2009
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
DARMIN
NASUTION
LAMPIRAN:
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR
SE-53/PJ/2009 TENTANG JUMLAH BRUTO ATAS IMBALAN JASA LAIN SEBAGAIMANA
DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C ANGKA 2 Undang-Undang nomor
7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA
KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008
1. PT Sumber Tenaga merupakan perusahaan penyedia tenaga
kerja. PT Sumber Tenaga mendapat kontrak dari PT Maju Terus untuk
menyediakan tenaga kerja pemasaran sebanyak 20 orang dengan mendapat
imbalan jasa sebesar Rp20.000.000,- Tenaga kerja tersebut selanjutnya
menjadi pegawai PT Maju Terus.
Atas pembayaran yang dilakukan PT Maju Terus kepada PT
Sumber Tenaga dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Maju Terus sebesar:
2% x
Rp20.000.000,- = Rp400.000,-
2. PT Aman Jaya merupakan perusahaan penyedia tenaga
kerja untuk keamanan (satpam). PT Aman Jaya mendapat kontrak
penyediaan tenaga kerja satpam sebanyak 20 orang dari PT Dwi Makmur.
Tenaga kerja satpam tersebut tetap merupakan pegawai PT Aman Jaya.
Dalam Kontrak disepakati bahwa pembayaran atas penyerahan jasa oleh
PT Aman Jaya terdiri dari gaji untuk 20 orang satpam per bulan
sebesar Rp20.000.000,00 dan imbalan atas jasa penyediaan satpam per
bulan sebesar Rp2.000.000,-.
a. Rincian
tagihan PT Aman Jaya kepada PT Dwi Makmur:
Pembayaran
gaji 20 orang satpam ................... Rp20.000.000,-
Imbalan
Jasa .................................................. Rp
2.000.000,-
b. Atas
pembayaran yang dilakukan PT Dwi Makmur kepada PT Aman jaya dipotong
PPh Pasal 23 oleh PT Dwi Makmur sebesar:
2% x
Rp2.000.000,- = Rp40.000,-
c. Dalam
hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka
jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar
Rp22.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Dwi
Makmur atas pembayaran kepada PT Aman Jaya adalah sebesar:
2% x
Rp22.000.000,- = Rp440.000,-
3. PT Megah (pihak pertama) melakukan kontrak dengan PT
Satu Sarana selaku perusahaan agen periklanan (pihak kedua) untuk
membuat iklan sekaligus memasang iklan pada perusahaan media (pihak
ketiga). Nilai kontrak yang telah disepakati adalah sebesar
Rp103.000.000,-.
a. Rincian
tagihan PT Satu Sarana kepada PT Megah adalah:
1) pembelian
material untuk pembuatan iklan
......................... Rp15.000.000,-
2) jasa
konsultan (terkait pembuatan dan pemasangan iklan).... Rp 5.000.000,-
3) Fee
agen
........................................................................... Rp
3.000.000,-
4) biaya
pemasangan iklan ke perusahaan media……………………. Rp80.000.000,-
b. Pemotongan
PPh Pasal 23 yang dilakukan PT Satu Sarana atas pembayaran jasa
pemasangan iklan kepada perusahaan media adalah sebesar:
2% x
Rp80.000.000,- = Rp1.600.000,-
c. Pemotongan
PPh Pasal 23 yang dilakukan PT Megah atas pembayaran jasa konsultasi
dan jasa keagenan kepada PT Satu Sarana adalah sebesar:
1) 2% x
Rp5.000.000,- = Rp100.000,- untuk jasa konsultasi; dan
2) 2% x
Rp3.000.000,- = Rp 60.000,- untuk jasa keagenan
d. Dalam
hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka
jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar
Rp103.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT
Megah atas pembayaran kepada PT Satu Sarana adalah sebesar:
2% x
Rp103.000.000,- = Rp2.060.000,-
4. PT Terang mengikat kontrak dengan PT Garmindo untuk
pembuatan seragam kantor PT Terang berdasarkan model dan spesifikasi
yang telah ditentukan oleh PT Terang. Dalam kontrak disepakati bahwa
PT Terang akan menyediakan bahan baku utama berupa kain dan PT
Garmindo akan menyediakan bahan tambahan. Imbalan yang disepakati
atas kontrak tersebut adalah sebesar Rp25.000.000,- tidak termasuk
biaya bahan tambahan. PT Garmindo mengeluarkan biaya sebesar
Rp5.000.000,- untuk bahan tambahan.
a. Rincian
tagihan PT Garmindo kepada PT Terang:
Biaya
untuk bahan tambahan ...................................... Rp
5.000.000,-
Imbalan
Jasa
maklon.................................................. Rp25.000.000,-
b. Atas
pembayaran yang dilakukan PT Terang kepada PT Garmindo dipotong PPh
Pasal 23 oleh PT Terang sebesar:
2% x
Rp25.000.000,- = Rp500.000,-
c. Dalam
hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka
jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar
Rp30.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT
Terang atas pembayaran kepada PT Garmindo adalah sebesar:
2% x
Rp30.000.000,- = Rp600.000,-
5. Untuk acara pembukaan cabang baru, PT Abadi meminta
CV Sedap yang bergerak di bidang pengadaan catering untuk menyediakan
makanan yang terdiri dari makanan pembuka, makanan utama, dan makanan
penutup untuk sekitar 500 orang. Kontrak yang disepakati untuk
pengadaan catering tersebut adalah Rp20.000.000,-. Atas pembayaran
yang dilakukan PT Abadi kepada CV Sedap dipotong PPh Pasal 23 oleh PT
Abadi sebesar:
2% x
Rp20.000.000,- = Rp400.000,-
DIREKTUR
JENDERAL,
ttd
DARMIN
NASUTION
NIP
130605098
PERATURAN
DIRJEN PAJAK
NOMOR
PER-44/PJ./2009 TANGGAL 24 JULI 2009
TENTANG
PELAKSANAAN
PENGAKUAN SISA LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA
NIRLABA YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU BIDANG
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK
PENGHASILAN
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
bahwa
sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 80/PMK.03/2009 tentang Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh
Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan
dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari
Objek Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tentang Pelaksanaan Pengakuan Sisa Lebih yang Diterima atau
Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang
Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang
Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009
tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2009
tanggal 22 April 2009 tentang Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh
Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan
dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari
Objek Pajak Penghasilan.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PELAKSANAAN PENGAKUAN SISA LEBIH YANG
DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA NIRLABA YANG BERGERAK
DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
1. Sisa lebih adalah selisih dari seluruh penerimaan
yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang
dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran
untuk biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba.
2. Biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga
nirlaba adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak
langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek Pajak
Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan
tersendiri.
3. Badan atau lembaga nirlaba adalah badan atau lembaga
nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang
penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang
membidanginya.
4. Pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana adalah
pembelian, pengadaan dan/atau pembangunan fisik sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang
meliputi:
a. pembelian
atau pembangunan gedung dan prasarana kegiatan pendidikan, penelitian
dan pengembangan termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan
gedung dan prasarana tersebut;
b. pengadaan
sarana dan prasarana kantor, laboratorium dan perpustakaan; atau
c. pembelian
atau pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau
karyawan, dan sarana prasarana olahraga, sepanjang berada
dilingkungan atau lokasi lembaga pendidikan formal.
Pasal 2
(1) Sisa lebih yang diperoleh badan atau lembaga nirlaba
yang ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana
dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak
manapun dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang
membidanginya, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak
Penghasilan.
(2) Badan atau lembaga nirlaba sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik
sederhana dan rencana biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan
prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar
dengan tindasan kepada instansi yang membidanginya.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa lebih tersebut atau
paling lama sebelum pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dimulai,
dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut.
Pasal 3
Pelaksanaan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan
sebagai berikut:
a. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau
lembaga nirlaba setiap tahun yang akan digunakan untuk pembangunan
dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan dialihkan ke akun dana pembangunan dan
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan;
b. pembukuan atas penggunaan dana pembangunan dan
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan pada tahun berjalan dilakukan dengan
mendebet akun aktiva dan akun dana pembangunan dan pengadaan sarana
dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan serta mengkredit akun kas atau utang dan akun modal
badan atau lembaga nirlaba.
Pasal 4
(1) Atas pengeluaran untuk pembangunan dan pengadaan
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan yang berasal dari sisa lebih sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 tidak boleh dilakukan penyusutan sebagaimana diatur dalam
Pasal 11 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008.
(2) Apabila pembangunan dan pengadaan sarana dan
prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan
dibiayai dengan dana pinjaman, biaya bunga atas dana pinjaman
tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan
prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Biaya bunga atas dana pinjaman sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) yang terutang atau dibayarkan setelah selesainya proses
pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan dapat dibebankan sebagai biaya
badan atau lembaga nirlaba.
(4) Dalam hal dana pinjaman sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diterima atau diperoleh sebelum diperolehnya sisa lebih dan
dipergunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), biaya bunga atas dana
pinjaman tersebut diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 5
Badan atau
lembaga nirlaba yang menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) wajib membuat:
a. pernyataan
bahwa:
1. sisa
lebih akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat)
tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, dan
2. sisa
lebih yang tidak digunakan pada tahun diperolehnya tersebut akan
digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut,
yang merupakan lampiran dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak diperolehnya sisa lebih;
b. pencatatan
tersendiri atas sisa lebih yang diterima dan yang digunakan setiap
tahun; dan
c. laporan mengenai penyediaan dan penggunaan sisa lebih
dan menyampaikannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar dalam lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.
Pasal 6
(1) Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) badan atau lembaga nirlaba tidak
menggunakan atau terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk
pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan dimaksud, maka sisa lebih
tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenakan Pajak Penghasilan
pada tahun pajak berikutnya setelah lewat jangka waktu 4 (empat)
tahun tersebut.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) terdapat sisa lebih yang digunakan selain
untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, sisa lebih tersebut
diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan sejak tahun
pajak diperoleh sisa lebih tersebut.
(3) Apabila Badan atau lembaga nirlaba menggunakan sisa
lebih untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan namun tidak
menyampaikan pemberitahuan rencana fisik sederhana dan rencana biaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan tidak membuat
pernyataan, pencatatan dan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak
Penghasilan sejak tahun pajak diperoleh sisa lebih tersebut.
(4) Pengenaan Pajak Penghasilan atas sisa lebih
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditambah
dengan sanksi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Pasal 7
Pada saat
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan
Direktur Jenderal Nomor KEP-87/PJ./1995 tentang Pengakuan Penghasilan
dan Biaya atas Dana Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan Bagi
Yayasan atau Organisasi yang Sejenis yang Bergerak di Bidang
Pendidikan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 24 Juli 2009
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
DARMIN
NASUTION
PERATURAN
DIRJEN PAJAK
NOMOR
PER-59/PJ/2010 TANGGAL 15 DESEMBER 2010
TENTANG
TATA CARA
PELAPORAN PENERIMAAN DIVIDEN, PENGHITUNGAN BESARNYA PAJAK YANG HARUS
DIBAYAR, DAN PENGKREDITAN PAJAK SEHUBUNGAN DENGAN PENETAPAN SAAT
DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI ATAS PENYERTAAN
MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI SELAIN BADAN USAHA YANG MENJUAL
SAHAMNYA DI BURSA EFEK
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
bahwa
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008 tentang Penetapan Saat Diperolehnya
Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada
Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya
di Bursa Efek, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tentang Tata Cara Pelaporan Penerimaan Dividen, Penghitungan Besarnya
Pajak yang Harus Dibayar, dan Pengkreditan Pajak Sehubungan dengan
Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri
atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan
Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UNDANG-UNDANG nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4999);
2. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008
tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam
Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain
Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PELAPORAN PENERIMAAN
DIVIDEN, PENGHITUNGAN BESARNYA PAJAK YANG HARUS DIBAYAR, DAN
PENGKREDITAN PAJAK SEHUBUNGAN DENGAN PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA
DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI ATAS PENYERTAAN MODAL PADA
BADAN USAHA DI LUAR NEGERI SELAIN BADAN USAHA YANG MENJUAL SAHAMNYA
DI BURSA EFEK.
Pasal 1
Saat
diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan
modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual
sahamnya di bursa efek adalah:
a. pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu
kewajiban/penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan
badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun pajak yang
bersangkutan; atau
b. pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir
apabila badan usaha di luar negeri tersebut tidak memiliki kewajiban
untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan atau
tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan
tahunan Pajak Penghasilan.
Pasal 2
Wajib
Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah Wajib
Pajak dalam negeri yang:
a. memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima
puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar
negeri; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri
lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh
persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar
negeri.
Pasal 3
(1) Besarnya dividen yang wajib dihitung oleh Wajib
Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebesar
jumlah dividen yang menjadi haknya terhadap laba setelah pajak yang
sebanding dengan penyertaannya pada badan usaha di luar negeri selain
badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku apabila sebelum batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1, badan usaha di luar negeri dimaksud sudah membagikan dividen yang
menjadi hak Wajib Pajak.
(3) Laba setelah pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah laba usaha sesuai dengan laporan keuangan berdasarkan
standar akuntansi keuangan yang lazim berlaku di negara yang
bersangkutan, setelah dikurangi dengan pajak penghasilan yang
terutang di negara tersebut.
(4) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pada
ayat (2) wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan untuk tahun pajak saat dividen tersebut dianggap
diperoleh.
(5) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau
pada ayat (2) wajib melampirkan laporan keuangan dari badan usaha di
luar negeri pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Pasal 4
(1) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 menerima pembagian dividen dalam jumlah yang
melebihi jumlah dividen yang dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), atas kelebihan jumlah dividen tersebut wajib
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada
tahun pajak dibagikannya dividen tersebut.
(2) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri menerima
pembagian dividen selain dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1), dividen tersebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen
tersebut.
(3) Pembagian dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
termasuk pembagian dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
pada hakikatnya merupakan pembagian dividen yang tidak termasuk dalam
penghitungan penetapan saat diperolehnya dividen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1).
Pasal 5
(1) Pajak atas dividen yang telah dibayar atau dipotong
di luar negeri dapat dikreditkan sesuai ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Pengkreditan pajak yang dibayar atau dipotong
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tahun pajak
dibayarnya atau dipotongnya pajak tersebut.
Pasal 6
Dalam hal
belum ada pajak secara nyata dibayar di luar negeri atas dividen yang
ditetapkan saat perolehannya, maka pajak atas dividen tersebut tidak
boleh diperhitungkan sebagai kredit pajak luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN 2008 dalam SPT Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak saat ditetapkan perolehan dividen.
Pasal 7
Contoh
pelaporan penerimaan dividen, penghitungan besarnya pajak yang harus
dibayar, dan pengkreditan pajak sehubungan dengan penetapan saat
diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan
modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual
sahamnya di bursa efek adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan Direktur Jenderal ini, yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 8
Pada saat
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Tata Cara
Pelaporan Penerimaan Dividen, Penghitungan Besarnya Pajak Yang Harus
Dibayar, dan Pengkreditan Pajak Sehubungan dengan Penetapan Saat
Diperolehnya Dividen Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan
Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual
Sahamnya di Bursa Efek yang dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2009
berlaku ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 9
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 15 Desember 2010
DIREKTUR
JENDERAL PAJAK,
ttd
MOCHAMAD
TJIPTARDJO
Lampiran
I
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA
CARA PELAPORAN PENERIMAAN DIVIDEN, PENGHITUNGAN BESARNYA PAJAK YANG
HARUS DIBAYAR, DAN PENGKREDITAN PAJAK SEHUBUNGAN DENGAN PENETAPAN
SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI ATAS
PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI SELAIN BADAN USAHA
YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK
CONTOH
PELAPORAN PEROLEHAN DIVIDEN, PENGHITUNGAN BESARNYA PAJAK
YANG HARUS
DIBAYAR DAN PENGKREDITAN PAJAK SEHUBUNGAN DENGAN
PENETAPAN
SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI
ATAS
PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI
SELAIN
BADAN USAHA YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK
1. PT LE, Wajib Pajak dalam negeri Indonesia pada tahun
2010 memiliki penyertaan modal sebesar 65% (enam puluh lima persen)
dari jumlah saham yang disetor pada atas BM Ltd di negara A yang
tidak menjual sahamnya di bursa efek. Atas penyertaan modal tersebut
maka:
a. Saat Penetapan Diperolehnya Dividen
Apabila
Tahun Pajak BM Ltd di negara A adalah 1 Januari s.d. 31 Desember dan
batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak
Penghasilan di negara A paling lambat adalah 31 Mei, maka saat
diperolehnya dividen adalah pada bulan keempat setelah berakhirnya
batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak
Penghasilan di negara A yaitu 30 September 2011.
b. Besarnya Dividen yang Ditetapkan dan Pelaporan
Tahun
pajak 2010, BM Ltd di negara A memperoleh laba setelah pajak sebesar
US$ 50.000,00 dan nilai tukar US$ terhadap Rupiah pada bulan
September 2011 berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia adalah
Rp9.200,00/US$, maka dividen tahun 2010 yang ditetapkan telah
diperoleh PT LE adalah 65% x US$ 50.000,00 = US$32.500,00.
Penghasilan
dividen tersebut dibukukan PT LE sebesar US$32.500,00 x
Rp9.200,00/US$ = Rp299.000.000,00. Jumlah tersebut diperhitungkan
dalam Penghasilan Kena Pajak tahun 2011 sesuai dengan ketentuan Pasal
16 Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008, dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak 2011.
c. Pengkreditan pajak luar negeri atas dividen yang
dibayarkan
1). Apabila dividen tersebut belum dibayarkan oleh BM
Ltd di negara A, maka tidak ada kredit pajak PPh Pasal 24 yang dapat
diperhitungkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan PT
LE untuk tahun pajak 2011.
2). Apabila dividen tahun 2010 tersebut diterima Wajib
Pajak pada bulan September 2014 dengan jumlah sebesar US$35.000,00,
dan pembayaran dividen dalam bentuk lain untuk tahun pajak 2010
sebesar US$5.000,00, dengan bukti pemotongan Pajak Penghasilan atas
dividen tersebut masing-masing sebesar US$3.500,00 dan US$500,00
maka:
a). Atas selisih lebih dividen yang dibayarkan tersebut
merupakan penghasilan Wajib Pajak tahun 2014 yaitu US35.000,00 -
US$32.500,00 = US$2.500,00 atau sebesar Rp22.875.000,00 (misalnya
kurs tengah Bank Indonesia Rp9.150,00/US$) dan dilaporkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2014.
b). Atas dividen lainnya sebesar US$5.000,00 juga
merupakan penghasilan tahun 2014 yaitu sebesar Rp45.750.000,00
(misalnya kurs tengah Bank Indonesia Rp9.150,00/US$) dan dilaporkan
pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2014.
c). Pajak yang dibayar atau dipotong atas dividen di
negara A tersebut sebesar US$3.500,00 dan US$500,00 diperhitungkan
sebagai kredit pajak luar negeri untuk tahun pajak 2014 sesuai dengan
ketentuan Pasal 24 ayat (6) Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. PT DK, PT DS dan PT DT merupakan Wajib Pajak dalam
negeri Indonesia yang pada tahun 2010 memiliki penyertaan modal
secara bersama-sama pada badan usaha BE Ltd di negara B yang tidak
menjual sahamnya di bursa efek masing-masing sebesar 25% (dua puluh
lima persen), 20% (dua puluh persen), dan 15% (lima belas persen)
dari jumlah saham yang disetor. Apabila Tahun Pajak BE Ltd di negara
B adalah 1 Januari s.d 31 Desember dan tidak memiliki kewajiban untuk
menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan atau tidak
ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan
Pajak Penghasilan, maka atas penyertaan saham tersebut:
a. Saat Penetapan Diperolehnya Dividen
Karena
jumlah penyertaan modal PT DK, PT DS dan PT DT pada BE di negara B
secara bersama-sama melebihi 50% (lima puluh persen), maka penetapan
saat diperolehnya dividen atas laba setelah pajak BE di negara B
tahun 2010, adalah pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir,
yaitu Juli 2011.
b. Besarnya Dividen yang Ditetapkan dan Pelaporan
Besarnya dividen yang wajib dihitung oleh PT DK, PT DS
dan PT DT adalah sebesar jumlah dividen yang menjadi hak
masing-masing perusahaan terhadap laba setelah pajak yang sebanding
dengan penyertaannya pada BE di negara B.
c. Kredit Pajak Luar Negeri atas Dividen mengikuti
contoh pada butir 1 di atas.
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
136/PMK.03/2011 TANGGAL 19 AGUSTUS 2011
TENTANG
PENGENAAN
PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PERBANKAN SYARIAH
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan
Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan
Usaha Berbasis Syariah disebutkan Usaha Berbasis Syariah adalah
setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah yang meliputi antar lain perbankan syariah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4
Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan
Kegiatan Usaha Berbasis Syariah, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Pengenaan Pajak Penghasilan untuk Kegiatan Usaha
Perbankan Syariah;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang
Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4988);
3. Keputusan
Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN
USAHA PERBANKAN SYARIAH.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN
2008.
2. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang
menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya.
3. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh nasabah
kepada Bank Syariah dan/atau unit usaha syariah berdasarkan akad
wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip
Syariah dalam bentuk giro, tabungan, deposito atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu.
4. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga
yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
5. Nasabah Investor adalah nasabah yang menempatkan
dananya di bank syariah dan/ atau unit usaha syariah dalam bentuk
investasi berdasarkan akad antara bank syariah atau unit usaha
syariah dan nasabah yang bersangkutan.
6. Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan
dananya di bank syariah dan/atau unit usaha syariah dalam bentuk
Simpanan berdasarkan akad antara bank syariah atau unit usaha syariah
dan nasabah yang bersangkutan.
7. Nasabah Penerima Fasilitas adalah nasabah yang
memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu,
berdasarkan prinsip syariah.
Pasal 2
Ketentuan
mengenai penghasilan, biaya, dan pemotongan pajak atau pemungutan
pajak dari kegiatan usaha Perbankan Syariah berlaku mutatis mutandis
ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 3
(1) Penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diterima atau diperoleh
Perbankan Syariah, termasuk bonus, bagi hasil, margin keuntungan, dan
imbalan lainnya merupakan objek Pajak Penghasilan.
(2) Bonus, bagi hasil, dan margin keuntungan yang
diterima atau diperoleh Perbankan Syariah dari kegiatan/transaksi
Nasabah Penerima Fasilitas merupakan objek Pajak Penghasilan yang
dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan Pajak
Penghasilan atas bunga.
(3) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Perbankan
Syariah selain dari penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
Nasabah Penerima Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan yang mengatur
mengenai transaksi antara Perbankan Syariah dengan Nasabah Penerima
Fasilitas.
Pasal 4
(1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Nasabah
Penyimpan atau Nasabah Investor dari Perbankan Syariah dengan nama
dan dalam bentuk apapun termasuk bonus, bagi hasil, dan penghasilan
lainnya atas:
a. dana yang dipercayakan atau ditempatkan; dan
b. dana yang ditempatkan di luar negeri melalui Bank
Syariah atau unit usaha syariah yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau cabang Bank Syariah luar negeri yang
berkedudukan di Indonesia,
dikenai
Pajak Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan atas
bunga.
(2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Nasabah
Penyimpan atau Nasabah Investor dari Perbankan Syariah dengan nama
dan dalam bentuk apapun selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dikenai pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 5
(1) Perbankan Syariah dapat membebankan biaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan syarat sesuai dengan:
a. ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang
Pajak Penghasilan, termasuk bonus, bagi hasil, dan imbalan lainnya
yang dibayarkan atau terutang oleh Perbankan Syariah kepada Nasabah
Penyimpan dan Nasabah Investor kecuali biaya penyusutan dalam rangka
pembiayaan dengan akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik; dan
b. jumlah yang diperjanjikan dalam akad berdasarkan
Prinsip Syariah.
(2) Pembebanan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan memperhatikan Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 6
Dalam hal
terdapat transaksi pengalihan harta atau sewa harta yang wajib
dilakukan untuk memenuhi Prinsip Syariah yang mendasari kegiatan
pembiayaan oleh Perbankan Syariah berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Transaksi pengalihan harta dari pihak ketiga yang
dilakukan semata-mata untuk memenuhi Prinsip Syariah tidak termasuk
dalam pengertian pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagaimana
dimaksud pada huruf a maka pengalihan harta tersebut dianggap
pengalihan harta langsung dari pihak ketiga kepada Nasabah Penerima
Fasilitas, yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan
perpajakan yang berlaku.
Pasal 7
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 19 Agustus 2011
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 19 Agustus 2011
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 509
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN
NOMOR
137/PMK.03/2011 TANGGAL 19 AGUSTUS 2011
TENTANG
PENGENAAN
PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan
Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan
Usaha Berbasis Syariah disebutkan Usaha Berbasis Syariah adalah
setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah yang meliputi antara lain jasa keuangan syariah, dan
kegiatan usaha berbasis syariah lainnya;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4
Peraturan Pemerintah nomor 25 TAHUN 2009 tentang Pajak Penghasilan
Kegiatan Usaha Berbasis Syariah, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Pengenaan Pajak Penghasilan untuk Kegiatan Usaha
Jasa Keuangan Syariah;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36
TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4988);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN
USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang
nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UNDANG-UNDANG nomor 36 TAHUN
2008.
2. Perusahaan Syariah yang selanjutnya disebut
Perusahaan adalah lembaga keuangan di luar Bank yang melakukan
kegiatan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan dari usaha Perusahaan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan
oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang
syariah.
4. Ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan
hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan
pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan sebagai pemberi sewa
(mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa diikuti pengalihan
kepemilikan barang itu sendiri.
5. Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah akad penyaluran
dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam
waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan
sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta'jir) disertai
opsi pemindahan hak milik atas barang yang disewa kepada penyewa
setelah selesai masa sewa.
6. Wakalah bil Ujrah adalah pelimpahan kuasa oleh satu
pihak (al muwakkil) kepada pihak lain (al wakil) dalam hal-hal yang
boleh diwakilkan dengan pemberian keuntungan (ujrah).
7. Murabahah adalah akad pembiayaan untuk pengadaan
suatu barang dengan menegaskan harga belinya (harga perolehan) kepada
pembeli dan pembeli membayarnya secara angsuran dengan harga lebih
sebagai laba.
8. Salam adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu
barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan
syarat-syarat tertentu yang disepakati para pihak.
9. lstishna’ adalah akad pembiayaan untuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu
yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustahni’) dan penjual
(pembuat, shani’) dengan harga yang disepakati bersama oleh para
pihak.
10. Mudharabah adalah kegiatan pendanaan yang dilakukan
melalui akad kerja sama antara Perusahaan dan pihak lain yang
bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), dimana penyandang
dana (shahibul maal) membiayai 100% (seratus persen) modal kegiatan
pembiayaan untuk proyek yang tidak ditentukan oleh Perusahaan
(Mudharabah Mutlaqah) atau untuk proyek yang ditentukan Perusahaan
(Mudharabah Muqayyadah), dan keuntungan usaha dibagi sesuai dengan
kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
11. Mudharabah Musytarakah adalah kegiatan pendanaan
yang dilakukan melalui akad kerja sama antara Perusahaan dan pihak
lain yang bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), dimana
penyandang dana (shahibul maal) dan Perusahaan selaku pengelola dana
(mudharib) turut menyertakan modalnya dalam kerja sama investasi dan
keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam
akad.
12. Musyarakah adalah kegiatan pendanaan yang dilakukan
melalui akad kerja sama antara Perusahaan dan pihak lain untuk usaha
tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
Pasal 2
(1) Ketentuan
usaha pembiayaan yang dilakukan oleh Perusahaan meliputi:
a. Sewa
Guna Usaha, yang dilakukan berdasarkan Ijarah atau Ijarah Muntahiyah
Bittamlik.
b. Anjak
Piutang, yang dilakukan berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
c. Pembiayaan
Konsumen, yang dilakukan berdasarkan Murabahah, Salam, atau
lstishna’.
d. Usaha
Kartu Kredit yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah.
e. Kegiatan
pembiayaan lainnya yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah.
(2) Kegiatan sewa guna usaha yang dilakukan berdasarkan
prinsip Ijarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sama
dengan kegiatan sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease).
(3) Kegiatan sewa guna usaha yang dilakukan berdasarkan
prinsip Ijarah Muntahiyah Bittamlik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diperlakukan sama dengan kegiatan sewa guna usaha dengan hak opsi
(financial lease).
Pasal 3
Ketentuan
mengenai penghasilan, biaya dan pemotongan atau pemungutan pajak dari
kegiatan usaha pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
dilakukan Perusahaan berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 4
(1) Atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan dari:
a. Sewa Guna Usaha yang dilakukan berdasarkan Ijarah,
dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan Pajak
Penghasilan atas sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease);
dan
b. Sewa Guna Usaha yang dilakukan berdasarkan Ijarah
Muntahiyah Bittamlik dikenai Pajak Penghasilan atas sewa guna usaha
dengan hak opsi (financial lease).
(2) Atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan dari:
a. kegiatan usaha anjak piutang yang dilakukan
berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah berupa keuntungan atau imbalan;
dan
b. kegiatan pembiayaan konsumen yang dilakukan
berdasarkan akad Murahabah, Salam, atau lstishna’ berupa margin
keuntungan atau laba, dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan
pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga.
(3) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Perusahaan dari kegiatan usaha kartu kredit yang dilakukan sesuai
dengan Prinsip Syariah berupa fee atau imbalan dengan nama dan dalam
bentuk apapun dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(4) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Perusahaan dari kegiatan usaha pembiayaan lainnya yang dilakukan
sesuai dengan Prinsip Syariah berupa fee atau imbalan dengan nama dan
dalam bentuk apapun dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 5
Pengenaan
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh penyandang dana
(shohibul maal) dari kegiatan pendanaan pada Perusahaan dengan akad
Mudharabah, Mudharabah Musytarakah, atau Musyarakah berupa keuntungan
dan/atau bagi hasil, dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan
ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan berupa bunga.
Pasal 6
Perusahaan
dapat membebankan biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sesuai
dengan:
a. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 9
Undang-Undang Pajak Penghasilan, termasuk keuntungan dan/atau bagi
hasil yang dibayarkan atau terutang oleh Perusahaan kepada penyandang
dana (shohibul maal); dan
b. Jumlah
yang diperjanjikan dalam akad berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 7
Dalam hal
terdapat transaksi pengalihan harta atau sewa harta yang wajib
dilakukan untuk memenuhi Prinsip Syariah yang mendasari kegiatan
pembiayaan oleh Perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Transaksi pengalihan harta dari pihak ketiga yang
dilakukan semata-mata untuk memenuhi Prinsip Syariah dalam rangka
kegiatan pembiayaan oleh Perusahaan tidak termasuk dalam pengertian
pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
b. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagaimana
dimaksud pada huruf a maka pengalihan harta tersebut dianggap
pengalihan harta langsung dari pihak ketiga kepada Nasabah
Perusahaan, yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 8
Peraturan
Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan
di : Jakarta
pada
tanggal : 19 Agustus 2011
MENTERI
KEUANGAN,
ttd
AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 19 Agustus 2011
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd
PATRIALIS
AKBAR
BERlTA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 510
terima kasih , informasinya sangat membantu ...
BalasHapusthanks alot, informasi yang sangat sya perlukan akhirnya sya dapakan disini, sanat membantu ...
BalasHapus